Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

“SEPASANG KAKI KECIL ELPHIN”




Sorot matanya tanpa senjata,
namun menyadarkan untuk sesiapa,
Sepasang kakinya kuat,
Namun tak saling mengalahkan,
Pikirannya penuh sesak atas mimpi-mimpi,
Namun tak pernah menghakimi,
Tuhan bersamanya, memeluknya,
Oleh sebab ia hidup atas baktinya,
Tersenyum wahai anak,
engkau sebaik-baik penerus bangsa..
-Kaki Kecil Elphin, Ailala Mei 2017-
Malam ini adalah purnama ke sembilan aku menulis cerita juga berada di tanah Timor, purnama yang pasti datang akan kedatangannya. Sungguh, ranselku penuh sesak tentang apa-apa pada mereka, dan pada akhirnya purnama tersisa menjemput kepulanganku nanti. Purnama terlihat sempurna dengan taburan bintang di sekelilingnya. Sinar masuk perlahan melalui celah-celah jendela, lubang-lubang udara, dan pantulan daun-daun kemiri yang tepat berada di halaman depan. Udara menunjukkan jati dirinya, meremas kulit, tulang-tulang, dan apapun yang menginginkan kehangatan untuk datang sesegera mungkin.
            Sembilan purnama bukanlah waktu yang sebentar, banyak hal yang membuatku matang dengan sendirinya. Aku semakin banyak melihat rajutan, goresan, maupun lukisan menarik yang belum pernah aku temui sebelumnya. Semua itu serasa menyeru pada diriku, tidak lain ingin mengatakan “kamu tidak ada apa-apanya dari mereka”. Ya, mereka adalah anak didikku. Tidak perlu diragukan lagi bagaimana semangatnya untuk mengenal olah gerak tubuh, angka-angka, alphabet, nama kota-kota, nama provinsi-provinsi, dan negara-negara. Apalagi terbersit di pikiran untuk meragukan bakti mereka pada keluarga, yaitu orang tua, bisa dipastikan keraguan itu ialah pemikiran yang salah. Bakti mereka sangat sempurna bagiku. Dari sekian banyak anak didikku, aku banyak terkagum dengan ia si pemilik rambut pirang bernama Stefialdo Elphin Ulu.
            Stefialdo Elphin Ulu, aku biasa memanggilnya Elphin. Ia adalah anak didikku yang berada di bangku kelas empat Sekolah Dasar Katolik Ailala. Tergolong siswa yang rajin, responsif, dan aktif di kelas. Bisa dikatakan Elphin merupakan salah satu siswa yang memiliki keteladanan di atas rata-rata pada teman sebayanya. Sebelum aku mengecap ia sebagai siswa teladan, Elphin salah satu siswa yang sering terlambat masuk ke kelas, tetapi memiliki kehadiran yang lebih baik ketimbang teman sekelasnya. Ia seringkali terlambat memasuki kelas bukan karena rumahnya yang jauh dari sekolah yang hanya beberapa ratus meter saja, melainkan melaksanakan tugas baktinya pada orang tualah yang kerap membuat ia terlambat datang kesekolah.
Pagi itu akupun menyapa dan tak luput bertanya padanya “Elphin maylai (kemari), kamu terlambat kenapa?, bangun kesiangan kah?”, tak ada pertanyaan di seluk pikiranku pada pagi itu, yang ada di pikiranku ialah hanyalah seorang anak yang malam harinya malas untuk belajar, hanya menghabiskan waktu untuk menonton atau bermain, hingga sampai paginya bangun kesiangan untuk tiba di sekolah. Sekian detik aku menuggu kalimat yang ia ucapkan, sampai pada akhirnya jawaban yang ia keluarkan dari bibir tipisnya membuatku tercengang dan menelan ludah dalam-dalam. “Saya jual kue” ia berkata lirih. Akupun memastikan jikalau yang kudengar adalah benar, “kau jual kue pagi-pagi? Dimana?, dengan mata sayu karena ketakutan aku hukum, lalu dia menjawab “di Emelirin, Ailala Pa”. Emelirin dan Ailala merupakan nama salah satu dusun di Desa Alas Utara, sedangkan Elphin sendiri tinggal di Dusun Wefakhi dengan jarak radius 1 sampai 2 kilometer untuk tiba di kedua dusun tempat ia menjual kue. Masyarakat di sini menyebutnya “kue” yang aku sendiri lebih mengenal sebagai jajanan pasar, seperti donat, molen, apem, pisang goreng, dan lain sebagainya. Harga kue di sini terbilang sangat murah, ialah lima ratus rupiah untuk sepotong kue, harga yang mungkin akan sulit kutemukan di “pulau barat sana”. Ya, pagi itu ia membuatku terkejut atas jawaban yang ia lontarkan padaku, atas apa yang ia lakukan sebelum tiba di ruang kelas.
Elphin atau Stefi Moruk panggilan akrab teman-temannya adalah salah satu siswa yang sekaligus mempunyai kesibukan membantu orang tuanya sebagai penjual kue keliling. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara, memiliki tiga kakak laki-laki dan dua adik laki-laki dan perempuan. Agus ialah adiknya yang sering menemani ia berjualan kue sepulang dari sekolah, ia duduk di kelas dua. Mereka adalah siswa-siswiku yang tidak pernah lepas baktinya pada orang tua, dan keduanya sama-sama sekolah di SDK Ailala, Desa Alas Utara, Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku mengenal Elphin lebih dekat saat aku mulai menjadi wali kelas empat di semester dua, yang sebelumnya pada semester satu aku diamanahkan menjadi wali kelas enam, jadi hanya tau ia sepintas saja sebagai siswa kelas empat yang sangat rajin, riang, dan berbakti pada orang tua.
Elphin menjajakan kuenya pada pagi dan siang menjelang sore. Hampir setiap pagi dan sore Elphin berkeliling desa untuk menjual kue-kuenya hingga tak tersisa. Apabila kuenya habis lebih cepat, tentu ia akan lebih sedu pulang ke rumah untuk bersiap berangkat ke sekolah, atau saat sore hari ia lebih banyak waktu untuk bermain dengan teman-temannya. Tidak semua kue yang ia bawa dari rumah bisa terjual habis di pagi hari atau sore hari. Terkadang di pagi hari, apabila kue yang ia bawa tersisa ia putuskan untuk menjualnya di siang hari dengan tambahan kue-kue yang akan di jual pada sore harinya. Dengan jalan terjal, berbatu, berpasir, maupun bersemen beton, dengan medan menaiki dan menuruni bukit, Elphin menjajakannya di rumah-rumah penduduk, di rumah-rumah langganannya yang telah menanti Elphin dengan kue-kuenya .    
Pikiran-pikiran atas pertanyaanku saat itu sama sekali tidak bisa dibenarkan, seporadis aku menuduhnya anak pemalas. Akupun sadar, sebagai wali kelas aku tidak bisa “saklek” mempersalahkannya, dia amat menginspirasi teman sekelasnya dan aku sebagai guru kelasnya. Tetapi untuk menguatkan ia dan memberikan pembelajaran kepada teman-temannya, aku tetap memberikan punishment untuknya. Aku tetap menyuruhnya untuk melakukan gerakan push up atas kesalahan keterlambatan masuk ruang belajar tanpa alasan apapun yang dirasa tidak rasional. Melihat ia melaksanakan hukuman dariku, aku serasa menampar wajahku dengan mistar penggaris, lalu membenturkan tulang keringku ke sudut meja hingga kulit memerah dan mengelupas. Aku saat itu tidak bisa menghentikannya, ia melakukan hukuman itu karena kesepakatan bersama antara aku dengan anak-anak didikku. Terlebih aku ingin membentuk karakter disiplin sejak dini dan menanamkan pemahaman bahwa tidak terlambat datang ke sekolah adalah bagian terpenting dari sekolahnya.
Punishment berupa push up yang disepakati pada saat awal menjadi wali kelas empat ternyata cukup efektif, siswa terlatih mandiri dengan kesadaran yang jauh lebih baik. Mereka mengetahui letak salahnya di mana dan berjanji tidak akan mengulanginya. Aku belum bertanya, mereka yang berbuat kesalahan telah lebih dulu melontarkan kalimat “saya tidak sarapan, push up berapa kali pak?, saya tidak bawa botol berapa kali pak?, tadi saya terlambat, ikut push up juga kah pak?”. Tidak hanya terlambat datang kesekolah, punishment itu juga berlaku antara lain: tidak membawa botol air minum ke sekolah, tidak mengerjakan PR, tidak mandi, tidak sarapan, tidak sisip baju, dan kelakuan indisipliner yang lainnya. Sebenarnya, pembentukan karakter seperti ini sudah diterapkan pada kelas enam saat aku menjadi wali kelas mereka di semester satu. Apapun bentuk dan caranya, pembentukan atau penanaman karakter disiplin kepada siswa sangat diharuskan oleh seorang guru. Hal yang paling penting adalah masih dalam batas kemampuan siswa untuk melakukannya, serta tidak membahayakan keselamatan siswa. Sehingga, siswa dapat mengerti apa yang sebenarnya guru tanamkan padanya melalui “push up” setiap berbuat kesalahan.  
Elphin salah satu siswa yang sampai hari ini selalu belajar dari kesalahan atas keterlambatannya masuk kelas. Aku tidak mungkin membiarkan kesalahan-kesalahannya terulang setiap hari karena harus melakukan baktinya terhadap orang tua. Lewat pendekatan personal, menyampaikan salam pengertianku pada orang tuanya, meyakinkan bahwa yang ia lakukan tidak sepenuhnya salahnya, merupakan pemberian solusi atas permasalahannya, sebagai wujud upaya untuk menyelamatkan kedua-duanya. Ya menyelamatkan Elphin tidak terlambat datang ke sekolah dan ia tetap bisa berjualan kue di waktu pagi. Elphin sepakat untuk memulai menjual kue lebih pagi, tidak harus menarget sampai kue-kuenya habis, Melainkan apabila telah banyak teman-temannya yang berjalan menuju sekolah, ia sesegera mungkin untuk pulang dan mempersiapkan diri berangkat ke sekolah meskipun di toples besarnya masih tersisa belasan kue yang belum terjual.
Sejak pagi itu, dimana aku menghukumnya, memberikan pemahaman dan pengertian kepada dirinya serta orang tuanya yang aku titipkan salam melalui dirinya, Elphin menjadi siswa yang sukar sekali untuk terlambat. Ia berhasil membagi waktunya untuk melaksanakan baktinya pada orang tua dan sekolahnya. Terlebih di kelas ia selalu menjadi pioneer teman-temannya, ia adalah sosok siswa yang cerdas dalam segala hal. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung ia kuasai dengan baik. Tidak heran apabila Elphin memiliki kemampuan berhitung yang berada diatas rata-rata teman sekelasnya, kemampuan berhitung salah satunya terlatih karena kebiasaan yang ia lakukan dari menjual kue setiap pagi dan sore. Itulah sosok Elphin dari semua keistimewaannya. 

Di Indonesia masih banyak elpin-elpin yang lain tentunya, sifatnya yang menolak menyerah pada takdir hidup adalah cerminan dari anak-anak Nusa Tenggara Timur. Mereka berjuang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keluarga yang terutama untuk Bapa dan Mamanya. Elpin akan tetap menjadi Elpin dengan semangat yang tidak biasa terkalahkan oleh keadaaan. Ia menginspirasi teman-temannya, keluarganya, orangtuanya, dan sesiapa yang berada di sekelilingnya.
Sepasang kaki kecilnya akan saling menopang, selalu menguatkan langkah demi langkah, melawan jarak yang akan terlampaui dengan yakin, dan membungkam waktu yang pasti akan berlalu. Terimaksih wahai anak, semangatmu akan selalu menginspirasi bapak gurumu ini di manapun langkah kaki ini berpijak. Semoga engkau selalu dalam jangkauanNya, pelukanNya, tidak lain Tuhan Sang Maha Pencipta. (Wijang)


 Editor : Harnum Kurniawati &Septi Afifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar