Translate

Sabtu, 12 Agustus 2017

MAKEMBALA PENUH CERITA



Oleh : Dian Utami, S.Pd
Malaka, sebuah kabupaten baru yang ada di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Di sinilah kisah saya sebgai guru SM-3T dimulai. Sebuah perjalanan yang memberi saya pembelajaran baru dalam hidup saya.
Saya menginjakkan kaki di tanah ini mulai tanggal 4 September 2016, saya tinggal dengan sebuah keluarga. Keluarga bapak Yanuarius, yang akan menjadi keluarga saya selama satu tahun kedepan. Saya mengajar di sebuah SMP Negeri di kecamatan Rinhat. Saya bersyukur, di desa Webetun sudah ada listrik 24 jam, sinyal telepon dan internet. Tidak seperti ekspetasi saya waktu akan berangkat, membayangkan daerah penempatan tanpa listrik, air dan sinyal. Saya terlebih dahulu ingin bercerita tentang keadaan desa Webetun.
Desa Webetun terletak di dataran tinggi, rumah satu dengan yang lain masih dipisahkan dengan kebun yang cukup luas, tapi sudah banyak penduduknya. Kebanyakan warga bermata pencaharian sebagai petani dan penenun. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa wanita yang biasa di panggil dengan “Mama Desa”.
Keramah tamahan masyarakat di desa ini juga masih sangat kental. Mereka tidak lupa untuk menyapa saat berpapasan di jalan. Tolong menolong juga masih kental di sini. Kebanyakan warga yang tinggal di sini masih memiliki hubungan kekerabatan.
Keluarga baru saya, keluarga yang ramah dan baik hati, mereka menyambut baik kedatangan saya. Mereka memperlakukan saya seolah seperti anak mereka sendiri. Ayah dan ibu angkat saya mempunyai 6 orang anak. Ya, di sini memang masih memegang teguh semboyan banyak anak, banyak rejeki.
Untuk memenuhi kebutuhan air, saya harus membantu adik-adik saya menimba di sumur dengan kedalaman 24 meter, mengisinya ke dalam jerigen dan membawanya pulang kerumah dengan berjalan kaki. Di desa ini mayoritas penduduknya bergama Katholik dengan pimpinan seorang Romo Gereja. Tradisi masyarakat di sini jika pergi ke gereja meraka menggunakan kain tenun Malaka sebagai bawahan, sedangkan atasannya mereka memakai baju bebas.
Pengetahuan keluarga saya tentang muslim sangat minim, jadi saya harus menjelaskan apa yang tidak bisa saya makan, apa saja yang bisa saya makan dan jam berapa saja saya beribadah. Saya adalah satu-satunya muslim di desa Webetun ini. Suatu saat saya ketika akan salat, saya bertanya kepada bapak dimana arah barat, tetapi bapak tidak bisa menjawab, dan ketika saya mengganti pertanyaan dimana arah matahari tenggelam, bapak baru bisa menunjukkan arah matahari tenggelam.
Wanita di desa Webetun sudah terbiasa menenun sendiri. Kain tenun itu terkadang dijual dan dipakai sendiri. Kain tersebut digunakan ketika ada acara adat, pergi ke gereja, maupun pergi ke pesta.

Keterbatasan bahasa juga kadang menjadi kendala komunikasi kami. Terkadang mreka tidak mengerti apa yang saya katakan dalam bahasa Indonesia, dan saya harus memakai bahasa isyarat, dan begitu pula sebaliknya, terkadang apa yang mereka bicarakan saya tidak mengerti walaupun mereka menggunakan bahasa Indonesia.
            Walaupun kita berbeda keyakinan, tapi mereka menghargai keyakinan saya, seperti pada waktu terdapat syukuran, pesta atau kenduri, saya pasti disuruh menyembelih ayam sendiri dan memasaknya sendiri.
            Setelah dua minggu saya dsini, ada seorang teman saya yang harus pindah dan tinggal dengan saya. Karenan seharusnya di sini, kami dibagi per sekolah dan per sekolah hanya ada satu orang SM-3T. Di kecamatan Rinhat sendiri mendapatka jatah 12 orang SM-3T. Kembali ke masalah teman saya, dikarenakan suatu masalah, saya dan teman saya tinggal bersama, dengan begitu saya punya teman berbagi suka dan duka menjadi seorang guru.

            Jarak antara teman saya dengan sekolahnya, tergolong lumayan jauh. Dengan berjalan kaki, dia harus menempuh perjalanan selama satu jam, terkadang saat di tengah perjalanan dia mendapat tumpangan ojek atau terkadang siswanya yang sedang menuju sekolah. Sedangkan saya, hanya perlu menempuh perjalanan selama kira-kira dua menit ke sekolah.
            Di sini, rasa masakan dengan masakan yang di Jawa sangatlah berbeda. Masyarakat di sini lebih menyukai makanan dengan rasa pahit dan asin daripada manis, berbeda dengan di Jawa. Akan tetapi saya harus menyesuaikan diri dan tidak boleh membaningkan. Makanan di sini banyak yang baru pertama kali saya coba, seperti sayur daun pucuk labu, pucuk daun dari pohon labu jepang, tetapi hanya diambil pucuk daunya saja, dibersihkan bagian yang seperti bulu, dicampur dengan bunga turi yang berwarna merah. Memasak mie goreng instan dicampur dengan daun pepaya. Makanan pokok di sini adalah nasi, tetapi terkadang kami makan dengan ”batomak” jagung kering yang direbus dengan kacang hijau atau kacang tanah. Ada pula jagung “bose” sejenis batomak tetapi sebelum dimasak, jagung harus ditumbuk terlebih dahulu.
            Di kecamatan rinhat hanya ada satu pasar yang hanya dibuka pada hari Kamis. Di pasar, saya bisa bertemu dengan berbagai macam suku, dari suku asli Timor, suku Bugis dan suku Jawa. Semua suku tersebut hidup berdampingan, mereka berjualan berbagai barang di pasar. Banyak diantara pedagang itu yang berasal dari Jawa Tengah, mereka menyapa saya dengan bahasa Jawa yang bisa sedikit banyak mengobati rindu saya terhadap Jawa. Terkadang saya juga bisa mendapat potongan harga karena saya bisa menawar harganya dengan bahasa Jawa.

            Dua bulan saya di sini, di Malaka ada perayaan keagaman yang bernama “Perarakan Patung Bunda Maria” yang wajib diikuti oleh semua umat katholik di Malaka. Perarakan tersebut dilakukan dengan mengarak petung Bunda Maria dari satu paroki ke paroki yang lain dengan berjalan kaki, sampai tiba di paroki utama di kota kabupaten.ya jika saya yang melakukan jelas tidak kuat, karena medan yang harus ditempuh naik turun gunung, terkadang dengan jalan menanjak dengan kemiringan 45 derajat. Saya hanya berjalan setengah jalan dan sisanya naik ambulan yang disediakan, karena menurut seorang warga, jalan kaki sewaktu perarakan bisa dikatakan juga sebgai wujud rasa penebusan dosa para umat Katholik.
            Perarakan dilakukan selama 2 tahun sekali, di tahun yang genap. Pada waktu perarakan banyak kegiatan yang dilaksanakan, seperti lomba-lomba olahraga. Lomba voli antar kecamatan, pertandingan sepakbola antar kecamatan, sepeda santai dan banyak lagi lainnya. Selain itu ada juga bazar yang ditujukan untuk menunjukkan berbagai keterampilan atau hasil karya antar paroki. Paroki adalah perkumpulan gereja dan gereja dalam suatu wilayah. Di akhir perarakan bupati dan para umat katholik mengantar patung Bunda Maria ke Gua Lordez, gua yang dijadikan tempat sakral keagamaan oleh masyarakat Malaka. Pada malam sebelumnya akan pesta kembang api di lapangan umum dekat Gereka Dekanat Betun.
            Untuk sampai ke kota, saya dan teman-teman satu kecamatan menggunakan “otto”. Yaitu mobil pick up yang dimodifikasi sebagai angkutan desa yang membawa penumpang dari desa ke kota. Perjalanan ke kota dari desa saya menempuh perjalanan selama 1 jam. Jika menempuh dengan motor dapat ditempuh dengan perjalanan selama 45 menit. Terkadang ada juga yang menggunakan jasa ojek, jika tidak terlalu jauh dari kota.
            Kebudayaan masyarakat Malaka yang lain adalah tari Tebe dan tari Bidu. Kedua tari itu adalah yang paling populer ditarikan oleh masayrakat pada waktu pesta ataupun acara adat. Tari tebe adalah tari yang ditarikan secara berpegangan tangan dan membuat lingkaran, dengan musik bertempo yang cepat.
Sedangkan tari bidu, biasanya ditarikan dalam acara-acara tertentu atau untuk diperlombakan, dengan musik bertempo lambat. Konon katanya tari digunakan para pemuda pemudi untuk mencari pasangan atau jodoh, tapi sekarang tari Bidu sendiri digunakan untuk menari di acara-acara adata, acara-acara besar/pemerintahan, bahkan tari Bidu juga dilombakan.
            Yah, mungkin hanya sebatas itu yang bisa saya ceritakan tentang desa tercinta saya selama masih di sini, desa yang masih asri dengan langit birunya dan awan yang menggantung indahnya. Desa yang banyak dipenuhi pepohonan, desa yang masih kental keramahtamahannya, desa yang masih jauh dari macetnya lalu lintasnya.
            Sekarang saya akan menceritakan tentang kehidupan saya di sekolah, kegiatan yang saya lakukan di sekolah, suka duka menjadi guru Bahasa Inggris di SMP Negeri, Desa Webetun, Kecamatan Rinhat.
SMP Negeri tempat saya mengajar, adalah sebuah sekolah yang baru didirikan selama 4 tahun, dan beru meluluskan 2 kali tahun ini. Sewaktu saya pertama kali masuk ke sekolah, SMP tempat saya mengajar belum mempunyai gedung sekolah sendiri dan masih bergabung dengan SD Inpres. Pada waktu itu, gedung sekolah baru tahap pembangunan. SMP Negeri tempat saya mengajar meminjam gedung SD Inpres sebanyak 5 ruang, satu ruang digunakan untuk kelas VIIA dan VIIB, dua ruangan untuk kelas VIIA dan VIIB, satu ruang untuk kelas IX dan satu ruang untuk ruang guru.
            Pada tahun lalu, SMP Negeri tempat saya mengajar mempunyai 4 orang guru PNS, seorang guru kontrak dan 10 guru honorer, ditambah saya. Terdapat 5 rombel, yaitu kelas VIIA dan VIIB, kelas VIIA dan VIIIB dan kelas IX. saya diberi tanggung jawab mengajar kelas VIIA dan VIIB. Setelah saya masuk ke dalam kelas, ternyata kemampuan bahasa Inggris di kelas ini sangat kurang, kemampuan mereka berbahasa Inggris benar-benar harus dimulai dari nol.
            Saya membuat sendiri materi pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan mereka. Guru bahasa Inggris yang sebelumnya juga menyarankan untuk menggunakan materi bahasa Inggris untuk pemula.
            Di SMP Negeri tempat saya mengajar, setiap pagi mengadakan apel pagi, guna meningkatkan rasa disiplin siswa. Di setiap apel pagi, siswa biasanya mendengar pengumuman dari guru, setelah itu berdoa bersama. Apel juga dilaksanakan pada waktu pulang sekolah. Yang bertanggung jawab atas apel adalah guru yang piket pada hari itu.
            Setiap hari Sabtu, pada jam pengembangan diri, anak-anak bermain voli bersama guru. Itu dikarenakan belum adanya guru BK di SMP Negeri tempat saya mengajar. Sering absennya guru juga mempengaruhi semangat belajar siswa di kelas. Tingkat kedisiplinan guru di sini masih sangat kurang. Apalagi guru yang sudah bergelar PNS.
            Guru-guru mengajarkan siswa untuk selalu hormat kepada guru dan menaati perintah guru. Kedisiplinan siswa sangat kurang, itu dapat dilihat dari antusias mereka belajar, dan hanya segelintir siswa yang mengumpulkan PR. Masih banyak siswa yang hanya mengenakan sandal. Meskipun sudah beberapa kali mereka terkena peringtan dari guru, tetap saja masih mengenakan sandal ke sekolah. Beberapa murid juga ada yang tidak menyisipkan baju kedalam celana.
            Saya berinisiatif memberikan tambahan mata pelajaran bahasa Inggris untuk anak kelas VII, VIII dan IX. Setiap sore pukul 4, saya mengajar jam tambahan untuk bahasa Inggris. Terkadang banyak anak yang antusias datang mengikuti jam tambahan, namun saya juga pernah berangkat mengajar dengan hanya segelintir siswa saja yang datang.
            Guru-guru di SMP Negeri tempat saya mengajar sangat menghargai saya sebagai seorang muslim, jika ada acara makan-makan, pasti saya yang disuruh menyembelih ayamnya. Sebagian dari mereka sudah mengetahui tentang muslim, tapi ada juga guru yang belum tahu sama ssekali. Saya harus menjelaskan setiap ada yang menanyakan cara ibadah, apa yang dilarang dan apa yang dperbolehkan.
            Pernah suatu saat, saya sedang berpuasa, ada yang bertanya, apakah boleh minum dan apakah boleh makan makanan ringan. Di keyakinan mereka ada juga puasa, pada waktu menjelang Paskah, setiap hari Jum’at mereka berpuasa makan daging, tetapi boleh makan dan minum. Dan orang-orang yang tingkat keimanannya tinggi yang berpuasa penuh.
            Pada saat akan diadakannya Perjusami, saya ditunjuk sebagai pembina untuk melatih anak-anak pramuka. Kebanyakan guru di SMP Negeri tempat saya mengajar, belum mengetahui bagaimana cara melatih anak pramuka, apa saja yang harus dilatih dan apa saja yang harus dibawa saat Perjusami. Setiap pulang sekolah dan sore hari, saya melatih anak-anak Pramuka. Ada sebagian dari mereka yang sudah bisa, tetapi ada juga yang sama sekali belum mengetahui pramuka.
            Perjusami diadakan untuk memperingati, lahirnya kwarcab pramuka di kabupaten Malaka. Perjusami diadakan pada hari Jum’at, Sabtu dan Minggu. Anak-anak sangat antisias mengikuti kegiatan Perjusami. Mereka sangat aktif dalam kegiatan, mereka menampilkan semaphore, tari Bidu, dan berbagai permainan pramuka.
            Memasuki semester dua, gedung baru kami sudah mulai tahap akhir. Kata bapak Kepala Sekolah, gedung harus sudah jadi sbelum ujian sekolah dan ujian nasional. Karena jika gedung baru belum jadi, anak-anak terpaksa mengerjakan ujian di SMPN terdekat yang sudah mempunyai gedung, itupun jaraknya sangat jauh, dan anak-anak nanti diharuskan menginap disana. Maka dari itu, setiap pulang sekolah, anak-anak dan guru bergotong royong bersama membersihkan lingkungan gedung baru.
            Hampir memasuki ujian sekolah, anak-anak kelas IX diharuskan ke sekolah baru untuk membersihkan sisa-sisa pembangunan. Mereka juga harus menata meja dan kursi. Di gedung baru kami memiliki 3 ruang kelas, satu perpustakaan, satu gudang, satu dapur, satu laboratorium, satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, 2 WC siswa, 6 WC guru dan 2 kamar mandi siswa. Sekolah baru kami sangat luas, ada lapangan voli dan lapangan upacara.
            Saya juga bertugas memberi pelajaran tambahan untuk kelas IX, karena guru bahasa Inggris kelas IX bertempat tinggal di kota. Setiap sore kami belajar di sekolah lama. Anak-anak kelas IX baru menempati gedung baru untuk ujian try out yang terakhir.
            Seminggu setelah kami menempati geung baru, pengawas daari kabupaten datang, beliau menegur kami karena keadaan sekolah yang kotor dan belum ada hiasan di dinding. Beliau berpesan agar sekolah dibersihkan lagi, supaya tidak ada rumput-rumput dan semak-semak yang merusak pemandangan.
            Pada waktu UN, anak-anak dan orang tua diharuskan menginap di sekolah. Para orang tua diharuskan membantu memasak untuk makan siang pengawas dan staff guru. para orang tua diberikan jadwal untuk memasak. Mereka menyiapkan makan siang untuk pengawas UN dan guru-guru yang tetap tinggal di sekolah.
            Alkhamdulillah, di SMP saya tempat mengajar lulus 100%, dengan nilai yang lumayan. Dengan keterbatasan guru dan media mengajar, siswa kelas IX dapat lulus 100%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar