Translate

Sabtu, 12 Agustus 2017

LIFELINE






 Oleh : Fajar Riski Anggono
Kamis pagi 24 Mei 2017, saat matahari masih belum beranjak, dering telepon membangunkanku yang sejujurnya masih malas untuk membuka mata. Sapaan selamat pagi yang berbeda dan terdengar tergesa-gesa memaksaku membuka mata dan beranjak dari tempat tidurku. Pak anton mantan kepala yang dulu menjemputku saat penempatan sekaligus orang yang sudah saya anggap sebagai ayah ditanah Timor ini, beliau dengan tergesa gesa mengawali pembicaraan. “Pak fajar sudah tau?” Kalimat pertama yg keluar dari pak Anton, “Belum bapak”, sautku menyambar. “Pak Primus meninggal”, kata kata yg keluar dengan lirih dari pak Anton, “apa pak?”, “Pak Primus meninggal” diulangi lagi oleh pak Anton untuk kedua kalinya. Pagi itu benar benar menjadi pagi yang gelap, melebihi gelapnya langit hujan pagi itu. Tanpa bisa dibendung, air mata mengalir dan terus mengalir dengan derasnya. Setelah sekian lama terduduk tanpa daya, akhirnya saya kuatkan diri untuk mandi dan bergegas menuju tempat kematian Pak Primus.
Masih dalam gelapnya suasana hati dan tanpa persiapan yang baik, dengan tergesa gesa saya pacu motor tanpa menggunakan helm. Kabar buruk sekali lagi menampakan wajahnya pagi ini, tepat di perempatan pusat kota dua orang polisi berdiri dengan gagahnya. Nekat dan tanpa pikir panjang saya terobos kedua polisi yang sedang sibuk mencari pengendara yang tidak taat seperti saya. Sebesar apapun kenekatan saya tetap tidak membuat pak polisi melepaskanku, satu dari dua polisi lalu lintas dengan bersemangatnya berlari mengejarku yang memacu dengan cepat motorku. (lama setelah kejadian itu baru saya sadar bahwa ini adalah kebodohan paling bodoh yang dilakukan oleh polisi yang mengejar motor hanya dengan berlari). Untuk pertama kalinya senyum tersirat dibibirku pagi itu yang berhasil berlari dari kejaran pak polisi.
Ternyata senyumku tidak bisa bertahan lama, pikiran saya sepenuhnya masih teringat tentang sosok yang lebih dari enam bulan ini selalu melalui hari bersama–sama. Mulai dari malam-malam dikejar anjing di hutan perbatasan antara kabupaten malaka dengan kabupaten Timur Tengah Utara. Diancam dibunuh oleh orang tua siswa yang tidak terima karena anak anaknya terjatuh dari truk. Duduk diantara segerombolan orang mabuk sopi (minuman beralkohol khas kabupaten Malaka) yang akhirnya membuat Pak Primus ikut mabuk dan membiarkan saya sadar sendirian. Dan masih banyak lagi kebersamaan yang tidak mungkin ditulis dalam cerita ini.
Pukul 09.30 WITA saya sudah berada di asrama sekolah SMP SATAP Raymea, tempat dimana salah satu kawan terbaik saya meninggal karena penyakit malaria. Sampai disana kembali pecah tangisku melihat jenazah Pak Primus yang sudah tertutup rapat oleh peti. Tampak haru, gelap, dan sedih ketika saya melayangkan pandangan ke sekeliling, banyak terdengar suara tangis yang entah berasal dari keluarga, masyarakat atau siswa dan kawan guru. Belum tersadar dan beranjak pandangan saya dari sekeliling, saya sudah dibuat terkejut karena dari belakang seseorang telah menepuk pundak saya sambil berkata “Jenazah sudah siap dari tadi, kita masih menunggu Bapak Fajar sebelum kita bawa jenazah ke rumah”. Tanpa tahu siapa yang berbicara, cepat cepat saya balas “Mari Bapak kita bawa Pak Primus kerumahnya”.
Tangis kembali keluar saat rombongan orang mengangkat peti mati Pak Primus, betapa rindu saya dengan pria mungil inisetelah dua minggu tidak berjumpa ternyata hari itu saya hanya bisa memandang jasadnya saja. Kembali ingatan saya mengarah ke sosok pria mungil ini, terlalu besar kebaikan yang telah diperbuatnya untuk diriku dan pendidikan di Tanah Timor ini. Terlahir sebagai seorang yang memiliki garis keturunan orang hebat, Pak Primus justru memilih untuk membuat jalan hidupnya sendiri. Seharusnya cukup mudah untuk seorang keluarga dari Wakil Bupati mendapatkan pekerjaan yang layak, apalagi di tanah yang masih mengutamakan keluarga ini. Tetapi Pak Primus memilih  berjuang dengan jalannya sendiri, mendidik di daerah yang tidak semua orang mau tinggal disana. Enam tahun lebih beliau mencurahkan semua jiwa raganya di Raymea, dan menganggap Raymea sebagai rumahnya seperti tertulis di surat wasiatnya.
Sejujurnya saya tidak pernah ingin mengingat kembali sosokmu dan semua yang ada pada dirimu. Hanya saya rasa semua orang harus tahu bagaimana dengan tubuh kecilmu kamu dapat membuat kebaikan yang besar untuk anak-anak Malaka. Bukan sebuah testimoni baik yang saya tulis, hanya saya berharap semua orang dapat belajar dari ketulusan dan kejujuranmu dalam memajukan pendidikan, seperti apa yang pernah dirimu katakan “Sebagai guru yang penting kita ikhlas dan jujur Pak Fajar”.
Saya benci menulis cerita ini, karena saya harus mengingatmu dan jelas itu membuatku meneteskan air mata. Damai di alam kekal sana, semoga Tuhan menempatkanmu di tempat terbaik. Selamat jalan sahabatku PRIMUS FRANSIKUS SAU.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar