Merantau, merupakan kata yang tidak pernah
terbayangkan oleh saya. Perkenalkan saya adalah Wenni Hastuti anggota SM-3T
angkatan VI penempatan Kabupaten
Malaka, Nusa Tenggara Timur. Menjadi salah satu anggota SM-3T adalah suatu hal
yang sangat mengesankan bagi saya. Ketika kita hidup ditengah-tengah masyarakat
yang asing dan baru bagi saya adalah
pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Awal saya datang di penempatan, di SMPN Helibauk hanya
terukir satu kalimat dalam hati dan benak
saya,
yaitu “Apakah saya bisa menjalankan tugas di sini selama satu tahun
lamanya?” karena saya benar-benar dihadapkan pada keterbatasan lingkungan yang
tidak pernah terlintas satu kalipun dalam pikiran saya. SMPN Helibauk berada di Bereknase, Desa Babulu Selatan Kecamatan
Kobalima. Sekolah ini berdiri belum lama dengan biaya dari desa dan dibangun
oleh masyarakat sekitar. SMPN Helibauk terdapat di tengah-tengah hutan,
bahkan akses untuk ke sekolah ini terhitung susah karena jalan yang dilewati
masih teramat terjal, yaitu jalan di pegunungan dengan bebatuan yang masih
banyak. Selain itu SMPN Helibauk memiliki 12 Tenaga guru, dengan tiga rombongan
belajar. Itulah yang mengagetkan saya
ketika datang pertama kali ke sini,
kebetulan kami yang di sini
ditempatkan sendirian di penempatan.
Sore itu, saya sampai di kompleks sekolah, saya
dijemput oleh kepala sekolah,
yaitu Bapak Agustinus Nahak dan disambut oleh tiga orang guru, yaitu Ibu Lina, Ibu
Oliva, Bapak Paul. Kesan
pertama bertemu dengan mereka adalah “ramah”. Ketika kami berbincang yang saya
tanyakan adalah “Bapak,
apakah sumber air di sini
dekat?”, Bapak Paul menjawab dengan tertawa dan Bapak Kepala menjelaskan “Di sini sumber air dibagi
dua ibu, untuk mandi dan untuk masak tersendiri”. Yah, sumber air di sini memang agak susah,
namun saya sudah menyiapkan hati ketika air susah karena memang NTT terkenal
dengan hal tersebut. Saya juga menanyakan bagimana akses yang ditempuh untuk
sampai ke jalan aspal terdekat, yaitu dengan naik motor ataupun ojek dengan
biaya Rp 25.000,00 untuk sampai di aspal terdekat. Setelah kami berbincang
lumayan lama, Bapak Agus berkata, “Ibu Wenni tinggal di asrama bersama Ibu Lina
selama satu tahun ke depan”.
Asrama yang saya tinggali terbuat dari bebak
atau lebih dikenal dengan kayu dari pohon tali (gwang) , berlantaikan tanah dan beratapkan seng, tidak ada kamar
mandi.
Minggu kedua saya di sini tepat di hari rabu, sekolah
mendapatkan bagian untuk membersihkan Kapela, kami guru – guru beserta murid-murid
kelas VII, VIII, dan IX berjalan dari sekolah sampai di Kapela yang ada di
Uarau. Tidak adanya transportasi di sini sampai Kapela,
kami dituntut untuk berjalan kaki dengan jarak lebih dari 20km. Ya saya di sini adalah seorang
muslim sendiri yang hidup di kalangan
mayoritas beragama Katolik, yang memungkinkan saya untuk mengenal lebih agama
ini. Bahkan saya mengikuti berbagai kegiatan yang sekolah saya lampaui dalam
urusan keagamaannya, walaupun saya hanya mendampingi murid saja. Kegiatan mulai
dari perarakan Patung
Bunda Maria di bulan Oktober, sampai ibadah paskah saya mengikuti bersama –
sama. Mengikuti acara hari raya dari agama lain tidak pernah saya bayangkan
sebelumnya, dan perayaan Natal di sini
saya juga melewatinya bersama – sama warga dan anak – anak, kebetulan pada saat
Natal 2016, SMPN Helibauk mendapatkan tanggungan untuk paduan suaranya di malam Natal karena
keterbatasan jumlah guru untuk mengawasi murid, sehingga saya juga harus terlibat di dalamnya. Menyanyi
rohani? Ya, saya ikut mendampingi dalam latihan menyanyi rohani tersebut. Dan itu merupakan pengalaman
terbaru bagi saya, pas di hari H sekolah kami tanggung, saya ditunjuk sebagai
pemasak untuk Romo yang menjadi pemimpin Misa Natal di malam itu, saya memasak
untuk Romo beserta untuk umat yang di Kapela Uarau. Saya juga yang
mendandani salah seorang guru yang menjadi “Maria”. Benar – benar hal baru
untuk saya, namun semua terbayarkan ketika ada seorang warga yang berkata, “Ibu Wenni tadi
masakannya enak sekali dan paduan suaranya terdengar merdu.” Lelah saya terbayar sudah ketika jerih payah
saya dihargai dengan kegiatan yang berjalan sesuai dengan rencana.
Selain acara keagamaan saya juga sering mengikuti
acara yang diadakan oleh masyarakat sekitar, seperti acara sambut baru, syukuran
pelantikan kepala desa,
dan masih banyak lagi. Pertama kali mendatangi pesta, betapa terkejutnya
saya karena budaya di sini begitu berbeda,
pesta yang saya datangi adalah sambut baru, sambut baru adalah acara untuk anak
– anak kelas V SD untuk menerima roti dalam agama Katolik. Di acara ini anak
tersebut memakai gaun putih maupun kemeja putih bagi laki – laki dengan dandanan yang cantik maupun tampan.
Mereka duduk didepan panggung dengan dekorasi yang telah dibuat sedemikian
rupa, untuk menyalami tamu yang datang. Setelah itu tamu makan dan masuk di acara bebas, acara
bebas inilah acara yang paling ditunggu masyarakat yang datang di pesta, acara
di mana
operator memutar musik lagu tebe, dangdut,
ataupun musik lagu dansa. Ketika memutar
musik lagu tebe orang-orang maju ke depan membentuk
lingkaran saling berpegang tangan dan menari dengan ciri khas pada hentakan kakinya.
Dan ketika lagu dansa adalah saatnya untuk para laki – laki mencari pasangan
perempuan, mengajak hormat perempuan dan berdansa. Yang selalu saya herankan adalah acara
pesta ini berlangsung semalaman suntuk,
bahkan sampai pagi, mereka yang datang ke pesta tidak tidur sama
sekali atau mete.
Selain tentang budaya masyarakat maupun agamanya di sini saya mempunyai murid
– murid yang luar biasa. Saya di sini
tinggal dengan dua orang murid, mereka bernama Yasilva Bete dan Juniati Balok
Moruk. Mereka yang selalu ada untuk saya, tidak pernah meninggalkan saya dan
setia membantu saya. Baik memasak, membersihkan rumah, mencari kayu, dan menimba air.
Selelah apapun mereka, ketika mendengar saya dan Ibu Lina memanggil pasti mereka
selalu datang dan bilang “Iya dan bisa ibu”. Hebat dan kagum, adalah perasaan
yang selalu mampir di benak
saya. Dalam acara – acara di sekolah
pun anak- anak saya bekerja begitu banyaknya, tidak mengenal lelah dan
mengeluh. Pernah ketika saya cas handphone
di desa yang jarak lumayan jauh dari sekolah karena tidak ada listrik di
sekolah, saya mengajak dua anak bernama Sensa
dan Silva untuk pergi ambil handphone, saya yang baru berjalan belum
jauh sudah megeluh lelah mereka bilang, “Ibu,
Ibu pulang saja biar
kami berdua saja yang mengambil handphone Ibu” dan saya bilang “Biar Ibu ikut saja, sekalian
Ibu mau olahraga sore” dan mereka tertawa. Alhasil
karena mengajak saya kami sampai di desa atas sudah malam, kami pulang kembali
dalam keadaan gelap. Yang saya salutkan mereka tidak ada rasa takut dan lelah
sama sekali padahal kami berjalan jauh dan cepat. Selain mengmabil handphone di atas, mereka juga
sering pergi di sore
hari hanya untuk sekedar beli mie kalau kami tidak ada sayur dan kios yang jauh
dari sekolah. Kebetulan sekolah kami jauh dari kios dan merupakan daerah yang
susah untuk mendapatkan sayur. Memang untuk pelajaran mereka belajar dari saya,
tapi untuk kehidupan sesungguhnya saya yang belajar dari mereka semua.
Berbagai pengalaman besar saya dapatkan dari tempat
saya mengabdi, 24 Desember 2016 di pagi hari ketika musim angin gunung, asrama
kami rubuh, saya yang malamnya tidur di dalam merasakan ketakutan yang
berlebihan, saya dengan tiga orang anak yang menemani saya benar – benar
melihat dan mendengar bagaimana atap seng bisa terbang, tembok bebak kami bisa
bergeser dan ambruk karena kencangnya angin. Alhasil saya pindah tempat tinggal
di ruang kepala sekolah untuk sementara waktu, tidak sampai di situ saja setelah dua
bulan tinggal ruang kepala sekolah saya pindah lagi di salah satu rumah yang
juga berada di kompleks sekolah. Pindah tempat tinggal sampai tiga kali memang
begitu melelahkan, namun keadaanlah yang membuatnya. Pengalaman yang lain
adalah tentang belajar bahasa Tetun, enam bulan di sini saya sudah lumayan
menguasai bahasa sehari – hari di sini,
bahkan warga di sini
ikut kagum dan heran ketika saya bisa menyahut pertanyaan mereka dengan bahasa
yang sama. Mulai dari “Ibu,
o bana be? (Ibu, mau pergi kemana?)”
dan jawaban saya “hau ba sosa mina rai,
(saya mau membeli minyak tanah.). Ya begitu banyak kosakata bahasa tetun yang
sekarang sudah saya ketahui dan membuat warga mempertahanakan saya untuk tetap
disini.
Datang di daerah ini adalah keberuntungan yang Allah
SWT gariskan untuk saya jalani, walaupun semua serba keterbatasan dalam
hal fasilitas namun kenal dengan guru,
murid maupun warga sekitar adalah salah satu alasan saya bisa bertahan disini.
Yang harus dijalani dengan senang dan bahagia hati, belajar budaya baru,
berjumpa dengan orang – orang baru, mengenal sifat orang – orang Timor yang “dulu”
terkenal menakutkannya tapi sebenarnya tidak sama sekali adalah pengalaman
besar. Bukan sebuah pengalaman saja yang saya dapatkan akan tetapi segunung
pengalaman yang saya peroleh di sini,
saling mengerti sesama, walaupun berada dalam kelompok minoritas akan tetapi
pengertian mereka lebih dari yang saya bayangkan. Kuatnya murid saya dalam
menjalani harinya membuatku selalu merasa malu ketika saya harus mengeluh
dengan hidup yang saya jalani. Terima kasih SM-3T menjadi bagian darimu adalah
sebuah cerita paling mengesankan dalam hidupku. Cerita yang mengajarkanku arti
bersyukur dan memahami bahwa hidup terlalu indah untuk disesali dan harus tegar
menjalaninya.(Wenni)
Editor : Harnum Kuniawati & Septi Afifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar