Translate

Kamis, 03 Agustus 2017

LUKISAN KENANGAN DI TANAH PENGABDIAN “MALAKA”








Oleh : Menuk Supratmi, S. Pd


Hai, nama saya Menuk Supratmi. Saya adalah peserta SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) angkatan VI. Penempatan di Sekolah Dasar Katolik Tafuli, Desa Boen, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam menjalankan tugas sebagai guru SM-3T di Sekolah Dasar Katolik Tafuli, saya bertanggungjawab untuk menjadi wali kelas VI (Enam). Bagi saya ini adalah tugas yang cukup berat dan menantang, karena sebelum mengikuti program SM-3T saya hanyalah seorang GTT (Guru Tidak Tepat) yang hanya berpengalaman menjadi wali kelas III dan IV. Biasanya untuk kelas VI akan diserahkan kepada guru yang lebih senior atau lebih berpengalaman. Hati saya pun bertanya, apakah saya mampu menjalankan tugas ini?. Pertanyaan ini sudah terjawab, setelah kurang lebih 10 bulan saya menjadi guru kelas mereka. Tanggal 15 Juni 2017, tepatnya hari Kamis merupakan hari pembagian amplop atau pembagian hasil Ujian Sekolah Nasional (USN) dan alhamdulillah anak-anak saya lulus dengan nilai yang memuaskan untuk versi saya sebagai guru mereka. (Hehehe, tidak bermaksud sombong lho ya).
Adakah kendala dalam melaksanakan tugas sebagai guru SM-3T? Kendalanya adalah ketika saya menemukan siswa yang belum bisa 3M (Membaca, Menulis, Menghitung). Kondisi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. siswa jarang berangkat sekolah (6 hari aktif dalam seminggu hanya 1 atau 2 hari mereka berangkat sekolah) hal ini disebabkan kondidsi geografis karena jarak rumah dengan sekolah yang terlalu jauh dan terkadang mereka juga lebih memilih untuk bekerja mencari uang dibandingkan sekolah, 2. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan masih rendah, 3. Sekolah masih kekurangan guru, sehingga ada kelas yang digabung saat kegiatan pembelajaran (misal, kelas 1,2, dan 3 digabung menjadi satu kelas) sehingga guru mengalami kesulitan untuk menangani siswa dengan tingkat kemampuan dan tingkat pelajaran yang berbeda. 


Bagaimana kehidupan di penempatan? Kehidupan saya dipenempatan cukup menyenangkan. Banyak hal baru yang saya temukan, saya pelajari, dan saya coba. Misalnya belajar memotong atau menyembelih ayam sendiri, belajar makan pisang (buah yang paling saya benci), makan sayur pucuk labu (daun, bunga, dan buah dimasak untuk lauk), makan sayur bunga gala-gala, makan jagung bose (makanan khasnya orang timor), mencuci baju di kali yang hanya cukup sekali bilas, dan merasakan bagaimana rasanya menjadi kaum minoritas ditengah mayoritas, tapi dengan hal tersebut saya menjadi belajar lebih bagaimana caranya menghargai perdedaan agama, perdedaan adat, dan perbedaan budaya. Bahagia? Pastilah. Sedih? Pernah. Kapan? Saat saya merindukan orangtua. Saya tinggal bersama orangtua asuh, di rumah Bapak Kepala Sekolah. Alhamdulillah mereka sangat baik dan sangat toleransi terhadap agama saya. Mereka bisa memahami apa yang bisa lakukan dan apa yang tidak bisa lakukan, apa yang boleh saya makan dan apa yang tidak boleh saya makan.


       
 Apakah listrik, sinyal, dan air lancar? Di penempatan belum ada listrik, untuk masalah penerangan saya dan keluarga menggunakan lampu sehen (memanfaatkan tenaga surya) dan jika sehen tidak menyala jalan alternatifnya adalah menggunakan pelita (lampu minyak tanah atau biasa orang jawa menyebutnya sebagai sentir). Untuk sinyal telpon dan sms, alhamdulillah tidak ada masalah. Untuk masalah air, Desa Boen tempat saya tinggal merupakan wilayah dataran tinggi. Kata yang tepat untuk saya ucapkan bukan “sumber air su dekat” tapi “sumber air belum dekat”, jarak rumah dengan kali atau sumber air sangat jauh sekitar 2 km. Ada si jasa ojek air, bayarnya Rp 1.000,-/jeriken. Nah, paling asyik itu saat musim hujan. Kenapa?, karena saya tidak perlu jalan jauh atau bayar jasa ojek, cukup dengan “tadah” atau menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan air (masak, mandi, ataupun untuk mencuci baju). Jangan tanya ya saya mandi sehari berapa kali! (hehehehehe). Saya masih ingat betul, saat saya di rumah Jawa, saya adalah orang yang boros air. Bapak selalu memperingatkan saya untuk menghemat air tapi saya tidak mendengarkannya sampai saatnya saya benar-benar merasakan bagaimana rasanya hidup di daerah yang susah air. Disitu saya terkadang merasa sedih karena tidak mendengarkan nasihat orangtua. Intinya memang pada kenyataanya menghemat air itu penting, karena masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kekurangan atau kesulitan memperoleh air bersih.


Seberapa jauh perjalanan dari penempatan ke kota? Saya tidak tahu berapa kilometer jaraknya, tapi lamanya perjalanan dari penempatan ke kota kurang lebih 3 jam. Tidak ada oto (transportasi roda empat/mobil bak terbuka) dari penempatan yang menuju ke kota, biasanya oto tersebut hanya beroprasi sampai di kecamatan saja, itupun hanya setiap hari kamis (hari pasar). Transportasi yang bisa langsung menuju ke kota hanya ojek motor, dengan biaya Rp 100.000,-/orang. Medan jalannya cukup ekstrim karena harus menyebrangi kali dan naik turun gunung dengan struktur tanah yang tidak menentu (jangan lupa siap sedia “koyok” untuk mengantisipasi jika badannya terasa sakit setelah menempuh perjalanan jauh, hehehehhe). Saat hujan dan kali banjir saya tidak bisa turun ke kota, karena motor tidak bisa melewati kali tersebut dan jalannya juga susah untuk di akses oleh kendaraan bermotor.
Apa saja program yang sudah dilaksanakan selama menjadi guru SM-3T? Program yang sudah saya jalankan, antara lain; memberikan jam tambahan belajar, mengaktifkan kembali ekstrakurikuler pramuka, pelatihan komputer untuk guru, pelatihan pembuatan krupuk singkong di Desa Boen, pengadaan buku bedah ujian untuk kelas VI, pengadaan plakat/bener, membuat rumah baca “Rumbaka Pintar” dengan kerjasama antara Guru SM-3T,  para donatur, dan Danramil Kabupaten Malaka, pembuatan pagar sekolah, dan program tanam rindang di sekolah.

Ketika gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Saya berharap perjuangan saya dengan teman-teman selama satu tahun ini sebagai Guru SM-3T dapat membawa manfaat bagi kemajuan pendidikan di Indonesia khususnya di Kabupaten Malaka. Demikianlah cerita pengalaman saya selama menjadi Guru SM-3T. Semoga cerita  pengabdian saya di atas dapat bermanfaat dan dapat menginspirasi. Aamiin

Salam MBMI “Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia”
Editor : Harnum & Agung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar