Oleh : Novita Nurcahyati, S.Pd
Selamat
datang di SD N Oevetnai. Begitulah tulisan yang disusun dan di tempel di
selembar kain seadanya yang dibentangkan di atas pagar sekolah, untuk menyambut
guru SM-3T. Lagu pramuka ‘Selamat Datang Kakak’ ikut meramaikan suasana suka
cita penyambutan. Anak-anak berjajar di samping kiri dan kanan berbaris
membentuk pagar betis dengan tepuk tangan seretak. Senyuman manis nan lebar
dengan penuh semangat terpancar dari
muka setiap anak-anak. Sambutan sederhana yang menggetarkan hati saya. Hari
Senin, tanggal 05 September 2016 tepat pukul 16.00 WITA saya menginjakkan kaki
di tanah SDN Oevetnai.
Saya
disambut dengan hadiah berupa selendang tenun khas Malaka. Selendang berwarna
hijau kombinasi kuning, dengan motif yang mempesona. Seorang siswi mengalungkan
selendang tersebut ke leher saya dengan penuh kehati-hatian. Saya berjalan
melangkahkan kaki tanpa ragu menuju barisan para guru dan anak-anak yang sudah
menanti sedari pagi. Saya mengulurkan tangan, berjabat tangan dengan mereka.
Salah satu guru perempuan menitihkan air mata, dan saya pun juga tak kuasa
menahan tangis kegembiraan atas sambutan mereka.
“Ya
Alloh, terima kasih telah menempatkan saya di tengah-tengah mereka. Belum
pernah saya merasa begitu terharu seperti ini, terima kasih Ya Alloh, telah memberikan
amanah ini kepada saya”. Ucap syukur saya di dalam hati. Anak-anak dengan
seragam terbaik mereka tidak lelah menunggu kedatangan guru SM-3T dari pagi
hingga sore. Saya benar-benar merasa menjadi manusia yang sangat penting dan
sangat dihargai pada hari itu.
Saya
tidak datang sendiri saat penyambutan. Saya bersama dengan Erika, salah satu
teman SM-3T yang kebetulan lokasi penempatannya berdekatan dengan SDN Oevetnai,
yaitu di SMA 17 Agustus Weoe. Saya duduk bersama dengan Erika, Kepala Sekolah
SDN Oevetnai, Kepala Sekolah SMA 17 Agustus Weoe, Kepala Desa Weoe, dan tetua
adat di Dusun Wetalas bersama seluruh anak-anak SDN Oevetnai. Di Malaka ada dua
bahasa daerah yang lazim digunakan selain Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Dawan,
dan Bahasa Tetun. Kepala Sekolah kami dan Kepala Desa berbicara kepada tetua
adat menggunakan Bahasa Dawan yang belum kami mengerti. Dengan sabar Ibu Kepala
SDN Oevetnai, Ibu Itha, menerjemahkan kepada kami apa yang beliau semua
bicarakan bersama tetua adat, karena tetua adat di Dusun Wetalas ini tidak
terlalu bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia. Kami berdua hanya bisa
tersenyum dan memperhatikan dengan seksama.
Di
setiap daerah pasti memiliki adat istiadat yang berbeda-beda. Begitu juga di
Kabupaten Malaka ini. Kabupaten Malaka merupakan pemekaran dari kabupaten Belu
dan baru berumur 3 tahun. Kabupaten Malaka juga berbatasan langsung dengan
negara tetangga yakni Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Adat di sini,
setiap tamu yang datang berkunjung yang pertama kali disuguhkan adalah daun
sirih dan pinang, beserta kapur sebagai pelengkapnya. Kami diharuskan memakan
daun sirih dengan pinang dan sedikit kapur. Ini pengalaman pertama saya memakan
daun sirih mentah dengan pinang. Rasanya agak pahit dan sepat. Setelah adat sirih
pinang, barulah disuguhkan minuman dan kue seadanya. Minuman yang disuguhkan
adalah minuman kemasan dalam gelas plastik dengan merek “Wemon” yang artinya
air bersih. ‘We’ itu adalah air, dan ‘mon’ artinya bersih. Itulah kata-kata
pertama dalam Bahasa Tetun yang kami mengerti.
Setelah
selesai acara penyambutan, tepat pukul 17.00 WITA kami turun kembali ke Desa
Weoe untuk istirahat dan bermalam di rumah Ibu Itha, Kepala Sekolah SDN
Oevetnai. Untuk sementara waktu kami tinggal bersama Ibu Itha. Mayoritas penduduk
di Desa Weoe beragama Katholik dan Kristen. Kami berdua adalah muslim, namun
kami kagum dengan toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat di sini. Kami
selalu diingatkan untuk beribadah ketika sudah masuk jam sholat. Sungguh
Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika.
Waktu
menunjukkan pukul 18.30 WITA, saya sudah selesai ibadah, dan duduk di ruang
tamu untuk berbincang dan mengakrabkan diri dengan keluarga baru saya di sini.
Ibu Itha bercerita dengan sabar, serta mengajarkan beberapa kata dalam Bahasa
Tetun. ‘Oevetnai’ adalah nama dari SD tempat saya akan mengabdi selama satu
tahun ke depan. ‘oe’ itu berarti air, ‘vet’ dari kata ‘veto’ yang berarti putri
atau perempuan, dan ‘nai’ yang berarti raja. Jadi jika digabungkan ‘oevetnai’
berarti mata air putri raja. Bukan tanpa sebab SD tersebut di beri nama
‘oevetnai’ karena memang tepat di depan sekolah tersebut terdapat mata air
sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar. Mata air tersebut tidak pernah
kering dan terus mengalir sepanjang tahun.
“Di
sinilah tempat saya akan mengukir sejarah hidup untuk satu tahun ke depan”.
Saya berharap anak-anak di SDN Oevetnai bisa menjadi seseorang yang dapat
berguna bagi orang lain. Seperti mata air yang tidak akan pernah kering bagi
masyarakat di lingkungan sekitar mereka. Terus mengalir untuk membasahi setiap
lahan kering, dan menjadi penyejuk dalam kehausan akan pengetahuan. Mereka lah
generasi penerus bangsa dengan semangat pantang menyerah dan tak pernah lelah
untuk terus menimba ilmu.
***
Begitu
banyak hal baru yang saya temukan di hari-hari awal penugasan. Jika ingin
bertahan hidup, harus bisa dan harus cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru. Itu adalah salah satu pelajaran yang saya dapat selama saya
mengikuti kegiatan Prakondisi di Markas Akademi Angkatan Udara (AAU)
Jogjakarta. Saya mendapatkan lokasi penempatan di Kabupaten Malaka, tepatnya di
SDN Oevetnai, Dusun Wetalas, Desa Weulun, Kecamatan Wewiku.
Di
Awal penugasan saya masih tinggal bersama dengan Ibu Kepala Sekolah SDN
Oevetnai. Ibu Brigitha Bano Bria nama beliau, saya memanggilnya ‘Mama Itha’,
Kepala Sekolah sekaligus orang tua angkat saya di daerah penugasan ini. Mama
Itha dengan sabarnya mengajari saya Bahasa Tetun, bahasa yang lazim digunakan
di daerah ini. Dengan bantuan cucu perempuan dari Mama Itha, Anggre, nama gadis
jelita yang cantik, dengan tahi lalat mungil di dekat matanya. Anggre menjadi
‘dosen’ Bahasa Tetun bagi saya. Dengan tingkah lincahnya ia mengucapkan kata
demi kata dalam Bahasa Tetun dan menerjemahkannya dalam Bahasa Indonesia.
Dengan buku dan pena di tangan, saya mencatat dengan cepat dan berusaha
mengucapkan kata-kata tersebut dengan lafal, intonasi, dan logat semirip
mungkin dengan nara sumber kecil saya itu. Seisi rumah tertawa kecil, mendengar
saya berusaha mengucapkan kata demi kata yang sudah saya catat. Sekejap saja
saya sudah bisa berhitung 1-10 dalam Bahsa Tetun dengan lancar.
Seiring
berjalannya waktu, semakin banyak kosa kata Bahasa Tetun yang saya mengerti,
terutama untuk sapaan kegiatan sehari-hari. Contohnya, ‘Mai tur lai’ biasa
digunakan untuk menyapa orang yang lewat didepan rumah kita, mempersilakan
untuk mampir kerumah, sekedar duduk mengobrol. Orang yang disapa akan menjawab
‘ami liyun’ atau ‘hau liyun’ yang artinya kami terus dalam artian tidak bisa
singgah dirumah tersebut. ‘Ami liyun’ apabila orang yang berjalan lebih dari
satu, sedangkan ‘hau liyun’ digunakan jika hanya seorang diri.
Belajar
itu bukan hanya untuk anak kecil saja, melainkan juga orang dewasa, maupun juga
orang yang sudah tua. Karena belajar itu sepanjang hayat, dari buaian hingga
sampai liang lahat. Saya banyak belajar dari seoarang anak kecil yang baru saja
saya kenal. Saya menyadari bahwa di daerah penugasan itu bukan hanya mengajar
melainkan juga untuk ikut belajar. Bukan hanya untuk memberi, melainkan juga
untuk menerima. Menerima mereka semua sebagai bagian dari pengabdian saya.
Keluarga
mama Itha menerima saya dengan senang hati, dan bahkan menganggap saya sebagai
seoarang anak dari keluarga Bria. Bahkan berdasarkan urutan tahun kelahiran
saya mendapat urutan ke-5 setelah kaka Erika sebagai anak dari keluarga mama
Itha dan Bapak Lorenz. Lingkungan di sekitar rumah juga ramah. Saya merasa
bangga hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyapa saya dengan senyuman
manis, meskipun kami belum saling mengenal ataupun berkenalan. Ramah tamah yang
menghangatkan bagi seorang pendatang baru seperti saya.
Hari
pertama masuk sekolah di tempat penugasan, yaitu pada hari Rabu, tanggal 07
September 2016. Saya berangkat sekolah di antar oleh anak sulung dari mama
Itha, Kakak Ochy namanya. Sedangkan mama Itha berangkat bersama saya dengan di
antar oleh tetangga kami. Jalanan yang kami lewati bukanlah jalan aspal yang
datar, halus dan mulus, melainkan jalan mendaki berbatu terjal dengan batu-batu
lepas di sepanjang jalan. Memang letak SD N Oevetnai ini berada di atas gunung,
agak jauh dari tempat tinggal mama Itha. Dan sudah selama satu tahun ini mama
Itha selalu pulang pergi melewati jalur ini dengan naik ojek. Sungguh perjuangan
pengabdian yang luar biasa. Tak jarang pula mama Itha berjalan kaki pulang dari
sekolah.
Semua
perjalanan kami terbayarkan ketika sampai di halaman sekolah. Melihat
pemandangan yang begitu mempesona. Saya bisa melihat hamparan pucuk pohon dan
pemandangan samar air laut dipadukan dengan birunya langit Nusa Tenggara Timur
yang elok. Ditambah lagi hembusan angin yang berlalu lalang dengan bebas
memberikan kesejukan. Rezeki ini diberikan gratis untuk saya, saya syukuri
sebagai anugrah yang tak ternilai harganya.
***
Bicara
tentang Tanah Timor biasanya orang akan mengatakan susah air atau kekeringan.
Tetapi faktanya tidak semua daerah disini susah air. Saya bersyukur ditempatkan
di Kecamatan Wewiku,
tepatnya di Desa Weoe disini merupakan daerah pesisir pantai yang kaya akan
air. Jadi tidak perlu khawatir untuk masalah air.
Daerah
pesisir pantai juga identik dengan daerah yang udaranya panas. Apalagi saat
saya tiba disini pada bulan September merupakan bulan puncak musim kemarau.
Dengan kondisi rumah disini yang menggunakan seng sebagai atapnya, maka
menambah panas udara saat berada di dalam rumah. Saya berasal dari Kabupaten
Boyolali yang notabene merupakan daerah kaki gunung merbabu dengan cuaca dingin
perlu cepat menyesuaikan diri dengan perbedaan kondisi cuaca ekstrem di Tanah
Timor. Berbekal kotak P3K yang dibagikan oleh Kemendikbud, saya bisa tetap
bertahan dan berhasil menyesuaikan diri dengan cuaca ekstrem disini.
Rumah
dengan atap seng bukanlah rumah asli daerah kabupaten Malaka. Rumah asli
kabupaten malaka menggunakan daun gewang sebagai atapnya, pelepah pohon gewang
sebagai dindingnya. Pelepah gewang juga bisa digunakan untuk pagar rumah. Pohon
gewang merupakan salah satu vegetasi yang sangat mudah dijumpai di Kabupaten
Malaka. Daun gewang selain bisa digunakan untuk atap, bisa juga dipakai sebagai
bahan baku anyaman khas Malaka diantaranya ‘nyiru’, ‘kleni’ atau ‘kajang’,
‘kakehe’, ‘knuk manu’ dan masih banyak lagi. Selain anyaman, daun gewang bisa
digunakan untuk tali karena serat daunnya yang kuat dan lidinya bisa
dimanfaatkan untuk sapu.
Pohon
sagu juga merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh di daerah ini. batang
sagu yang siap panen ditebang dan biasanya akan diolah menjadi tepung sagu.
Sagu merupakan bahan baku pembuatan kue ‘akarbilan’. Kue ini terbuat dari
tepung sagu dan kelapa parut, kemudian dipanggang secara tradisional dan
ditaburi sedikit gula dan kacang hijau yang sudah direndam sebelumnya. Kue
‘akarbilan’ merupakan kue khas yang biasa dinikmati masyarakat Malaka pada saat
pagi hari, ditemani secangkir teh ataupun kopi.
“Roti
goreng balik gula, donat donat, roti bakar roti bakar” begitulah lantunan nada khas yang biasa saya
dengar ketika pagi hari. Beberapa anak menjajakan kue sebelum berangkat
sekolah. Ketika sudah jam sekolah, maka mereka akan bersiap ke sekolah, dan kue
akan dijajakan di depan rumah. Saya merasa begitu kagum dengan mereka. Dengan
usia belia mereka tidak malu berjualan untuk membantu orang tua mereka.
Anak-anak yang benar-benar luar biasa.
***
Tak terasa sudah hampir lima bulan berada di
penempatan. Hampir separuh perjalanan. Belajar bersama anak-anak SDN Oevetnai
yang selalu antusias menerima pelajaran, membuat waktu berlalu begitu cepat.
Awal tahun baru 2017 di tanah perantauan, bulan Januari juga menandakan bahwa
semester genap telah dimulai. Awal dimulainya pengalaman yang takpernah terlupakan dalam
sejarah hidup saya.
Tepat
pada tanggal 23 Januari 2017, berdasarkan keputusan pemerintah setempat,
sekolah dasar yang saya tempati terpaksa harus ditutup sementara dikarenakan
ruang kelas yang kurang layak dan harus segera dilakukan perbaikan. Keputusan
ini menimbulkan gejolak batin yang luar biasa, bukan hanya untuk saya, namun
juga bagi anak-anak yang bersekolah disini. Anak-anak harus dialihkan ke
sekolah induk terdekat untuk sementara waktu. Sekolah dasar terdekat dengan SDN
Oevetnai adalah SDI Weulun, berjarak sekitar 1,5 KM.
Dalam
separuh perjalanan pengabdian saya harus pindah ke sekolah yang berbeda. Tentu
saja harus menyesuaikan lagi dengan lingkungan yang baru. Menyesuaikan dengan
guru, lingkungan, serta dengan anak-anak. Namun bagi saya ini merupakan suatu
tantangan tersendiri yang harus saya syukuri. Bagaimana harus cepat beradaptasi
dengan seluruh perangkat SDI Weulun. Bukan hanya saya yang harus beradaptasi,
namun saya juga punya tanggung jawab untuk membawa anak-anak dari SDN Oevetnai
agar bisa beradaptasi dengan guru dan teman-teman baru mereka di SDI Weulun.
Bukan tanpa alasan pemerintah setempat menutup SDN
Oevetnai. Melalui cerita yang berliku-liku. Berawal dari publikasi sebuah foto,
kami seluruh guru di SDN Oevetnai dipanggil untuk menghadap pihak pemerintahan.
Dari publikasi foto tersebut timbullah komentar-komentar yang tidak sedap
tentang pihak pemerintah. Namun segala masalah tersebut dapat terlampaui dengan
bantuan dari doa segala pihak. Keputusan akhirnya sekolah SDN Oevetnai akan
segera mendapatkan bantuan pendirian gedung permanen, dan saat ini masih dalam
tahap pembangunan. Sementara menunggu pembangunan gedung, anak-anak dan guru
dialihkan ke sekolah induk yaitu di SD Inpres Weulun.
Di
SDI Weulun saya mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan PKn
di kelas IV A. Terkadang masuk di kelas–kelas yang kosong saat guru yang
bersangkutan berhalangan hadir. Hal yang paling berkesan adalah ketika mengaja
anak-anak di kelas rendah (kelas 1, 2 atau 3) mereka selalu antusias ketika
saya mengajarkan sedikit lagu atau yel-yel baru yang berhubungan dengan
pelajaran.
Mengabdi
di dua sekolah yang berbeda adalah pengalaman yang tak akan pernah saya
lupakan. Menjadi bagian dalam program SM3T angkatan VI menjadikan saya belajar
begitu banyak ilmu kehidupan. Bertemu dengan orang-orang luar biasa, yang belum
pernah saya bayangkan sebelumnya. Mengikuti program SM3T ini mengajarkan saya
tentang bagaiman hidup secara mandiri, mengatur segala sesuatunya sendiri, dan
bagaimana harus menyusun skala prioritas selama di pengabdian. Berbagai masalah
dan tantangan yang ada selama di penempatan tidak menjadikan semangat saya jadi
pudar, justru masalah-masalah yang ada membuat saya makin antusias untuk
menemukan solusi pemecahan permasalahan tersebut.
***
Bulan
lepas bulan terlewati. Akhir masa tugas akan segera tiba. Banyak kenangan telah
terlukis di Tanah Timor ini. Kenangan bersama keluarga baru, anak-anak yang
polos, teman-teman guru, dan juga bersama teman SM3T yang lain. Masih banyak
hal yang belum terlukiskan disini. Berat rasanya mau mengakhiri masa pengabdian
ini. Namun setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tak terhitung gelimangan air
mata yang akan tumpah mengiringi akhir masa pengabdian. Semoga pendidikan di
Tanah Malaka semakin maju dan berkualitas. Tetap menjadi daerah yang
bertoleransi tinggi. Menjadi sebuah contoh Kebhinekaan Negara Republik
Indonesia. Perbedaan suku, agama, warna kulit tidak memecah belah kita namun
menjadi sebuah keunikan yang indah. Saling menghargai apa yang kita miliki dan
apa yang dimiliki orang lain.
Setiap
daerah memiliki potensinya masing-masing. Semoga Malaka menjadi Sebuah
Kabupaten yang bisa diperhitungkan di negara ini. Pendidikan merupakan hal
terpenting dalam membentuk masa depan suatu daerah. Dengan Pendidikan yang
berkualitas mari bersama mencerdasakan Indonesia.