Moauimreu
Di Malaka,
suatu kabupaten hasil pemekaran kabupaten Belu, provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat
salah satu acara adat yang bernama Moauimreu. Secara terminologi, Moauimreu
berasal dari bentuk kata, “moa”, “uim” dan “reu”. Moa berarti membuat, uim
artinya rumah, dan reu artinya keramat sehingga secara harfiah Moauimreu dapat
diartikan sebagai pembuatan rumah keramat. Pada saat ini, Moauimreu memiliki
makna yang lebih luas. Ia dapat berarti perbaikan rumah adat maupun acara
perkumpulan dari beberapa suku adat. Konon, dahulu terdapat suku besar
membentuk sebuah struktur pemerintahan dan membangun markas yang terdapat di
sebuah tempat yang bernama Taisuni. Taisuni adalah sebuah tempat di daerah
pegunungan kapur di sebelah Utara kecamatan Laen Manen. Ada beberapa rumah adat yang berdiri di puncak
Taisuni. Rumah itu disusun berdasarkan tinggi rendahnya golongan. Golongan yang
berkedudukan tinggi memiliki bangunan dengan posisi yang lebih tinggi dari
bangunan yang lain. Hal ini dikarenakan golongan suku yang berkedudukan tinggi
menjadi pemimpin untuk golongan yang berada di bawahnya dan membentuk suatu
hierarki.
Rumah
adat bernama Tatobeninma dari suku Kunia di Taisuni yang baru diperbaiki
Moaumreu ini dilakukan hanya ketika terdapat rumah adat yang mengalami kerusakan sehingga moaumreu dapat terjadi 10 tahun sekali. Bulan September tahun 2016 ini terdapat rumah adat yang mengalami kerusakan tepatnya di rumah suku Kunia di Taisuni. Terdapat dua rumah adat Kunia yang diperbaiki yaitu bernama Tatobeninma dan Bah hakean. Dalam perbaikan rumah adat tersebut harus dilakukan bersamaan. Bah hakean merupakan rumah suku yang tidak ada penghuni dan hanya tetua adat saja yang boleh masuk. Hal ini dikarenakan Bah hakean terdapat banyak benda-benda keramat peninggalan leluhur. Dalam Moauimreu ini, sepuluh suku besar diundang. 10 suku besar itu yaitu suku Butero yang berasal dari Butero, suku Kapitan yang datang dari Tuaninu, suku Sarintamor, Kusa, Nakreu, Hanan, Areo, Oabesi, Kunia dan suku A’kuan. Sebelum acara puncak atau “Maun meo” terlebih dahulu diadakan acara Tun tatoan, na katom nais un. Tun tatoan, na katom nais un dapat berarti beritahu para leluhur bahwa harus perbaikan. Acara Tun tatoan, na katom nais un ini mengarah pada perizinan dan pemberitahuan pada leluhur bahwa akan diadakan perbaikan rumah adat (Moauimreu). Para anggota suku berkumpul untuk membicarakan mengenai segala hal yang dibutuhkan untuk perbaikan. Lalu, pada saat inilah para anggota suku pada pukul 2 dini hari melakukan acara pemindahan barang keramat seperti “suin reu” atau pedang, “nai besi” atau periuk leluhur, “toe eb lora” atau piring kecil yang dianyam, “tai nama” atau kain perempuan, “muti” kalung dari perak dan batu. Setelah acara pemindahan barang keramat tersebut dilakukan barulah dilakukan Moauimreu seperti penggantian atap dari alang-alang, bilik-bilik hingga rangka pada rumah adat.
Senin,
12 September 2016 merupakan puncak acara Moauimreu. Acara puncak tersebut
dinamai “Maun meo”. Pada acara tersebut mereka membawa persembahan berupa Babi
sebagai wujud syukur kepada pencipta. Selain itu, para wanita dan laki-laki dalam
satu keluarga menari Likurai. Tarian ini merupakan ungkapan rasa syukur dan
kegembiraan masyarakat akan anugerah yang diberi oleh sang khalik. Pada awalnya
tari likurai merupakan sebuah jenis tarian perang. Konon, tarian ini
diperagakan untuk menyambut para pahlawan yang pulang dengan selamat dari
peperangan, namun sekarang tari likurai berubah fungsi untuk penyambutan tamu
penting, simbol kebersamaan, dan sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Dalam tari
likurai, wanita memukul “tirai” atau alat musik sejenis kendang kecil. Untuk
laki-laki mengikuti dengan membawa “Suin meo”. Suin memiliki arti pedang
sedangkan meo berarti jagoan. Suin meo atau pedang ini hanya dikeluarkan hanya
saat acara puncak.
Mereka
menari dengan menggunakan pakaian adat dan perhiasan yang dikenakan di badan, tangan,
kaki dan kepala. Untuk wanita, mereka menggunakan pakaian khas yang di tenun
bernama “tais” sedangkan laki-laki menggunakan pakaian khas yang di tenun
bernama “bete”. Kaki mereka diikat “giring-giring” atau sejenis lonceng kecil.
Di kepala mereka ada yang menggunakan ikat kepala yang telah dihiasai perak
berbentuk koin yang lebar serta “destar” yang di letakkan di kepala berbahan
kain. Leher mereka dipasang slendang yang ditenun. Dalam tari likurai, gerakan
peronggeng wanita memainkan tirai atau kendang dengan gerakan kaki menghentak bergantian dan pria menari dengan
gerakan tangan memainkan pedang dan gerakan kaki yang menghentak.
Para
wanita dan laki-laki melakukan tarian likurai di halaman suku Kunia di Taisuni
Sesampainya
di halaman suku Kunia di Taisuni, mereka terus melakukan likurai hingga ada
beberapa keluarga dari satu suku maupun suku lain yang masuk dan bergantian
untuk melakukan tarian likurai. Masing-masing keluarga dari satu suku membawa
sesembahan 1 ekor babi. Babi tersebut diiringi oleh tari likurai dengan posisi
dibelakang para penari. Satu suku besar tersebut dapat mempersembahkan 5-12 ekor
babi. Babi tersebut nantinya akan dikumpulkan ditempat yang telah disediakan.
Babi
dikumpulkan di halaman suku Kunia di Taisuni setelah anggota suku melakukan
likurai
1
ekor babi nantinya akan di potong oleh tetua adat. Lalu, beberapa babi yang
telah dikumpulkan oleh beberapa suku akan dibagi dengan cara dikembalikan
dengan cara diacak oleh ketua suku untuk kemudian nantinya dibawa kembali ke
rumah masing-masing untuk dipotong dan dibagikan kepada seluruh anggota
keluarga. Pengembalian sesembahan babi secara acak dipercaya dapat meningkatkan
rasa kebersamaan antaranggota suku. Acara moauimreu diakhiri dengan No’tetu
atau pembubaran. No’tetu dilakukan dengan pemenggalan binatang kerbau dengan
sekali tebas menggunakan Suin meo oleh tetua adat yang ditunjuk. Uniknya bila
leher kerbau belum putus maka 2 tetua adat lain akan maju untuk menebas secara
bergantian. Setelah kerbau mati, para anggota suku saling berbagi. (DWI ANIK,
B. BAGAS SM-3T, Kab. Malaka, NTT).
Keren euy (y) 4 thumbs for this article (y) (y) (y) (y)
BalasHapusIya terimaksih.. salam Malaka NTT :D
BalasHapussemangat adik2 semua yg bertugas di malaka,ntt,semoga amal.baktimu menjadi setitik harapan bagi masa depan anak negeri di tapal batas ini.salam sukses dr kakak guru di sragen.
BalasHapusAmin ya Rabbbalalamin :D salam kembali dan terimakasih juga sudah berkunjung.. :)
BalasHapusHalooo... sayang sekali kemarin lebaran waktu saya ke Malaka (dan mampir ke Posko SM3T) pas tidak ada upacara adat yaa....
BalasHapusiya kak ditunggu lagi kedatanganya...
BalasHapussemoga juga bisa berjumpa kembali