Bunyi
alarm membangunkanku dari tidur panjang. Tanganku meraba-raba mencari sumber bunyi yang berasal
dari HP di dekat kepala dalam keadaan setengah sadar. Aku terkesiap ketika
melihat jam di layar HP menunjukkan pukul 05.00. Hawa dingin memaksaku untuk
segera beranjak dari tempat tidur dan mengambil air wudhu. Seketika terbayang
peristiwa kemarin, saat pembicara menyebutkan nama ‘Laily Choirunnisa’ beserta
tempat penugasan. Ya, saya diberikan amanat untuk mendidik anak-anak di SMA
Negeri Alas, Desa Alas, Kecamatan Kobalima Timur. Terbayang puluhan peserta
didik beserta wakil kepala sekolah yang sore hari masih belum pulang sekolah
hanya untuk menyambut guru baru SM-3T. Masih tidak percaya rasanya berada di
daerah Alas, di mana dalam waktu 20 menit dengan mengendarai motor kita sudah
bisa berada di luar negeri, yaitu Timor Leste.
Kobalima
Timur merupakan wilayah yang berbatasan darat dengan Timor Leste dan hanya
dipisahkan oleh jembatan beraspal di atas sungai. Mayoritas penduduk Kobalima
Timur beragama Katolik dengan ternak yang mendominasi adalah babi, anjing, dan
sapi. Kecamatan Kobalima Timur terdiri dari beberapa desa, salah satunya Desa
Alas yang terletak dekat dengan daerah pegunungan. Meskipun terletak di daerah
perbatasan, namun sebagian besar kondisi jalan raya sudah beraspal, listrik
telah menjangkau setiap rumah, hanya saja ketersediaan air masih langka.
Kecamatan
Kobalima Timur memiliki beberapa lembaga pendidikan, di antaranya SDI Fatuha,
SDI Lalebun, SDK Ailala, SMP Metamauk, SMP Kotabiru, SMP Kotabot, dan
satu-satunya jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas, yaitu SMA Negeri Alas.
SMAN Alas terdiri dari 6 ruang kelas, yaitu kelas XA dan XB, kelas XI IPA dan
XI IPS, serta kelas XII IPA dan XII IPS. Bangunan ruang kelas XII telah
berlantaikan keramik dan berdindingkan tembok, sementara 4 kelas lainnya masih
berupa ruang darurat yang berlantaikan tanah dengan dinding terbuat dari bambu
tanpa daun pintu. Bahkan gapura sekolah hanya terbuat dari triplek persegi
panjang yang bertuliskan “WELCOME TO SMAN ALAS” dengan cat merah yang diberi
ornamen beberapa buah bambu sebagai penyangganya.
Berbeda
dengan sarana dan prasarana yang dimiliki Sekolah Menengah Atas pada umumnya,
SMAN Alas belum memiliki perpustakaan, lapangan voli, lapangan basket, laboratorium
Bahasa, TIK, Biologi, Kimia, dan Fisika, sementara kegiatan pembelajaran
menuntut peserta didik untuk fasih berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, terampil
mengoperasikan komputer dan menghasilkan sebuah karya ilmiah layaknya seorang
ilmuwan. Koleksi buku pun hanya berupa buku pelajaran yang terdiri dari satu
rak dan menjadi satu dengan ruang guru maupun ruang kepala sekolah. Kurangnya
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang mendukung proses
pembelajaran, memaksa peserta didik menjadi kurang termotivasi untuk sekolah
dan belajar.
Selasa,
6 September 2016 merupakan hari pertama saya berangkat ke sekolah penugasan
dengan pakaian putih dilapisi rompi SM-3T dan rok hitam, sementara guru lainnya
mengenakan seragam PGRI. Berbeda dengan daerah lainnya, setiap Rabu dan Kamis
para guru dan seluruh peserta didik diwajibkan menggunakan atribut tambahan
berupa selendang tenun. Saat apel pagi, Bapak Kepala Sekolah memperkenalkan
saya kepada seluruh peserta didik SMA Negeri Alas. Saya juga ditugaskan untuk
mengampu mata pelajaran Biologi dan TIK.
Keterbatasan
sarana dan prasarana membuat pembelajaran Biologi yang dilaksanakan selama ini
hanya berupa teori, seperti penjelasan/ceramah, tanya jawab dan mencatat, tanpa
adanya praktikum. Peserta didik menjadi bosan dan tidak suka dengan pelajaran
Biologi sebab dinilai kurang menarik. Keadaan tersebut menggugah saya untuk
mengubah pola pikir mereka. Suatu waktu kami melaksanakan pembelajaran Biologi
dengan bantuan gambar, video, internet, dan laptop. Bahkan, beberapa peserta
didik terkadang mencari referensi dengan searching
melalui internet menggunakan laptop dan HP yang saya miliki.
Kami
juga berhubungan langsung dengan alam saat mempelajari materi mengenai kingdom plantae (dunia tumbuhan). Peserta
didik mencari beberapa tumbuhan, kemudian mengidentifikasi nama tumbuhan dan
menggolongkan tumbuhan ke dalam monokotil atau dikotil dari identifikasi
struktur tumbuhan yang meliputi akar, batang, daun, dan bunga. Jadi bukan hanya
sekedar menyelesaikan materi ataupun mendapat nilai tinggi, namun membuat
peserta didik lebih mengerti dan memahami menjadi tujuan utama yang menjadikan
proses pembelajaran menjadi jauh lebih bermakna, sebab proses tak pernah
mengkhianati hasilnya.
Selain
mata pelajaran Biologi, saya juga mengampu mata pelajaran TIK. Sebagai lulusan
Biologi, mengajar TIK tentu bukanlah hal mudah, ditambah beberapa faktor
seperti tidak adanya laboratorium komputer dan LCD beserta OHP. Bahkan, ruang
kelas yang dihuni peserta didik kelas X dan XI pun masih berupa ruang darurat
yang berlantaikan tanah dengan dinding-dinding terbuat dari bambu, sehingga tidak
ada sumber listrik. Apalagi saat hujan turun kegiatan KBM terpaksa dihentikan
karena ruang kelas tergenang air, atap bocor, meja, kursi, dan peralatan
sekolah lain menjadi basah, tak terkecuali tubuh peserta didik yang berada di
barisan pinggir dekat jendela alami.
Selama
ini, pembelajaran TIK yang diperoleh peserta didik hanya berupa teori tanpa
adanya praktikum, sehingga wajar saja jika peserta didik belum mengenal disket,
flashdisk, maupun USB modem, belum bisa membedakan antara keyboard dan mouse
serta belum mengetahui cara mengoperasikan komputer, termasuk prosedur
mematikan komputer dengan benar. Namun, keterbatasan tercipta bukan sebagai alasan
pembenaran sebuah keadaan. Peserta didik tetap harus melaksanakan praktikum dan
mampu mengoperasikan program komputer, sedikitnya program Microsoft Office
Word.
Berbagai
upaya dan pemikiran panjang telah saya lalui sembari memberikan pembelajaran TIK
berupa teori selama sebulan. Setelah bertanya dan mencari informasi kepada
guru, peserta didik, dan masyarakat setempat, saya berencana mengajak peserta
didik untuk melaksanakan praktikum di kantor desa. Kantor desa yang terdapat di
daerah Alas, dilengkapi dengan empat buah komputer yang digunakan untuk
masyarakat umum dan satu buah komputer untuk petugas serta adanya WiFi yang
dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Setelah memperoleh izin dari kepala
sekolah dan petugas kantor desa, saya mengajak peserta didik untuk latihan
mengoperasikan komputer saat pelajaran TIK, mulai dari prosedur menyalakan dan
mematikan komputer, mengoperasikan program Microsoft Office Word dan Excel
serta pembuatan email. Namun
keterbatasan waktu, jumlah komputer dengan banyaknya jumlah peserta didik
membuat pelajaran TIK dilanjutkan pada sore hari di luar jam pelajaran sekolah.
Jarak
antara sekolah dan kantor desa yang cukup jauh, sementara segala resiko peserta
didik ketika berada di luar sekolah menjadi tanggung jawab guru yang sedang
mengajar, maka kami lebih sering melaksanakan pembelajaran TIK di sekolah.
Berbekal laptop menjadi tanggung jawab guru yang sedang mengajar, maka kami
lebih sering melaksanakan pembelajaran TIK di sekolah. Berbekal laptop sekolah
yang digunakan untuk kepentingan administrasi dan laptop yang saya miliki, kami
tetap melaksanakan praktikum dengan sabar dan bergantian. Waktunya pun tak
menentu, di mana ada jam pelajaran kosong, di situ saya masuk dan meminta
peserta didik untuk melaksanakan praktikum.
Belajar
di ruang darurat, tidak ada laboratorium Biologi, laboratorium bahasa dan
laboratorium komputer untuk tingkatan peserta didik pada Sekolah Menengah Atas
merupakan hal yang tabu, mengingat tuntutan lulusan SMA yang akan melanjutkan
ke jenjang Universitas harus mahir menggunakan internet, terampil layaknya
ilmuwan ataupun fasih dalam berbahasa. Belajar di ruang darurat membuat proses
KBM di sekolah banyak tersita hanya untuk memperbaiki dan membangun kembali
ruang belajar, mengatur meja kursi ketika akan digunakan untuk ruang Ujian
Nasional, hingga membongkar bambu dan menyatukan dua ruangan kelas ketika ada
acara perpisahan yang dihadiri oleh orangtua dan peserta didik. Untungnya
mereka masih memiliki semangat dan keinginan kuat untuk menjadi orang hebat,
sehingga adanya rintangan tak lagi berfungsi sebagai hambatan demi meraih
cita-cita di masa depan.
Peserta
didik sering mengucapkan terima kasih setiap pembelajaran selesai dilaksanakan.
Ada sedikit desiran dalam hati dan rasa haru dalam diri setiap mendengar ucapan
terima kasih dari peserta didik setiap kali saya mengupayakan berlangsungnya
proses pembelajaran secara kontekstual. Rasa lelah, bingung dan kesulitan yang
saya alami ketika mempersiapkan materi demi berlangsungnya KBM dengan baik
seketika hilang. Bahkan, bukan hanya berupa ucapan kadang juga saya memperoleh
pelukan dan curahan hati mereka yang tak ingin ditinggalkan. Sesuatu hal yang
jarang atau bahkan tidak mungkin saya temukan dan dapatkan saat di daerah
perkotaan. Bahagia rasanya karena merasa dibutuhkan dan bisa bermanfaat bagi
orang lain karena hidup mengajarkan untuk lebih banyak memberi bukan menerima
dan manusia sebagai makhluk sosial pada hakikatnya selalu saling berbagi.
Mendidik
anak-anak di daerah 3T dengan kebudayaan masyarakat lokal yang menghalalkan
minuman keras, terbiasa dengan pesta dan dansa serta tidak mempermasalahkan
laki-laki dan perempuan yang sudah menikah adat untuk tinggal serumah dan
berkeluarga, menjadi tantangan tersendiri. Informasi mengenai anak-anak di
daerah Timor yang tumbuh dengan didikan kekerasan, ternyata benar adanya.
Hukuman berupa tamparan, pukulan, dan tinju sudah menjadi hal biasa. Berbeda
dengan guru lainnya, hukuman yang saya berikan paling hanya berupa push-up, hormat bendera merah putih,
sindiran, motivasi, dan pendekatan. Perubahannya memang tidak terlihat
signifikan, tetapi dalam hati terkadang mereka membenarkan apa yang saya
ucapkan.
Saya
memang berbagi ilmu pengetahuan kepada mereka, namun mereka lebih banyak
berbagi mengenai ilmu kehidupan kepada saya. Banyak hal yang saya teladani dari
mereka, seperti tak pernah mengeluh dan bekerja keras. Setiap pulang sekolah
peserta didik berjalan kaki menempuh beberapa kilometer jalanan mendaki dan
setiap sore selalu pergi menimba air, sementara banyak masyarakat yang mencari
nafkah dari menenun kain atau selendang serta menjual hasil kebun dengan
komoditas utama jagung dan kacang tanah.
Meskipun
memiliki agama, tradisi, budaya, adat, dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan
masyarakat kota pada umumnya, namun perbedaan yang ada tak lantas memisahkan
kita. Sebab, perbedaan sejatinya menyatukan. Keadaan
masyarakat di daerah 3T, khususnya Kobalima Timur, NTT yang didominasi oleh
tradisi, budaya, adat, agama, mistis, dan istilah ‘pamali’ sedikit menimbulkan
kesan menyeramkan, sebab kita harus waspada dan berhati-hati untuk menghargai
dan menghormati masyarakat sekitar. Banyak masyarakat yang masih mendirikan
rumah adat sebagai peninggalan dari nenek moyang dengan segala macam aturan dan
larangan yang dipercaya dapat menimbulkan kerugian. Misalnya, kita tidak boleh
memegang empat bagian sudut-sudut rumah adat Berebein, jika melanggarnya tanpa
disadari kita menjadi pencuri. Selain itu, ketika mengunjungi rumah adat
Berebein, kepala tidak boleh terbentur bagian atas pintu masuk, jika
melanggarnya maka tanpa disadari kita akan melakukan perbuatan zina sebanyak
tujuh kali.
Hampir
genap 12 bulan lamanya saya berada di wilayah penugasan. Manis dan pahit
berbagai peristiwa telah dialami. Suka duka, susah senang, perasaan cemas,
was-was, ketakutan, kekhawatiran semua telah bercampur aduk. Mulai dari
beratnya menimba dan mengangkat air puluhan jerigen, hingga beratnya menahan
rindu terhadap keluarga, teman-teman, dan kampung halaman. Mulai dari melakukan
hal-hal yang dianggap tabu dengan perasaan takut, menjadi kebiasaan yang
seringkali dilakukan karena sebuah aturan. Ya, sempat ada desiran dalam hati
ketika pertama kali memasuki gereja untuk mendampingi peserta didik latihan
menyanyi dan ikut berpartisipasi menyanyikan beberapa lagu. Meskipun menjadi
kaum minoritas, namun perlakuan peserta didik dan masyarakat setempat membuat
diri lupa bahwa saya berbeda dengan mereka. Kita memang beda agama dan budaya,
tetapi pendidikan tidak pernah membeda-bedakan aku, kamu, dan mereka. Bangga
dan bahagia rasanya pernah menjadi bagian dari mereka.
Editor : Harnum Kurniawati & Septi Afifah
salam adat ibu, saat ini masih di malaka kah? nika masih tolong kontak saya ya WA 081317274556
BalasHapus