Oleh : Ika Efriani, S. Pd
Dari awal saya mengikuti program SM-3T ini yang saya
bayangkan adalah saya akan bertempat tinggal di rumah-rumah adat, ternyata
bayangan saya salah. Justru saya mendapatkan mess guru dengan kamar yang sangat
nyaman. Saya menganggapnya sebagai bonus pertama kedatangan saya di tanah
Malaka.
Saya pikir disini saya akan menjadi seorang guru
yang akan mengajari murid-murid saya agar mampu bersaing di dunia pendidikan.
Tetapi saya salah, karena hidup tak selalu soal nilai ujian yang baik. Karena
disini justru merekalah yang mengajari saya untuk dapat bertahan hidup,
bertahan dari keterbatasan.
Semua yang saya jalani disini tentu saja diluar
dugaan, hidup tanpa listrik, sulit air bersih, susah mendapat sinyal provider,
dan juga sulit mendapat transportasi umum untuk keluar desa (FYI angkutan desa
hanya jalan satu kali setiap harinya jam 06.30), dan kondisi jalan yang rusak.
Tetapi dari keadaan tersebut saya menjadi tahu bagaimana mensyukuri nikmat
Tuhan. Mereka saja bisa hidup puluhan tahun dengan keadaan yang seperti ini,
sedangkan saya yang hanya akan bertugas satu tahun disini tidak sepantasnya
untuk mengeluh dan menyerah dengan keterbatasan.
Disaat murid-murid
saya mendapatkan nilai ulangan dibawah nilai KKM (Kriteria Kelulusan Minimal),
saya merasa bahwa mungkin saya tidak cocok menjadi guru. Saya pun menceritakan
hal ini kepada teman saya yang lain dan ternyata 52 teman saya yang lain juga
mengalami hal serupa. Saya menarik kesimpulan bahwa kesadaran mereka untuk
belajar sangat kurang. Sesering apapun saya mengingatkan mereka untuk tetap
belajar dirumah sepertinya akan percuma jika orang tua mereka tidak memberikan
peringatan kepada anak-anaknya untuk belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar