Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

AKU DI TANAH TIMOR





Bunyi alarm membangunkanku dari tidur panjang. Tanganku  meraba-raba mencari sumber bunyi yang berasal dari HP di dekat kepala dalam keadaan setengah sadar. Aku terkesiap ketika melihat jam di layar HP menunjukkan pukul 05.00. Hawa dingin memaksaku untuk segera beranjak dari tempat tidur dan mengambil air wudhu. Seketika terbayang peristiwa kemarin, saat pembicara menyebutkan nama ‘Laily Choirunnisa’ beserta tempat penugasan. Ya, saya diberikan amanat untuk mendidik anak-anak di SMA Negeri Alas, Desa Alas, Kecamatan Kobalima Timur. Terbayang puluhan peserta didik beserta wakil kepala sekolah yang sore hari masih belum pulang sekolah hanya untuk menyambut guru baru SM-3T. Masih tidak percaya rasanya berada di daerah Alas, di mana dalam waktu 20 menit dengan mengendarai motor kita sudah bisa berada di luar negeri, yaitu Timor Leste.
Kobalima Timur merupakan wilayah yang berbatasan darat dengan Timor Leste dan hanya dipisahkan oleh jembatan beraspal di atas sungai. Mayoritas penduduk Kobalima Timur beragama Katolik dengan ternak yang mendominasi adalah babi, anjing, dan sapi. Kecamatan Kobalima Timur terdiri dari beberapa desa, salah satunya Desa Alas yang terletak dekat dengan daerah pegunungan. Meskipun terletak di daerah perbatasan, namun sebagian besar kondisi jalan raya sudah beraspal, listrik telah menjangkau setiap rumah, hanya saja ketersediaan air masih langka.
Kecamatan Kobalima Timur memiliki beberapa lembaga pendidikan, di antaranya SDI Fatuha, SDI Lalebun, SDK Ailala, SMP Metamauk, SMP Kotabiru, SMP Kotabot, dan satu-satunya jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas, yaitu SMA Negeri Alas. SMAN Alas terdiri dari 6 ruang kelas, yaitu kelas XA dan XB, kelas XI IPA dan XI IPS, serta kelas XII IPA dan XII IPS. Bangunan ruang kelas XII telah berlantaikan keramik dan berdindingkan tembok, sementara 4 kelas lainnya masih berupa ruang darurat yang berlantaikan tanah dengan dinding terbuat dari bambu tanpa daun pintu. Bahkan gapura sekolah hanya terbuat dari triplek persegi panjang yang bertuliskan “WELCOME TO SMAN ALAS” dengan cat merah yang diberi ornamen beberapa buah bambu sebagai penyangganya.

Berbeda dengan sarana dan prasarana yang dimiliki Sekolah Menengah Atas pada umumnya, SMAN Alas belum memiliki perpustakaan, lapangan voli, lapangan basket, laboratorium Bahasa, TIK, Biologi, Kimia, dan Fisika, sementara kegiatan pembelajaran menuntut peserta didik untuk fasih berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, terampil mengoperasikan komputer dan menghasilkan sebuah karya ilmiah layaknya seorang ilmuwan. Koleksi buku pun hanya berupa buku pelajaran yang terdiri dari satu rak dan menjadi satu dengan ruang guru maupun ruang kepala sekolah. Kurangnya sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang mendukung proses pembelajaran, memaksa peserta didik menjadi kurang termotivasi untuk sekolah dan belajar.

Selasa, 6 September 2016 merupakan hari pertama saya berangkat ke sekolah penugasan dengan pakaian putih dilapisi rompi SM-3T dan rok hitam, sementara guru lainnya mengenakan seragam PGRI. Berbeda dengan daerah lainnya, setiap Rabu dan Kamis para guru dan seluruh peserta didik diwajibkan menggunakan atribut tambahan berupa selendang tenun. Saat apel pagi, Bapak Kepala Sekolah memperkenalkan saya kepada seluruh peserta didik SMA Negeri Alas. Saya juga ditugaskan untuk mengampu mata pelajaran Biologi dan TIK.
Keterbatasan sarana dan prasarana membuat pembelajaran Biologi yang dilaksanakan selama ini hanya berupa teori, seperti penjelasan/ceramah, tanya jawab dan mencatat, tanpa adanya praktikum. Peserta didik menjadi bosan dan tidak suka dengan pelajaran Biologi sebab dinilai kurang menarik. Keadaan tersebut menggugah saya untuk mengubah pola pikir mereka. Suatu waktu kami melaksanakan pembelajaran Biologi dengan bantuan gambar, video, internet, dan laptop. Bahkan, beberapa peserta didik terkadang mencari referensi dengan searching melalui internet menggunakan laptop dan HP yang saya miliki.
Kami juga berhubungan langsung dengan alam saat mempelajari materi mengenai kingdom plantae (dunia tumbuhan). Peserta didik mencari beberapa tumbuhan, kemudian mengidentifikasi nama tumbuhan dan menggolongkan tumbuhan ke dalam monokotil atau dikotil dari identifikasi struktur tumbuhan yang meliputi akar, batang, daun, dan bunga. Jadi bukan hanya sekedar menyelesaikan materi ataupun mendapat nilai tinggi, namun membuat peserta didik lebih mengerti dan memahami menjadi tujuan utama yang menjadikan proses pembelajaran menjadi jauh lebih bermakna, sebab proses tak pernah mengkhianati hasilnya.
Selain mata pelajaran Biologi, saya juga mengampu mata pelajaran TIK. Sebagai lulusan Biologi, mengajar TIK tentu bukanlah hal mudah, ditambah beberapa faktor seperti tidak adanya laboratorium komputer dan LCD beserta OHP. Bahkan, ruang kelas yang dihuni peserta didik kelas X dan XI pun masih berupa ruang darurat yang berlantaikan tanah dengan dinding-dinding terbuat dari bambu, sehingga tidak ada sumber listrik. Apalagi saat hujan turun kegiatan KBM terpaksa dihentikan karena ruang kelas tergenang air, atap bocor, meja, kursi, dan peralatan sekolah lain menjadi basah, tak terkecuali tubuh peserta didik yang berada di barisan pinggir dekat jendela alami.


Selama ini, pembelajaran TIK yang diperoleh peserta didik hanya berupa teori tanpa adanya praktikum, sehingga wajar saja jika peserta didik belum mengenal disket, flashdisk, maupun USB modem, belum bisa membedakan antara keyboard dan mouse serta belum mengetahui cara mengoperasikan komputer, termasuk prosedur mematikan komputer dengan benar. Namun, keterbatasan tercipta bukan sebagai alasan pembenaran sebuah keadaan. Peserta didik tetap harus melaksanakan praktikum dan mampu mengoperasikan program komputer, sedikitnya program Microsoft Office Word.
Berbagai upaya dan pemikiran panjang telah saya lalui sembari memberikan pembelajaran TIK berupa teori selama sebulan. Setelah bertanya dan mencari informasi kepada guru, peserta didik, dan masyarakat setempat, saya berencana mengajak peserta didik untuk melaksanakan praktikum di kantor desa. Kantor desa yang terdapat di daerah Alas, dilengkapi dengan empat buah komputer yang digunakan untuk masyarakat umum dan satu buah komputer untuk petugas serta adanya WiFi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Setelah memperoleh izin dari kepala sekolah dan petugas kantor desa, saya mengajak peserta didik untuk latihan mengoperasikan komputer saat pelajaran TIK, mulai dari prosedur menyalakan dan mematikan komputer, mengoperasikan program Microsoft Office Word dan Excel serta pembuatan email. Namun keterbatasan waktu, jumlah komputer dengan banyaknya jumlah peserta didik membuat pelajaran TIK dilanjutkan pada sore hari di luar jam pelajaran sekolah.
Jarak antara sekolah dan kantor desa yang cukup jauh, sementara segala resiko peserta didik ketika berada di luar sekolah menjadi tanggung jawab guru yang sedang mengajar, maka kami lebih sering melaksanakan pembelajaran TIK di sekolah. Berbekal laptop menjadi tanggung jawab guru yang sedang mengajar, maka kami lebih sering melaksanakan pembelajaran TIK di sekolah. Berbekal laptop sekolah yang digunakan untuk kepentingan administrasi dan laptop yang saya miliki, kami tetap melaksanakan praktikum dengan sabar dan bergantian. Waktunya pun tak menentu, di mana ada jam pelajaran kosong, di situ saya masuk dan meminta peserta didik untuk melaksanakan praktikum.       
Belajar di ruang darurat, tidak ada laboratorium Biologi, laboratorium bahasa dan laboratorium komputer untuk tingkatan peserta didik pada Sekolah Menengah Atas merupakan hal yang tabu, mengingat tuntutan lulusan SMA yang akan melanjutkan ke jenjang Universitas harus mahir menggunakan internet, terampil layaknya ilmuwan ataupun fasih dalam berbahasa. Belajar di ruang darurat membuat proses KBM di sekolah banyak tersita hanya untuk memperbaiki dan membangun kembali ruang belajar, mengatur meja kursi ketika akan digunakan untuk ruang Ujian Nasional, hingga membongkar bambu dan menyatukan dua ruangan kelas ketika ada acara perpisahan yang dihadiri oleh orangtua dan peserta didik. Untungnya mereka masih memiliki semangat dan keinginan kuat untuk menjadi orang hebat, sehingga adanya rintangan tak lagi berfungsi sebagai hambatan demi meraih cita-cita di masa depan.
Peserta didik sering mengucapkan terima kasih setiap pembelajaran selesai dilaksanakan. Ada sedikit desiran dalam hati dan rasa haru dalam diri setiap mendengar ucapan terima kasih dari peserta didik setiap kali saya mengupayakan berlangsungnya proses pembelajaran secara kontekstual. Rasa lelah, bingung dan kesulitan yang saya alami ketika mempersiapkan materi demi berlangsungnya KBM dengan baik seketika hilang. Bahkan, bukan hanya berupa ucapan kadang juga saya memperoleh pelukan dan curahan hati mereka yang tak ingin ditinggalkan. Sesuatu hal yang jarang atau bahkan tidak mungkin saya temukan dan dapatkan saat di daerah perkotaan. Bahagia rasanya karena merasa dibutuhkan dan bisa bermanfaat bagi orang lain karena hidup mengajarkan untuk lebih banyak memberi bukan menerima dan manusia sebagai makhluk sosial pada hakikatnya selalu saling berbagi.
Mendidik anak-anak di daerah 3T dengan kebudayaan masyarakat lokal yang menghalalkan minuman keras, terbiasa dengan pesta dan dansa serta tidak mempermasalahkan laki-laki dan perempuan yang sudah menikah adat untuk tinggal serumah dan berkeluarga, menjadi tantangan tersendiri. Informasi mengenai anak-anak di daerah Timor yang tumbuh dengan didikan kekerasan, ternyata benar adanya. Hukuman berupa tamparan, pukulan, dan tinju sudah menjadi hal biasa. Berbeda dengan guru lainnya, hukuman yang saya berikan paling hanya berupa push-up, hormat bendera merah putih, sindiran, motivasi, dan pendekatan. Perubahannya memang tidak terlihat signifikan, tetapi dalam hati terkadang mereka membenarkan apa yang saya ucapkan. 

Saya memang berbagi ilmu pengetahuan kepada mereka, namun mereka lebih banyak berbagi mengenai ilmu kehidupan kepada saya. Banyak hal yang saya teladani dari mereka, seperti tak pernah mengeluh dan bekerja keras. Setiap pulang sekolah peserta didik berjalan kaki menempuh beberapa kilometer jalanan mendaki dan setiap sore selalu pergi menimba air, sementara banyak masyarakat yang mencari nafkah dari menenun kain atau selendang serta menjual hasil kebun dengan komoditas utama jagung dan kacang tanah.
Meskipun memiliki agama, tradisi, budaya, adat, dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan masyarakat kota pada umumnya, namun perbedaan yang ada tak lantas memisahkan kita. Sebab, perbedaan sejatinya menyatukan. Keadaan masyarakat di daerah 3T, khususnya Kobalima Timur, NTT yang didominasi oleh tradisi, budaya, adat, agama, mistis, dan istilah ‘pamali’ sedikit menimbulkan kesan menyeramkan, sebab kita harus waspada dan berhati-hati untuk menghargai dan menghormati masyarakat sekitar. Banyak masyarakat yang masih mendirikan rumah adat sebagai peninggalan dari nenek moyang dengan segala macam aturan dan larangan yang dipercaya dapat menimbulkan kerugian. Misalnya, kita tidak boleh memegang empat bagian sudut-sudut rumah adat Berebein, jika melanggarnya tanpa disadari kita menjadi pencuri. Selain itu, ketika mengunjungi rumah adat Berebein, kepala tidak boleh terbentur bagian atas pintu masuk, jika melanggarnya maka tanpa disadari kita akan melakukan perbuatan zina sebanyak tujuh kali.
Hampir genap 12 bulan lamanya saya berada di wilayah penugasan. Manis dan pahit berbagai peristiwa telah dialami. Suka duka, susah senang, perasaan cemas, was-was, ketakutan, kekhawatiran semua telah bercampur aduk. Mulai dari beratnya menimba dan mengangkat air puluhan jerigen, hingga beratnya menahan rindu terhadap keluarga, teman-teman, dan kampung halaman. Mulai dari melakukan hal-hal yang dianggap tabu dengan perasaan takut, menjadi kebiasaan yang seringkali dilakukan karena sebuah aturan. Ya, sempat ada desiran dalam hati ketika pertama kali memasuki gereja untuk mendampingi peserta didik latihan menyanyi dan ikut berpartisipasi menyanyikan beberapa lagu. Meskipun menjadi kaum minoritas, namun perlakuan peserta didik dan masyarakat setempat membuat diri lupa bahwa saya berbeda dengan mereka. Kita memang beda agama dan budaya, tetapi pendidikan tidak pernah membeda-bedakan aku, kamu, dan mereka. Bangga dan bahagia rasanya pernah menjadi bagian dari mereka.
Editor : Harnum Kurniawati & Septi Afifah

1 komentar:

  1. salam adat ibu, saat ini masih di malaka kah? nika masih tolong kontak saya ya WA 081317274556

    BalasHapus