SM-3T
merupakan suatu kata yang saya impikan ketika masa kuliah. Mendengarkan
berbagai kisah inspiratif dan mengharukan dari para alumni guru SM-3T membuat
saya bermimpi untuk mengikuti program ini.
Suatu
ketika saya diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi SM-3T angkatan VI dan Allah mengizinkan saya untuk
mengabdikan diri di suatu daerah yang selama ini tidak pernah terbayangkan akan
menginjakkan kaki. Penempatan saya mengabdi adalah Kabupaten Malaka Provinsi
Nusa Tenggara Timur, tepatnya di SDK Naekasak, Desa Sisi, Kecamatan
Kobalima.
Saya
tinggal dengan orang tua asuh sekaligus kepala sekolah di mana saya mengabdikan
diri untuk mencerdaskan anak bangsa. Hal pertama yang saya lihat dan rasakan di
penempatan adalah daerah pegunungan dengan cuaca yang sangat panas, susah air
dan belum teraliri listrik. Ketika waktu mandi saya harus menyusuri hutan menuju ke
sumber air. Di sana saya mandi di tempat terbuka. Selesai mandi dan sudah
segar, saya harus pulang mendaki gunung sehingga keringatpun keluar bercucuran.
Memasuki malam yang gelap lampu minyakpun dinyalakan. Suatu hal yang jarang
terjadi jikalau saya berada di rumah Jawa. Tetapi di penempatan ini setiap
malam saya dihadapkan dengan lampu
minyak untuk menerangi gelapnya malam. Sebagai satu-satunya pendatang dengan
kulit berwarna sawo matang diharuskan membaur dengan masyarakat asli yang
mayoritas tidak bersekolah dan tidak tahu menggunakan bahasa Indonesia.
SM3T
yang merupakan sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal,
tetapi bagi saya awal kehidupan saya di penempatan itu ada arti lain dari 3T
yaitu daerah tergelap, terasing dan tersunyi.
SDK
Naekasak merupakan sekolah swasta Katholik yang berada di Desa Sisi Kecamatan
Kobalima Kabupaten Malaka. Jumlah seluruh murid sekolah ini dari kelas 1 sampai
kelas VI ada 65 anak dan jumlah guru ada 8 yang terdiri dari 5 guru kelas, 1
guru agama Katholik,1 guru olahraga dan 1 kepala sekolah. Kepala SDK Naekasak
bernama Yasintus Mau yang sekaligus orang tua asuh saya di sini.
Hari
pertama masuk sekolah di SDK Naekasak disambut antusias oleh para guru dan
murid. Mereka melihat saya dengan sedikit keheranan karena penampilan saya yang
sedikit berbeda karena saya memakai kerudung dan warna kulit yang berbeda pula.
Hari pertama masuk sekolah langsung diadakan rapat untuk mengatur ulang
pembagian jam mengajar guru dan membahas agenda lainnya. Dengan masuknya saya
sebagai tenaga pendidik di sekolah membantu mengisi kekosongan guru kelas.
Melalui rapat yang panjang, akhirnya saya diberikan amanah untuk menjadi wali
kelas IV.
Hari
kedua masuk sekolah saya berangkat lebih awal. Belum ada guru lain yang datang.
Murid yang datangpun masih sedikit. Pagi itu saya langsung berkeliling di
lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah penuhi dengan hutan jati. Halaman sekolahpun
dipenuhi dengan sampah-sampah daun jati. Sehingga saya pun menyuruh murid-murid
yang sudah datang untuk membersihkannya. Selang beberapa saat kemudian lonceng pun
berbunyi tanda masuk sekolah. Untuk pertama kalinya saya mengajar anak-anak di
SDK Naekasak. Pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia. Diawali dengan
perkenalan singkat, sayapun mulai mengajar. Saya bercerita tentang kehidupan di
Jawa. Kemudian saya menyuruh setiap anak maju dan membacakan cerita yang ada di
buku. Dan suatu pemandangan yang membuat saya tercengang adalah mereka yang
sudah membaca masih terbata-bata dan ada satu anak yang memang sama sekali
tidak bisa membaca.
“Gregorius
Hale” begitulah teman- teman sebayanya memanggil. Hari itu saya mencoba menguji
Goris untuk menuliskan huruf A hingga Z. Dan ternyata masih belum lancar. Mulai
hari itu juga saya berkomitmen untuk mendidiknya sampai bisa. Saya berikan
tugas rumah dan menyuruhnya untuk datang ke rumah dan mengikuti les privat.
Selama seminggu anak itu tidak pernah datang ke rumah. Akhirnya saya memutuskan
untuk mendatangi rumahnya yang berada tidak jauh dari tempat tinggalku. Dengan
kondisi rumah yang sangat sederhana dan terbilang berantakan goris hidup dengan
keluarganya yang berjumlah 4 orang. Ibunya seorang yang buta huruf dan tidak
sadar pendidikan. Ayahnya adalah seorang buruh di kebun. Ayahnya adalah seorang
tuna wicara. Adiknya goris masih berumur 4 tahun. Setelah melihat semua itu
saya berkomitmen untuk berusaha lebih keras lagi untuk membimbing anak ini
setidaknya agar lancar membaca dan menulis.
Sudah
hampir sebulan mengajar, saya merasa
belum membuat perubahan pada anak didik saya. Dengan keterbatasan buku
pelajaran dan keterbatasan sumber belajar yang lain membuat saya merasa sedikit
lelah dalam pengabdian ini.
Setiap
hari anak-anak kelas IV saya suruh menghafalkan penjumlahan, pengurangan,
perkalian, dan pembagian. Itu adalah dasar mempelajari matematika. Sebelum
masuk kelas anak-anak akan saya tes satu per satu. Saya juga memberikan trik-trik
khusus agar mereka cepat memahami matematika. Butuh waktu 2 bulan mereka baru
sedikit lancar dasar matematika tersebut. Kemudian saya baru masuk ke dalam
materi pembelajaran matematika layaknya kelas empat pada umumnya. Itupun saya
harus menuntun anak didik dengan sangat pelan agar mereka dapat mengikutinya.
Dibalik
anak-anak yang ibaratkan kertas putih dan harus saya lukis seindah mungkin dan
sebaik mungkin, saya dibuat bangga dengan sikap mereka. Apapun yang guru
perintahkan mereka akan cepat melaksanakan.
Setiap
sore saya harus pergi mandi dan mencuci baju di sumur yang jarak tempuhnya
lumayan menguras tenaga. Setibanya di sumur anak-anak langsung berbondong-bondong
datang untuk membantu ibu gurunya ini. Mereka menimbakan air dan membantu menyikat
baju. Biasanya setelah selesai mencuci dan mandi, saya sempatkan untuk sekedar
bernyanyi, bercerita, dan bercanda tawa bersama. Kadang orang tua murid juga
ada yang menawarkan makan sore atau sekadar minum kopi hitam. Selesai mencuci
dan berbincang-bincang dengan anak-anak, saya pulang ke rumah diantar mereka.
Sepulang
di rumah kebiasaan sore saya adalah menyapu halaman, mencuci piring, dan
memasak. Orang tua asuh beserta anaknya biasanya pergi ke kebun yang berada di
gunung sebelah. Saya ditugaskan untuk membereskan rumah.
Suatu
hari saya diajak bapak untuk membuat administrasi sekolah dan diajak mencetak
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
di rumah operator sekolah. Alat cetak diserahkan ke operator karena rumahnya
yang sudah tersentuh listrik. Setiap sore awal semester saya pergi membuat
administrasi sekolah bersama bapak di tempat operator. Saya juga ditugaskan
untuk membantu guru lain dalam melengkapi administrasi sekolah dibantu oleh
operator.
Itulah
sepenggal kisah saya selama perjuangan dalam mengabdikan diri untuk memajukan
pendidikan di Indonesia. Semoga niat ini selalu sama walaupun kadang diri ini
merasa lelah dengan semua kondisi yang ada. Semoga selalu dikuatkan dan
dilapangkan. Aamiin (ANTI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar