Sorot
matanya tanpa senjata,
namun
menyadarkan untuk sesiapa,
Sepasang
kakinya kuat,
Namun
tak saling mengalahkan,
Pikirannya
penuh sesak atas mimpi-mimpi,
Namun
tak pernah menghakimi,
Tuhan
bersamanya, memeluknya,
Oleh
sebab ia hidup atas baktinya,
Tersenyum
wahai anak,
engkau sebaik-baik
penerus bangsa..
-Kaki
Kecil Elphin, Ailala Mei 2017-
Malam ini adalah
purnama ke sembilan aku menulis cerita juga berada di tanah Timor, purnama yang pasti datang akan
kedatangannya. Sungguh, ranselku penuh sesak tentang apa-apa pada mereka, dan
pada akhirnya purnama tersisa menjemput kepulanganku nanti. Purnama terlihat
sempurna dengan taburan bintang di sekelilingnya. Sinar masuk perlahan
melalui celah-celah jendela, lubang-lubang udara, dan pantulan daun-daun kemiri
yang tepat berada di halaman depan. Udara menunjukkan jati dirinya, meremas
kulit, tulang-tulang, dan apapun yang menginginkan kehangatan untuk datang
sesegera mungkin.
Sembilan purnama bukanlah waktu yang
sebentar, banyak hal yang membuatku matang dengan sendirinya. Aku semakin
banyak melihat rajutan, goresan, maupun lukisan menarik yang belum pernah aku
temui sebelumnya. Semua itu serasa menyeru pada diriku, tidak lain ingin mengatakan
“kamu tidak ada apa-apanya dari mereka”.
Ya, mereka adalah anak didikku. Tidak perlu diragukan lagi bagaimana
semangatnya untuk mengenal olah gerak tubuh, angka-angka, alphabet, nama
kota-kota, nama provinsi-provinsi, dan negara-negara. Apalagi terbersit di
pikiran untuk meragukan bakti mereka pada keluarga, yaitu orang tua, bisa
dipastikan keraguan itu ialah pemikiran yang salah. Bakti mereka sangat sempurna
bagiku. Dari sekian banyak anak didikku, aku banyak terkagum dengan ia si
pemilik rambut pirang bernama Stefialdo Elphin Ulu.
Stefialdo Elphin Ulu, aku biasa memanggilnya
Elphin. Ia adalah anak didikku yang berada di bangku kelas empat Sekolah Dasar
Katolik Ailala. Tergolong siswa yang rajin, responsif, dan aktif di kelas. Bisa
dikatakan Elphin merupakan salah satu siswa yang memiliki keteladanan di atas rata-rata pada
teman sebayanya. Sebelum aku mengecap ia sebagai siswa teladan, Elphin salah
satu siswa yang sering terlambat masuk ke kelas, tetapi memiliki kehadiran yang
lebih baik ketimbang teman sekelasnya. Ia seringkali terlambat memasuki kelas bukan
karena rumahnya yang jauh dari sekolah yang hanya beberapa ratus meter saja,
melainkan melaksanakan tugas baktinya pada orang tualah yang kerap membuat ia
terlambat datang kesekolah.
Pagi itu akupun menyapa dan tak luput bertanya
padanya “Elphin maylai (kemari), kamu terlambat kenapa?, bangun kesiangan
kah?”, tak ada pertanyaan di seluk pikiranku pada pagi itu, yang ada di
pikiranku ialah hanyalah seorang anak yang malam harinya malas untuk belajar,
hanya menghabiskan waktu untuk menonton atau bermain, hingga sampai paginya
bangun kesiangan untuk tiba di sekolah. Sekian detik aku menuggu kalimat yang
ia ucapkan, sampai pada akhirnya jawaban yang ia keluarkan dari bibir tipisnya
membuatku tercengang dan menelan ludah dalam-dalam. “Saya jual kue” ia berkata lirih. Akupun memastikan jikalau yang
kudengar adalah benar, “kau jual kue
pagi-pagi? Dimana?”, dengan mata
sayu karena ketakutan aku hukum, lalu dia menjawab “di Emelirin, Ailala Pa”.
Emelirin dan Ailala merupakan nama salah satu dusun di Desa Alas Utara, sedangkan
Elphin sendiri tinggal di Dusun Wefakhi dengan jarak radius 1 sampai 2
kilometer untuk tiba di kedua dusun tempat ia menjual kue. Masyarakat di sini menyebutnya “kue”
yang aku sendiri lebih mengenal sebagai jajanan pasar, seperti donat, molen,
apem, pisang goreng, dan lain sebagainya. Harga kue di sini terbilang sangat
murah, ialah lima ratus
rupiah untuk sepotong kue, harga yang mungkin akan sulit kutemukan di “pulau
barat sana”. Ya, pagi itu ia membuatku terkejut atas jawaban yang ia lontarkan
padaku, atas apa yang ia lakukan sebelum tiba di ruang kelas.
Elphin atau Stefi Moruk panggilan akrab
teman-temannya adalah salah satu siswa yang sekaligus mempunyai kesibukan
membantu orang tuanya sebagai penjual kue keliling. Ia anak kelima dari tujuh
bersaudara, memiliki tiga kakak laki-laki dan dua adik
laki-laki dan perempuan. Agus ialah adiknya yang sering menemani ia berjualan
kue sepulang dari sekolah, ia duduk di kelas dua. Mereka adalah siswa-siswiku
yang tidak pernah lepas baktinya pada orang tua, dan keduanya sama-sama sekolah
di SDK Ailala, Desa Alas Utara, Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten Malaka,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku mengenal Elphin lebih dekat saat aku mulai
menjadi wali kelas empat di semester dua, yang sebelumnya pada semester satu aku
diamanahkan menjadi wali kelas enam, jadi hanya tau ia sepintas saja sebagai
siswa kelas empat yang sangat rajin, riang, dan berbakti pada orang tua.
Elphin menjajakan kuenya pada pagi dan siang
menjelang sore. Hampir setiap pagi dan sore Elphin berkeliling desa untuk
menjual kue-kuenya hingga tak tersisa. Apabila kuenya habis lebih cepat, tentu
ia akan lebih sedu pulang ke rumah
untuk bersiap berangkat ke sekolah, atau saat sore hari ia lebih banyak waktu
untuk bermain dengan teman-temannya. Tidak semua kue yang ia bawa dari rumah
bisa terjual habis di pagi hari atau sore hari. Terkadang di pagi hari, apabila
kue yang ia bawa tersisa ia putuskan untuk menjualnya di siang hari dengan
tambahan kue-kue yang akan di jual pada sore harinya. Dengan jalan terjal,
berbatu, berpasir, maupun bersemen beton, dengan medan menaiki dan menuruni
bukit, Elphin menjajakannya di rumah-rumah penduduk, di rumah-rumah
langganannya yang telah menanti Elphin dengan kue-kuenya .
Pikiran-pikiran atas pertanyaanku saat itu sama
sekali tidak bisa dibenarkan, seporadis aku menuduhnya anak pemalas. Akupun
sadar, sebagai wali kelas aku tidak bisa “saklek” mempersalahkannya, dia amat
menginspirasi teman sekelasnya dan aku sebagai guru kelasnya. Tetapi untuk menguatkan
ia dan memberikan pembelajaran kepada teman-temannya, aku tetap memberikan punishment untuknya. Aku tetap menyuruhnya
untuk melakukan gerakan push up atas
kesalahan keterlambatan masuk ruang belajar tanpa alasan apapun yang dirasa
tidak rasional. Melihat ia melaksanakan hukuman dariku, aku serasa menampar
wajahku dengan mistar penggaris, lalu membenturkan tulang keringku ke sudut
meja hingga kulit memerah dan mengelupas. Aku saat itu tidak bisa
menghentikannya, ia melakukan hukuman itu karena kesepakatan bersama antara aku
dengan anak-anak didikku. Terlebih aku ingin membentuk karakter disiplin sejak
dini dan menanamkan pemahaman bahwa tidak terlambat datang ke sekolah adalah
bagian terpenting dari sekolahnya.
Punishment
berupa push up yang disepakati pada
saat awal menjadi wali kelas empat ternyata cukup efektif, siswa terlatih mandiri
dengan kesadaran yang jauh lebih baik. Mereka mengetahui letak salahnya di mana
dan berjanji tidak akan mengulanginya. Aku belum bertanya, mereka yang berbuat
kesalahan telah lebih dulu melontarkan kalimat “saya tidak sarapan, push up berapa kali pak?, saya tidak bawa botol
berapa kali pak?, tadi saya terlambat, ikut push up juga kah pak?”. Tidak
hanya terlambat datang kesekolah, punishment
itu juga berlaku antara lain: tidak membawa botol air minum ke sekolah, tidak
mengerjakan PR, tidak mandi, tidak sarapan, tidak sisip baju, dan kelakuan
indisipliner yang lainnya. Sebenarnya, pembentukan karakter seperti ini sudah diterapkan
pada kelas enam saat aku menjadi wali kelas mereka di semester satu. Apapun
bentuk dan caranya, pembentukan atau penanaman karakter disiplin kepada siswa
sangat diharuskan oleh seorang guru. Hal yang paling penting adalah masih dalam
batas kemampuan siswa untuk melakukannya, serta tidak membahayakan keselamatan siswa.
Sehingga, siswa dapat mengerti apa yang sebenarnya guru tanamkan padanya
melalui “push up” setiap berbuat
kesalahan.
Elphin salah satu siswa yang sampai hari ini selalu
belajar dari kesalahan atas keterlambatannya masuk kelas. Aku tidak mungkin membiarkan
kesalahan-kesalahannya terulang setiap hari karena harus melakukan baktinya terhadap
orang tua. Lewat pendekatan personal, menyampaikan salam pengertianku pada
orang tuanya, meyakinkan bahwa yang ia lakukan tidak sepenuhnya salahnya, merupakan
pemberian solusi atas permasalahannya, sebagai wujud upaya untuk menyelamatkan
kedua-duanya. Ya menyelamatkan Elphin tidak terlambat datang ke sekolah dan ia
tetap bisa berjualan kue di waktu pagi. Elphin sepakat untuk memulai menjual
kue lebih pagi, tidak harus menarget sampai kue-kuenya habis, Melainkan apabila
telah banyak teman-temannya yang berjalan menuju sekolah, ia sesegera mungkin
untuk pulang dan mempersiapkan diri berangkat ke sekolah meskipun di toples besarnya
masih tersisa belasan kue yang belum terjual.
Sejak pagi itu, dimana aku menghukumnya, memberikan
pemahaman dan pengertian kepada dirinya serta orang tuanya yang aku titipkan
salam melalui dirinya, Elphin menjadi siswa yang sukar sekali untuk terlambat.
Ia berhasil membagi waktunya untuk melaksanakan baktinya pada orang tua dan
sekolahnya. Terlebih di kelas ia selalu menjadi pioneer teman-temannya, ia adalah sosok siswa yang cerdas dalam
segala hal. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung ia kuasai dengan baik.
Tidak heran apabila Elphin memiliki kemampuan berhitung yang berada diatas
rata-rata teman sekelasnya, kemampuan berhitung salah satunya terlatih karena
kebiasaan yang ia lakukan dari menjual kue setiap pagi dan sore. Itulah sosok Elphin
dari semua keistimewaannya.
Di Indonesia masih banyak elpin-elpin yang lain
tentunya, sifatnya yang menolak menyerah pada takdir hidup adalah cerminan dari
anak-anak Nusa Tenggara Timur. Mereka berjuang tidak hanya untuk dirinya
sendiri, tetapi untuk keluarga yang terutama untuk Bapa dan Mamanya. Elpin akan
tetap menjadi Elpin dengan semangat yang tidak biasa terkalahkan oleh keadaaan.
Ia menginspirasi teman-temannya, keluarganya, orangtuanya, dan sesiapa yang
berada di sekelilingnya.
Sepasang kaki kecilnya akan saling menopang, selalu
menguatkan langkah demi langkah, melawan jarak yang akan terlampaui dengan
yakin, dan membungkam waktu yang pasti akan berlalu. Terimaksih wahai anak,
semangatmu akan selalu menginspirasi bapak gurumu ini di manapun langkah kaki
ini berpijak. Semoga engkau selalu dalam jangkauanNya, pelukanNya, tidak lain
Tuhan Sang Maha Pencipta. (Wijang)
Editor : Harnum Kurniawati &Septi Afifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar