Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

Pelajaranku dari Tanah Timor





Merantau, merupakan kata yang tidak pernah terbayangkan oleh saya. Perkenalkan saya adalah Wenni Hastuti anggota SM-3T angkatan VI penempatan Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Menjadi salah satu anggota SM-3T adalah suatu hal yang sangat mengesankan bagi saya. Ketika kita hidup ditengah-tengah masyarakat yang  asing dan baru bagi saya adalah pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Awal saya datang di penempatan, di SMPN Helibauk hanya terukir satu kalimat dalam hati dan benak  saya, yaitu “Apakah saya bisa menjalankan tugas di sini selama satu tahun lamanya?” karena saya benar-benar dihadapkan pada keterbatasan lingkungan yang tidak pernah terlintas satu kalipun dalam pikiran saya. SMPN Helibauk berada di  Bereknase, Desa Babulu Selatan Kecamatan Kobalima. Sekolah ini berdiri belum lama dengan biaya dari desa dan dibangun oleh masyarakat sekitar. SMPN Helibauk terdapat di tengah-tengah hutan, bahkan akses untuk ke sekolah ini terhitung susah karena jalan yang dilewati masih teramat terjal, yaitu jalan di pegunungan dengan bebatuan yang masih banyak. Selain itu SMPN Helibauk memiliki 12 Tenaga guru, dengan tiga rombongan belajar.  Itulah yang mengagetkan saya ketika datang pertama kali ke sini, kebetulan kami yang di sini ditempatkan sendirian di penempatan.
Sore itu, saya sampai di kompleks sekolah, saya dijemput oleh kepala sekolah, yaitu Bapak Agustinus Nahak dan disambut oleh tiga orang guru, yaitu Ibu Lina, Ibu Oliva, Bapak Paul. Kesan pertama bertemu dengan mereka adalah “ramah”. Ketika kami berbincang yang saya tanyakan adalah “Bapak, apakah sumber air di sini dekat?”, Bapak Paul menjawab dengan tertawa dan Bapak Kepala menjelaskan “Di sini sumber air dibagi dua ibu, untuk mandi dan untuk masak tersendiri”. Yah, sumber air di sini memang agak susah, namun saya sudah menyiapkan hati ketika air susah karena memang NTT terkenal dengan hal tersebut. Saya juga menanyakan bagimana akses yang ditempuh untuk sampai ke jalan aspal terdekat, yaitu dengan naik motor ataupun ojek dengan biaya Rp 25.000,00 untuk sampai di aspal terdekat. Setelah kami berbincang lumayan lama, Bapak Agus berkata, “Ibu Wenni tinggal di asrama bersama Ibu Lina selama satu tahun ke depan”. Asrama yang saya tinggali terbuat dari bebak atau lebih dikenal dengan kayu dari pohon tali (gwang) , berlantaikan tanah dan beratapkan seng, tidak ada kamar mandi.
Minggu kedua saya di sini tepat di hari rabu, sekolah mendapatkan bagian untuk membersihkan Kapela, kami guru – guru beserta murid-murid kelas VII, VIII, dan IX berjalan dari sekolah sampai di Kapela yang ada di Uarau. Tidak adanya transportasi di sini sampai Kapela, kami dituntut untuk berjalan kaki dengan jarak lebih dari 20km. Ya saya di sini adalah seorang muslim sendiri yang hidup di kalangan mayoritas beragama Katolik, yang memungkinkan saya untuk mengenal lebih agama ini. Bahkan saya mengikuti berbagai kegiatan yang sekolah saya lampaui dalam urusan keagamaannya, walaupun saya hanya mendampingi murid saja. Kegiatan mulai dari perarakan Patung Bunda Maria di bulan Oktober, sampai ibadah paskah saya mengikuti bersama – sama. Mengikuti acara hari raya dari agama lain tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, dan perayaan Natal di sini saya juga melewatinya bersama – sama warga dan anak – anak, kebetulan pada saat Natal 2016, SMPN Helibauk mendapatkan tanggungan untuk paduan suaranya di malam Natal karena keterbatasan jumlah guru untuk mengawasi murid, sehingga saya juga harus terlibat di dalamnya. Menyanyi rohani? Ya, saya ikut mendampingi dalam latihan menyanyi rohani  tersebut. Dan itu merupakan pengalaman terbaru bagi saya, pas di hari H sekolah kami tanggung, saya ditunjuk sebagai pemasak untuk Romo yang menjadi pemimpin Misa Natal di malam itu, saya memasak untuk Romo beserta untuk  umat yang di Kapela Uarau. Saya juga yang mendandani salah seorang guru yang menjadi “Maria”. Benar – benar hal baru untuk saya, namun semua terbayarkan ketika ada seorang warga yang berkata, “Ibu Wenni tadi masakannya enak sekali dan paduan suaranya terdengar merdu.”  Lelah saya terbayar sudah ketika jerih payah saya dihargai dengan kegiatan yang berjalan sesuai dengan rencana.
Selain acara keagamaan saya juga sering mengikuti acara yang diadakan oleh masyarakat sekitar, seperti acara sambut baru, syukuran pelantikan kepala desa, dan masih banyak lagi. Pertama kali mendatangi pesta, betapa terkejutnya saya  karena budaya di sini begitu berbeda, pesta yang saya datangi adalah sambut baru, sambut baru adalah acara untuk anak – anak kelas V SD untuk menerima roti dalam agama Katolik. Di acara ini anak tersebut memakai gaun putih maupun kemeja putih bagi laki – laki  dengan dandanan yang cantik maupun tampan. Mereka duduk didepan panggung dengan dekorasi yang telah dibuat sedemikian rupa, untuk menyalami tamu yang datang. Setelah itu tamu makan dan masuk di acara bebas, acara bebas inilah acara yang paling ditunggu masyarakat yang datang di pesta, acara di mana operator memutar musik lagu tebe, dangdut, ataupun musik lagu dansa. Ketika memutar musik lagu tebe orang-orang maju ke depan membentuk lingkaran saling berpegang tangan dan menari dengan ciri khas pada hentakan kakinya. Dan ketika lagu dansa adalah saatnya untuk para laki – laki mencari pasangan perempuan, mengajak hormat perempuan dan berdansa. Yang selalu saya herankan adalah acara pesta ini berlangsung semalaman suntuk, bahkan sampai pagi, mereka yang datang ke pesta tidak tidur sama sekali atau mete.
Selain tentang budaya masyarakat maupun agamanya di sini saya mempunyai murid – murid yang luar biasa. Saya di sini tinggal dengan dua orang murid, mereka bernama Yasilva Bete dan Juniati Balok Moruk. Mereka yang selalu ada untuk saya, tidak pernah meninggalkan saya dan setia membantu saya. Baik memasak, membersihkan rumah, mencari kayu, dan menimba air. Selelah apapun mereka, ketika mendengar saya dan Ibu Lina memanggil pasti mereka selalu datang dan bilang “Iya dan bisa ibu”. Hebat dan kagum, adalah perasaan yang selalu mampir di benak saya. Dalam acara – acara di sekolah pun anak- anak saya bekerja begitu banyaknya, tidak mengenal lelah dan mengeluh. Pernah ketika saya cas handphone di desa yang jarak lumayan jauh dari sekolah karena tidak ada listrik di sekolah, saya mengajak dua anak bernama Sensa dan Silva untuk pergi ambil handphone, saya yang baru berjalan belum jauh sudah megeluh lelah mereka bilang, “Ibu, Ibu pulang saja biar kami berdua saja yang mengambil  handphone Ibu” dan saya bilang “Biar Ibu ikut saja, sekalian Ibu mau olahraga sore” dan mereka tertawa. Alhasil karena mengajak saya kami sampai di desa atas sudah malam, kami pulang kembali dalam keadaan gelap. Yang saya salutkan mereka tidak ada rasa takut dan lelah sama sekali padahal kami berjalan jauh dan cepat. Selain mengmabil handphone di atas, mereka juga sering pergi di sore hari hanya untuk sekedar beli mie kalau kami tidak ada sayur dan kios yang jauh dari sekolah. Kebetulan sekolah kami jauh dari kios dan merupakan daerah yang susah untuk mendapatkan sayur. Memang untuk pelajaran mereka belajar dari saya, tapi untuk kehidupan sesungguhnya saya yang belajar dari mereka semua. 
Berbagai pengalaman besar saya dapatkan dari tempat saya mengabdi, 24 Desember 2016 di pagi hari ketika musim angin gunung, asrama kami rubuh, saya yang malamnya tidur di dalam merasakan ketakutan yang berlebihan, saya dengan tiga orang anak yang menemani saya benar – benar melihat dan mendengar bagaimana atap seng bisa terbang, tembok bebak kami bisa bergeser dan ambruk karena kencangnya angin. Alhasil saya pindah tempat tinggal di ruang kepala sekolah untuk sementara waktu, tidak sampai di situ saja setelah dua bulan tinggal ruang kepala sekolah saya pindah lagi di salah satu rumah yang juga berada di kompleks sekolah. Pindah tempat tinggal sampai tiga kali memang begitu melelahkan, namun keadaanlah yang membuatnya. Pengalaman yang lain adalah tentang belajar bahasa Tetun, enam bulan di sini saya sudah lumayan menguasai bahasa sehari – hari di sini, bahkan warga di sini ikut kagum dan heran ketika saya bisa menyahut pertanyaan mereka dengan bahasa yang sama. Mulai dari “Ibu, o bana be? (Ibu, mau pergi kemana?)” dan jawaban saya “hau ba sosa mina rai, (saya mau membeli minyak tanah.). Ya begitu banyak kosakata bahasa tetun yang sekarang sudah saya ketahui dan membuat warga mempertahanakan saya untuk tetap disini.  

Datang di daerah ini adalah keberuntungan yang Allah SWT gariskan untuk saya jalani, walaupun semua serba keterbatasan dalam hal  fasilitas namun kenal dengan guru, murid maupun warga sekitar adalah salah satu alasan saya bisa bertahan disini. Yang harus dijalani dengan senang dan bahagia hati, belajar budaya baru, berjumpa dengan orang – orang baru, mengenal sifat orang – orang Timor yang “dulu” terkenal menakutkannya tapi sebenarnya tidak sama sekali adalah pengalaman besar. Bukan sebuah pengalaman saja yang saya dapatkan akan tetapi segunung pengalaman yang saya peroleh di sini, saling mengerti sesama, walaupun berada dalam kelompok minoritas akan tetapi pengertian mereka lebih dari yang saya bayangkan. Kuatnya murid saya dalam menjalani harinya membuatku selalu merasa malu ketika saya harus mengeluh dengan hidup yang saya jalani. Terima kasih SM-3T menjadi bagian darimu adalah sebuah cerita paling mengesankan dalam hidupku. Cerita yang mengajarkanku arti bersyukur dan memahami bahwa hidup terlalu indah untuk disesali dan harus tegar menjalaninya.(Wenni)

Editor : Harnum Kuniawati & Septi Afifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar