Perbedaan Tak Menyilaukan Pejuang
Pendidikan
Saya disini tidak pernah mendengar seruan adzan yang
biasanya menggema di pelosok jagad raya seperti ketika di jawa. Saya bersahabat
erat dengan lagu-lagu rohani. Saya rela menempuh 20 kilometer hanya untuk
bertemu dengan rumah terdekat Alla h, untuk sekedar bersujud memohon perlindungan
Alloh di tanah timur ini. Kami memang munafik, masih saja menghitung 47 putaran
lagi sholat jumat yang harus kami lewati disini padahal kami sudah disambut
dengan keindahan senja merona di langit Nusa Tenggara Timur. Sungguh maha besar
karunia tuhan di tanah Nusa Tenggara Timur ini yang senantiasa memiliki langit
nan bersih dan indah. Hari-hari yang saya lewati disini selalu ditemani mentari
yang selalu setia dan tak pernah ingkar janji. Selain goresan Tuhan yang indah
di langit, permata-permata muda disini juga menakjubkan.
Sabtu, 9 September 2016 lalu adalah hari yang bersejarah bagi saya dan umat gereja St. Santa Maria Fatima Nurobo. Saya tercatat sebagai orang muslim pertama yang pernah masuk di Gereja St. Santa Maria Fatima Nurobo. Saya ingin menjadi pendidik professional, jadi mengapa saya harus membatasi diri untuk mendampingi anak didik saya menanggung misa di gereja? Saya percaya, dimanapun saya menjejakkan kaki, semua itu tanah miliki sang Khalik. Dengan balutan kemeja dan jilbab merah jambu yang dipadukan dengan pakaian adat berupa kain tais dan selendang, saya memasuki gereja itu. Kedatangan saya disambut dengan ratusan pasang mata jamaah gereja penuh keheranan. Tatapan heran itu sontak saja mewarnai wajah saya menjadi merah merona. Misa berjalan lancar dan khitmah, sayapun senantiasa meneguhkan hati untuk berdoa dengan Alloh. Mata bapa Pater Selli (CMF Marcellinus Beam) tidak luput dengan kehadiran saya. Saat beliau berkhutbah, Pater Selli mempersilahkan saya menaiki podiumnya untuk sekedar memperkenalkan diri. Ini adalah kesempatan yang luar biasa, dimana saya harus berbicara didepan semua jamaah gereja tanpa persiapan apapun.
Selain mengenalkan diri, saya berbicara tentang apa saja yang ada dipikiran, saya lontarkan saja dengan bibir. Tidak peduli bagaimanapun caramu, dimana tempat ibadahmu, bahkan apa agamamu tujuannya tetap sama yakni tuhan. Tujuan kita sama yakni beribadah kepada tuhan, kita semua sama, kita semua saudara. Jadi mengapa kalian masih heran saja kalau ada orang berjilbab masuk gereja? Akhir kata dari pembicaraan saya disambut dengan tepukan applause luar biasa. Tuhan menempatkan saya disini bukan suatu kebetulan, namun penuh takdir dengan rancangan yang indah. Tangan Tuhan menempa saya melalui serentetan tugas mulia di bumi Nusa Tenggara Timur. Tugas mulia yang penuh kesukaran, tantangan bahkan cucuran air mata akan saya lakukan dengan hati. Mendidik di tanah ini bukan urusan calistung saja, namun mendidik dengan hati. Saya teguhkan sebagai pendidik bahwa ada character building yang saya bangun dengan kokoh di dalam diri mereka. Sebagai guru panutan, saya harus mampu mengarahkan mereka ke dalam pendidikan berkarakter. Senada dengan pendapat Berkowitz dan Bier yang menyatakan pendidikan karakter merupakan penciptaan lingkungan sekolah yang membantu peserta didik dalam perkembangan etika, tanggung jawab melalui model dan pengajran karakter yang baik melalui nilai-nilai universal. Untuk bertahan di dalam dunia yang keras ini, untuk tidak tergerus dalam kebudayaan hedonism, untuk tetap berkembang besar namun tetap memiliki ciri khas diri dalam mereka diperlukan pendidikan karakter. Mereka anak Malaka, anak Indonesia Timur. Nak, Tuhan menempamu menjadi manusia hebat bukan melalui kesenangan namun melalui tantangan, kesukaran, bahkan cucuran air mata. Tetap pilih jalan mendaki ibu guru anik (^,^)
Sabtu, 9 September 2016 lalu adalah hari yang bersejarah bagi saya dan umat gereja St. Santa Maria Fatima Nurobo. Saya tercatat sebagai orang muslim pertama yang pernah masuk di Gereja St. Santa Maria Fatima Nurobo. Saya ingin menjadi pendidik professional, jadi mengapa saya harus membatasi diri untuk mendampingi anak didik saya menanggung misa di gereja? Saya percaya, dimanapun saya menjejakkan kaki, semua itu tanah miliki sang Khalik. Dengan balutan kemeja dan jilbab merah jambu yang dipadukan dengan pakaian adat berupa kain tais dan selendang, saya memasuki gereja itu. Kedatangan saya disambut dengan ratusan pasang mata jamaah gereja penuh keheranan. Tatapan heran itu sontak saja mewarnai wajah saya menjadi merah merona. Misa berjalan lancar dan khitmah, sayapun senantiasa meneguhkan hati untuk berdoa dengan Alloh. Mata bapa Pater Selli (CMF Marcellinus Beam) tidak luput dengan kehadiran saya. Saat beliau berkhutbah, Pater Selli mempersilahkan saya menaiki podiumnya untuk sekedar memperkenalkan diri. Ini adalah kesempatan yang luar biasa, dimana saya harus berbicara didepan semua jamaah gereja tanpa persiapan apapun.
Selain mengenalkan diri, saya berbicara tentang apa saja yang ada dipikiran, saya lontarkan saja dengan bibir. Tidak peduli bagaimanapun caramu, dimana tempat ibadahmu, bahkan apa agamamu tujuannya tetap sama yakni tuhan. Tujuan kita sama yakni beribadah kepada tuhan, kita semua sama, kita semua saudara. Jadi mengapa kalian masih heran saja kalau ada orang berjilbab masuk gereja? Akhir kata dari pembicaraan saya disambut dengan tepukan applause luar biasa. Tuhan menempatkan saya disini bukan suatu kebetulan, namun penuh takdir dengan rancangan yang indah. Tangan Tuhan menempa saya melalui serentetan tugas mulia di bumi Nusa Tenggara Timur. Tugas mulia yang penuh kesukaran, tantangan bahkan cucuran air mata akan saya lakukan dengan hati. Mendidik di tanah ini bukan urusan calistung saja, namun mendidik dengan hati. Saya teguhkan sebagai pendidik bahwa ada character building yang saya bangun dengan kokoh di dalam diri mereka. Sebagai guru panutan, saya harus mampu mengarahkan mereka ke dalam pendidikan berkarakter. Senada dengan pendapat Berkowitz dan Bier yang menyatakan pendidikan karakter merupakan penciptaan lingkungan sekolah yang membantu peserta didik dalam perkembangan etika, tanggung jawab melalui model dan pengajran karakter yang baik melalui nilai-nilai universal. Untuk bertahan di dalam dunia yang keras ini, untuk tidak tergerus dalam kebudayaan hedonism, untuk tetap berkembang besar namun tetap memiliki ciri khas diri dalam mereka diperlukan pendidikan karakter. Mereka anak Malaka, anak Indonesia Timur. Nak, Tuhan menempamu menjadi manusia hebat bukan melalui kesenangan namun melalui tantangan, kesukaran, bahkan cucuran air mata. Tetap pilih jalan mendaki ibu guru anik (^,^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar