Oleh : Dian Utami, S.Pd
Malaka, sebuah kabupaten baru yang ada di Pulau Timor,
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Di sinilah kisah saya sebgai guru SM-3T dimulai.
Sebuah perjalanan yang memberi saya pembelajaran baru dalam hidup saya.
Saya menginjakkan kaki di tanah ini mulai tanggal 4
September 2016, saya tinggal dengan sebuah keluarga. Keluarga bapak Yanuarius,
yang akan menjadi keluarga saya selama satu tahun kedepan. Saya mengajar di sebuah
SMP Negeri di kecamatan Rinhat. Saya bersyukur, di desa Webetun sudah ada
listrik 24 jam, sinyal telepon dan internet. Tidak seperti ekspetasi saya waktu
akan berangkat, membayangkan daerah penempatan tanpa listrik, air dan sinyal. Saya
terlebih dahulu ingin bercerita tentang keadaan desa Webetun.
Desa Webetun terletak di dataran tinggi, rumah satu
dengan yang lain masih dipisahkan dengan kebun yang cukup luas, tapi sudah
banyak penduduknya. Kebanyakan warga bermata pencaharian sebagai petani dan
penenun. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa wanita yang biasa di panggil
dengan “Mama Desa”.
Keramah tamahan masyarakat di desa ini juga masih sangat
kental. Mereka tidak lupa untuk menyapa saat berpapasan di jalan. Tolong menolong
juga masih kental di sini. Kebanyakan warga yang tinggal di sini masih memiliki
hubungan kekerabatan.
Keluarga baru saya, keluarga yang ramah dan baik hati,
mereka menyambut baik kedatangan saya. Mereka memperlakukan saya seolah seperti
anak mereka sendiri. Ayah dan ibu angkat saya mempunyai 6 orang anak. Ya, di
sini memang masih memegang teguh semboyan banyak anak, banyak rejeki.
Untuk memenuhi kebutuhan air, saya harus membantu
adik-adik saya menimba di sumur dengan kedalaman 24 meter, mengisinya ke dalam
jerigen dan membawanya pulang kerumah dengan berjalan kaki. Di desa ini
mayoritas penduduknya bergama Katholik dengan pimpinan seorang Romo Gereja.
Tradisi masyarakat di sini jika pergi ke gereja meraka menggunakan kain tenun Malaka
sebagai bawahan, sedangkan atasannya mereka memakai baju bebas.
Pengetahuan keluarga saya tentang muslim sangat minim,
jadi saya harus menjelaskan apa yang tidak bisa saya makan, apa saja yang bisa
saya makan dan jam berapa saja saya beribadah. Saya adalah satu-satunya muslim
di desa Webetun ini. Suatu saat saya ketika akan salat, saya bertanya kepada
bapak dimana arah barat, tetapi bapak tidak bisa menjawab, dan ketika saya mengganti
pertanyaan dimana arah matahari tenggelam, bapak baru bisa menunjukkan arah
matahari tenggelam.
Wanita di desa Webetun sudah terbiasa menenun sendiri.
Kain tenun itu terkadang dijual dan dipakai sendiri. Kain tersebut digunakan
ketika ada acara adat, pergi ke gereja, maupun pergi ke pesta.
Keterbatasan bahasa juga kadang menjadi kendala
komunikasi kami. Terkadang mreka tidak mengerti apa yang saya katakan dalam
bahasa Indonesia, dan saya harus memakai bahasa isyarat, dan begitu pula
sebaliknya, terkadang apa yang mereka bicarakan saya tidak mengerti walaupun
mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Walaupun
kita berbeda keyakinan, tapi mereka menghargai keyakinan saya, seperti pada
waktu terdapat syukuran, pesta atau kenduri, saya pasti disuruh menyembelih
ayam sendiri dan memasaknya sendiri.
Setelah
dua minggu saya dsini, ada seorang teman saya yang harus pindah dan tinggal
dengan saya. Karenan seharusnya di sini, kami dibagi per sekolah dan per
sekolah hanya ada satu orang SM-3T. Di kecamatan Rinhat sendiri mendapatka
jatah 12 orang SM-3T. Kembali ke masalah teman saya, dikarenakan suatu masalah,
saya dan teman saya tinggal bersama, dengan begitu saya punya teman berbagi
suka dan duka menjadi seorang guru.
Jarak antara
teman saya dengan sekolahnya, tergolong lumayan jauh. Dengan berjalan kaki, dia
harus menempuh perjalanan selama satu jam, terkadang saat di tengah perjalanan dia
mendapat tumpangan ojek atau terkadang siswanya yang sedang menuju sekolah.
Sedangkan saya, hanya perlu menempuh perjalanan selama kira-kira dua menit ke
sekolah.
Di sini,
rasa masakan dengan masakan yang di Jawa sangatlah berbeda. Masyarakat di sini
lebih menyukai makanan dengan rasa pahit dan asin daripada manis, berbeda
dengan di Jawa. Akan tetapi saya harus menyesuaikan diri dan tidak boleh
membaningkan. Makanan di sini banyak yang baru pertama kali saya coba, seperti
sayur daun pucuk labu, pucuk daun dari pohon labu jepang, tetapi hanya diambil
pucuk daunya saja, dibersihkan bagian yang seperti bulu, dicampur dengan bunga
turi yang berwarna merah. Memasak mie goreng instan dicampur dengan daun
pepaya. Makanan pokok di sini adalah nasi, tetapi terkadang kami makan dengan
”batomak” jagung kering yang direbus dengan kacang hijau atau kacang tanah. Ada
pula jagung “bose” sejenis batomak tetapi sebelum dimasak, jagung harus
ditumbuk terlebih dahulu.
Di
kecamatan rinhat hanya ada satu pasar yang hanya dibuka pada hari Kamis. Di
pasar, saya bisa bertemu dengan berbagai macam suku, dari suku asli Timor, suku
Bugis dan suku Jawa. Semua suku tersebut hidup berdampingan, mereka berjualan
berbagai barang di pasar. Banyak diantara pedagang itu yang berasal dari Jawa
Tengah, mereka menyapa saya dengan bahasa Jawa yang bisa sedikit banyak
mengobati rindu saya terhadap Jawa. Terkadang saya juga bisa mendapat potongan
harga karena saya bisa menawar harganya dengan bahasa Jawa.
Dua
bulan saya di sini, di Malaka ada perayaan keagaman yang bernama “Perarakan
Patung Bunda Maria” yang wajib diikuti oleh semua umat katholik di Malaka.
Perarakan tersebut dilakukan dengan mengarak petung Bunda Maria dari satu
paroki ke paroki yang lain dengan berjalan kaki, sampai tiba di paroki utama di
kota kabupaten.ya jika saya yang melakukan jelas tidak kuat, karena medan yang
harus ditempuh naik turun gunung, terkadang dengan jalan menanjak dengan
kemiringan 45 derajat. Saya hanya berjalan setengah jalan dan sisanya naik
ambulan yang disediakan, karena menurut seorang warga, jalan kaki sewaktu
perarakan bisa dikatakan juga sebgai wujud rasa penebusan dosa para umat
Katholik.
Perarakan
dilakukan selama 2 tahun sekali, di tahun yang genap. Pada waktu perarakan
banyak kegiatan yang dilaksanakan, seperti lomba-lomba olahraga. Lomba voli
antar kecamatan, pertandingan sepakbola antar kecamatan, sepeda santai dan
banyak lagi lainnya. Selain itu ada juga bazar yang ditujukan untuk menunjukkan
berbagai keterampilan atau hasil karya antar paroki. Paroki adalah perkumpulan
gereja dan gereja dalam suatu wilayah. Di akhir perarakan bupati dan para umat
katholik mengantar patung Bunda Maria ke Gua Lordez, gua yang dijadikan tempat
sakral keagamaan oleh masyarakat Malaka. Pada malam sebelumnya akan pesta
kembang api di lapangan umum dekat Gereka Dekanat Betun.
Untuk
sampai ke kota, saya dan teman-teman satu kecamatan menggunakan “otto”. Yaitu
mobil pick up yang dimodifikasi sebagai angkutan desa yang membawa penumpang
dari desa ke kota. Perjalanan ke kota dari desa saya menempuh perjalanan selama
1 jam. Jika menempuh dengan motor dapat ditempuh dengan perjalanan selama 45
menit. Terkadang ada juga yang menggunakan jasa ojek, jika tidak terlalu jauh
dari kota.
Kebudayaan
masyarakat Malaka yang lain adalah tari Tebe dan tari Bidu. Kedua tari itu
adalah yang paling populer ditarikan oleh masayrakat pada waktu pesta ataupun
acara adat. Tari tebe adalah tari yang ditarikan secara berpegangan tangan dan
membuat lingkaran, dengan musik bertempo yang cepat.
Sedangkan tari bidu, biasanya ditarikan dalam acara-acara
tertentu atau untuk diperlombakan, dengan musik bertempo lambat. Konon katanya
tari digunakan para pemuda pemudi untuk mencari pasangan atau jodoh, tapi
sekarang tari Bidu sendiri digunakan untuk menari di acara-acara adata,
acara-acara besar/pemerintahan, bahkan tari Bidu juga dilombakan.
Yah,
mungkin hanya sebatas itu yang bisa saya ceritakan tentang desa tercinta saya
selama masih di sini, desa yang masih asri dengan langit birunya dan awan yang
menggantung indahnya. Desa yang banyak dipenuhi pepohonan, desa yang masih
kental keramahtamahannya, desa yang masih jauh dari macetnya lalu lintasnya.
Sekarang
saya akan menceritakan tentang kehidupan saya di sekolah, kegiatan yang saya
lakukan di sekolah, suka duka menjadi guru Bahasa Inggris di SMP Negeri, Desa
Webetun, Kecamatan Rinhat.
SMP Negeri tempat saya mengajar, adalah sebuah sekolah
yang baru didirikan selama 4 tahun, dan beru meluluskan 2 kali tahun ini.
Sewaktu saya pertama kali masuk ke sekolah, SMP tempat saya mengajar belum
mempunyai gedung sekolah sendiri dan masih bergabung dengan SD Inpres. Pada
waktu itu, gedung sekolah baru tahap pembangunan. SMP Negeri tempat saya
mengajar meminjam gedung SD Inpres sebanyak 5 ruang, satu ruang digunakan untuk
kelas VIIA dan VIIB, dua ruangan untuk kelas VIIA dan VIIB, satu ruang untuk
kelas IX dan satu ruang untuk ruang guru.
Pada
tahun lalu, SMP Negeri tempat saya mengajar mempunyai 4 orang guru PNS, seorang
guru kontrak dan 10 guru honorer, ditambah saya. Terdapat 5 rombel, yaitu kelas
VIIA dan VIIB, kelas VIIA dan VIIIB dan kelas IX. saya diberi tanggung jawab
mengajar kelas VIIA dan VIIB. Setelah saya masuk ke dalam kelas, ternyata
kemampuan bahasa Inggris di kelas ini sangat kurang, kemampuan mereka berbahasa
Inggris benar-benar harus dimulai dari nol.
Saya
membuat sendiri materi pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan mereka. Guru
bahasa Inggris yang sebelumnya juga menyarankan untuk menggunakan materi bahasa
Inggris untuk pemula.
Di SMP
Negeri tempat saya mengajar, setiap pagi mengadakan apel pagi, guna meningkatkan
rasa disiplin siswa. Di setiap apel pagi, siswa biasanya mendengar pengumuman
dari guru, setelah itu berdoa bersama. Apel juga dilaksanakan pada waktu pulang
sekolah. Yang bertanggung jawab atas apel adalah guru yang piket pada hari itu.
Setiap
hari Sabtu, pada jam pengembangan diri, anak-anak bermain voli bersama guru.
Itu dikarenakan belum adanya guru BK di SMP Negeri tempat saya mengajar. Sering
absennya guru juga mempengaruhi semangat belajar siswa di kelas. Tingkat
kedisiplinan guru di sini masih sangat kurang. Apalagi guru yang sudah bergelar
PNS.
Guru-guru
mengajarkan siswa untuk selalu hormat kepada guru dan menaati perintah guru. Kedisiplinan
siswa sangat kurang, itu dapat dilihat dari antusias mereka belajar, dan hanya
segelintir siswa yang mengumpulkan PR. Masih banyak siswa yang hanya mengenakan
sandal. Meskipun sudah beberapa kali mereka terkena peringtan dari guru, tetap
saja masih mengenakan sandal ke sekolah. Beberapa murid juga ada yang tidak
menyisipkan baju kedalam celana.
Saya
berinisiatif memberikan tambahan mata pelajaran bahasa Inggris untuk anak kelas
VII, VIII dan IX. Setiap sore pukul 4, saya mengajar jam tambahan untuk bahasa
Inggris. Terkadang banyak anak yang antusias datang mengikuti jam tambahan,
namun saya juga pernah berangkat mengajar dengan hanya segelintir siswa saja
yang datang.
Guru-guru
di SMP Negeri tempat saya mengajar sangat menghargai saya sebagai seorang
muslim, jika ada acara makan-makan, pasti saya yang disuruh menyembelih
ayamnya. Sebagian dari mereka sudah mengetahui tentang muslim, tapi ada juga
guru yang belum tahu sama ssekali. Saya harus menjelaskan setiap ada yang
menanyakan cara ibadah, apa yang dilarang dan apa yang dperbolehkan.
Pernah
suatu saat, saya sedang berpuasa, ada yang bertanya, apakah boleh minum dan apakah
boleh makan makanan ringan. Di keyakinan mereka ada juga puasa, pada waktu
menjelang Paskah, setiap hari Jum’at mereka berpuasa makan daging, tetapi boleh
makan dan minum. Dan orang-orang yang tingkat keimanannya tinggi yang berpuasa
penuh.
Pada
saat akan diadakannya Perjusami, saya ditunjuk sebagai pembina untuk melatih
anak-anak pramuka. Kebanyakan guru di SMP Negeri tempat saya mengajar, belum
mengetahui bagaimana cara melatih anak pramuka, apa saja yang harus dilatih dan
apa saja yang harus dibawa saat Perjusami. Setiap pulang sekolah dan sore hari,
saya melatih anak-anak Pramuka. Ada sebagian dari mereka yang sudah bisa,
tetapi ada juga yang sama sekali belum mengetahui pramuka.
Perjusami
diadakan untuk memperingati, lahirnya kwarcab pramuka di kabupaten Malaka.
Perjusami diadakan pada hari Jum’at, Sabtu dan Minggu. Anak-anak sangat
antisias mengikuti kegiatan Perjusami. Mereka sangat aktif dalam kegiatan,
mereka menampilkan semaphore, tari Bidu, dan berbagai permainan pramuka.
Memasuki
semester dua, gedung baru kami sudah mulai tahap akhir. Kata bapak Kepala
Sekolah, gedung harus sudah jadi sbelum ujian sekolah dan ujian nasional. Karena
jika gedung baru belum jadi, anak-anak terpaksa mengerjakan ujian di SMPN terdekat
yang sudah mempunyai gedung, itupun jaraknya sangat jauh, dan anak-anak nanti
diharuskan menginap disana. Maka dari itu, setiap pulang sekolah, anak-anak dan
guru bergotong royong bersama membersihkan lingkungan gedung baru.
Hampir
memasuki ujian sekolah, anak-anak kelas IX diharuskan ke sekolah baru untuk
membersihkan sisa-sisa pembangunan. Mereka juga harus menata meja dan kursi. Di
gedung baru kami memiliki 3 ruang kelas, satu perpustakaan, satu gudang, satu
dapur, satu laboratorium, satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, 2 WC
siswa, 6 WC guru dan 2 kamar mandi siswa. Sekolah baru kami sangat luas, ada
lapangan voli dan lapangan upacara.
Saya
juga bertugas memberi pelajaran tambahan untuk kelas IX, karena guru bahasa
Inggris kelas IX bertempat tinggal di kota. Setiap sore kami belajar di sekolah
lama. Anak-anak kelas IX baru menempati gedung baru untuk ujian try out yang
terakhir.
Seminggu
setelah kami menempati geung baru, pengawas daari kabupaten datang, beliau
menegur kami karena keadaan sekolah yang kotor dan belum ada hiasan di dinding.
Beliau berpesan agar sekolah dibersihkan lagi, supaya tidak ada rumput-rumput
dan semak-semak yang merusak pemandangan.
Pada
waktu UN, anak-anak dan orang tua diharuskan menginap di sekolah. Para orang tua
diharuskan membantu memasak untuk makan siang pengawas dan staff guru. para
orang tua diberikan jadwal untuk memasak. Mereka menyiapkan makan siang untuk
pengawas UN dan guru-guru yang tetap tinggal di sekolah.
Alkhamdulillah,
di SMP saya tempat mengajar lulus 100%, dengan nilai yang lumayan. Dengan
keterbatasan guru dan media mengajar, siswa kelas IX dapat lulus 100%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar