Oleh : Fajar Riski Anggono
Kamis pagi 24 Mei 2017, saat matahari masih belum
beranjak, dering telepon membangunkanku yang
sejujurnya masih malas untuk membuka mata. Sapaan selamat pagi yang berbeda dan
terdengar tergesa-gesa memaksaku membuka mata dan beranjak dari
tempat tidurku. Pak anton mantan kepala yang dulu menjemputku saat penempatan
sekaligus orang yang sudah saya anggap sebagai ayah ditanah Timor ini, beliau
dengan tergesa gesa mengawali pembicaraan. “Pak fajar sudah tau?” Kalimat pertama
yg keluar dari pak Anton, “Belum bapak”, sautku
menyambar. “Pak Primus meninggal”, kata kata yg keluar dengan lirih dari pak Anton,
“apa pak?”, “Pak Primus meninggal” diulangi lagi oleh pak Anton untuk kedua
kalinya. Pagi itu benar benar menjadi pagi yang gelap, melebihi gelapnya langit
hujan pagi itu. Tanpa bisa dibendung, air mata mengalir dan terus mengalir
dengan derasnya. Setelah sekian lama terduduk tanpa daya, akhirnya saya kuatkan
diri untuk mandi dan bergegas menuju tempat kematian Pak Primus.
Masih dalam gelapnya suasana hati dan tanpa
persiapan yang baik, dengan tergesa gesa saya pacu motor tanpa menggunakan
helm. Kabar buruk sekali lagi menampakan wajahnya pagi ini, tepat di perempatan
pusat kota dua orang polisi berdiri dengan gagahnya. Nekat dan tanpa pikir
panjang saya terobos kedua polisi yang sedang sibuk mencari pengendara yang
tidak taat seperti saya. Sebesar apapun kenekatan saya tetap tidak membuat pak
polisi melepaskanku, satu dari dua polisi lalu lintas dengan bersemangatnya
berlari mengejarku yang memacu dengan cepat motorku. (lama setelah kejadian itu
baru saya sadar bahwa ini adalah kebodohan paling bodoh yang dilakukan oleh
polisi yang mengejar motor hanya dengan berlari). Untuk pertama kalinya senyum
tersirat dibibirku pagi itu yang berhasil berlari dari kejaran pak polisi.
Ternyata senyumku tidak bisa bertahan lama, pikiran
saya sepenuhnya masih teringat tentang sosok yang lebih dari enam bulan ini
selalu melalui hari bersama–sama. Mulai dari malam-malam dikejar anjing di
hutan perbatasan antara kabupaten malaka dengan kabupaten Timur Tengah Utara.
Diancam dibunuh oleh orang tua siswa yang tidak terima karena anak anaknya
terjatuh dari truk. Duduk diantara segerombolan orang mabuk sopi (minuman
beralkohol khas kabupaten Malaka) yang akhirnya membuat Pak Primus ikut mabuk
dan membiarkan saya sadar sendirian. Dan masih banyak lagi kebersamaan yang
tidak mungkin ditulis dalam cerita ini.
Pukul 09.30 WITA saya sudah
berada di asrama sekolah SMP SATAP Raymea, tempat dimana salah satu kawan
terbaik saya meninggal karena penyakit malaria. Sampai disana kembali pecah
tangisku melihat jenazah Pak Primus yang sudah tertutup rapat oleh peti. Tampak
haru, gelap, dan sedih ketika saya melayangkan pandangan ke sekeliling, banyak
terdengar suara tangis yang entah berasal dari keluarga, masyarakat atau siswa
dan kawan guru. Belum tersadar dan beranjak pandangan saya dari sekeliling,
saya sudah dibuat terkejut karena dari belakang seseorang telah menepuk pundak
saya sambil berkata “Jenazah sudah siap dari tadi, kita masih menunggu Bapak Fajar sebelum kita bawa jenazah ke rumah”. Tanpa
tahu siapa yang berbicara, cepat cepat saya balas “Mari Bapak kita bawa Pak Primus kerumahnya”.
Tangis kembali keluar saat rombongan orang
mengangkat peti mati Pak Primus, betapa rindu saya dengan pria mungil
inisetelah dua minggu tidak berjumpa ternyata hari itu saya hanya bisa
memandang jasadnya saja. Kembali ingatan saya mengarah ke sosok pria mungil
ini, terlalu besar kebaikan yang telah diperbuatnya untuk diriku dan pendidikan
di Tanah Timor ini. Terlahir sebagai seorang yang memiliki garis keturunan
orang hebat, Pak Primus justru memilih untuk membuat jalan hidupnya sendiri.
Seharusnya cukup mudah untuk seorang keluarga dari Wakil Bupati mendapatkan
pekerjaan yang layak, apalagi di tanah yang masih mengutamakan keluarga ini.
Tetapi Pak Primus memilih berjuang
dengan jalannya sendiri, mendidik di daerah yang tidak semua orang mau tinggal
disana. Enam tahun lebih beliau mencurahkan semua jiwa raganya di Raymea, dan
menganggap Raymea sebagai rumahnya seperti tertulis di surat wasiatnya.
Sejujurnya saya tidak pernah ingin mengingat kembali
sosokmu dan semua yang ada pada dirimu. Hanya saya rasa semua orang harus tahu
bagaimana dengan tubuh kecilmu kamu dapat membuat kebaikan yang besar untuk
anak-anak Malaka. Bukan sebuah testimoni baik yang saya tulis, hanya saya
berharap semua orang dapat belajar dari ketulusan dan kejujuranmu dalam
memajukan pendidikan, seperti apa yang pernah dirimu katakan “Sebagai guru yang penting kita ikhlas dan jujur Pak Fajar”.
Saya benci menulis cerita ini, karena saya harus
mengingatmu dan jelas itu membuatku meneteskan air mata. Damai di alam kekal
sana, semoga Tuhan menempatkanmu di tempat terbaik. Selamat jalan sahabatku PRIMUS
FRANSIKUS SAU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar