Sore kala itu seperti sore hari-hari biasanya,
seorang anak berbicara pada saya ditengah kegiatannya memotong sayur untuk
makan malam.
“Ibu,
besok kalau ibu pulang na saya mau ikut ibu. Biar saya masuk di koper ju baik.”
Celetuknya padaku sambil tertawa ceria. Dia adalah salah satu anak murid yang
tinggal bersama saya. Ada dua anak angkat yang tinggal di rumah kakak angkat
saya, mereka bernama Septi dan Elvi, sedangkan kakak angkat saya bernama Yuli
Srimulyani. Kami tinggal di mess yang sudah disediakan oleh sekolah.
Perkenalkan lebih dahulu, nama saya Anantyas Kusuma
Dewi dan biasa dipanggil Ibu Anan jika sedang di sekolah. Salah satu dari 53 guru
SM3T di Kabupaten Malaka, NTT. Saya diberi amanah untuk mengabdi di SMP Negeri
Satu Atap Baunakan, letaknya di Kecamatan Io Kufeu, kira-kira dua jam
perjalanan ke arah barat dari kota Betun jika menggunakan kendaraan umum. Saya
akan meceritakan beberapa pengalaman saya ketika menjadi pengajar di daerah
saya, Baunakan. Seperti sepotong cerita di atas, banyak lagi cerita-cerita yang
terjadi selama saya setahun di Baunakan.
Daerah penempatan saya, Baunakan, merupakan salah
satu dusun yang ada di Desa Tunabesi. Daerah ini termasuk dalam daerah dataran
tinggi kira-kira 1010 mdpl. Masyarakat di sana biasa menggunakan Bahasa Dawan
untuk bahasa sehari-harinya.Masyarakat di desa saya menganut agama Katholik dan Protestan. Para warga umumnya
bermatapencaharian sebagai petani, ada beberapa sebagai pedangang, guru dan
tenaga kesehatan. Transportasi di daerah saya tidak mudah tetapi juga tidak
terlalu sulit. Ada satu otto (mobil) mikrolet untuk turun ke Betun (pusat
Kabupaten Malaka), beberapa otto pick up
untuk ke Atambua(pusat Kabupaten Belu) dan belakangan ini ada satu bis menuju
Kupang yang lewat daerah saya. Uniknya, otto-otto ini hanya pergi sekali
sehari. Mereka pergi pagi hari dan kembali lagi sore harinya. Jika kita ingin
pergi ke kota dan tertinggal oleh otto maka kita hanya b
isa menggunakan ojek
sampai cabang dimana banyak otto dari daerah lain yang melintas. Untuk
jalanananya, saya akan gambarkan dengan sebait lagu Ebiet G. Ade berikut :
“Tubuhku
tergoncang dihempas batu jalanan...”
Untuk kehidupan bermasyarakat, masyarakat di daerah
saya sangat baik dan ramah. Kehidupan kekeluargaan sangat terjaga di daerah
ini. Daerah ini masih menjaga peninggalan leluhur, ini tercermin dari masih
banyak dan terjaganya rumah adat untuk setiap suku. Masih banyak juga budaya
adat yang masih mereka lakukan sampai sekarang, dan menariknya hal ini berjalan
berdampingan dengan agama yang mereka anut.
Sekolah tempat saya mengabdi bernama SMP Negeri Satu
Atap Baunakan. Sekolahnya berada di wilayah bebukitan. Ada tiga tingkatan
tanah, karena memang ada di daerah bukit. Tingkat tanah pertama digunakan untuk
lapangan, tingkat ke dua untuk gedung kelas 7 dan 9, kantor guru, perpustakaan
dan laboraturium, sedangkan tingkat ketiga yang merupakan tingkat paling tinggi
adalah kelas 8.
Ketika tiba di sana, anak-anak mulai mengajari saya
bahasa Dawan. Mereka juga sering bertanya-tanya dan minta ajar bahasa Jawa.
Yang paling saya ingat ketika belajar bahasa Dawan adalah tawa mereka karena
mendengar kata Dawan yang saya ucapkan terdengar aneh di telinga mereka. Pernah
suatu saat ketika mengajar, saya ucapkan, “Onme, sudah mengerti belum?” (Onme
itu bahasa Dawan yang artinya bagaimana) dan jawaban yang saya terima adalah
semua anak di kelas tertawa. Mereka bilang saya lucu saat mengucapkannya.
Ledakan tawa anak murid sering saya alami saat saya
mengajar, pernah suatu saat saya marah dengan mereka. Saya omeli mereka tetapi
mereka tidak takut dan malah tertawa, saya bertanya pada salah satu anak
mengapa mereka tertawa.
“Ibu
kalau sedang marah muka ibu lucu.” begitu jawabnya dan jawaban polos mereka itu
mau tidak mau malah membuat saya ikut tertawa juga dengan mereka.
Banyak pengalaman yang saya dapat saat mengajar
mereka, bagaimana sulitnya membuat mereka paham terutama untuk matapelajaran
seperti fisika dan matematika yang mengharuskan mereka hapal perkalian dan
pembagian. Bagaimana mereka sangat menyukai ketika kami bermain sambil belajar
di kelas dan saat-saat mereka praktikum. Pernah suatu saat anak-anak meminta
saya untuk bermain dan belajar sama-sama lagi hingga akhirnya kami lakukan
kegiatan bermain dan belajar di luar jam pelajaran atau saat les sore hari.
Pengalaman lain yang menarik adalah salah satu
ekstrakulikuler yang ada di sekolah saya. Ekstrakulikuler itu adalah seruling
bambu. Seruling bambu yang selama ini saya ketahui adalah seruling bambu kecil
yang biasa dimainkan tetapi seruling bambu yang berada di sini sedikit berbeda.
Ada seruling bambu untuk melodi, untuk nada-nada dan untuk suara bass. Pada
beberapa kesempatan, saya diperbolehkan untuk melihat siswa-siswa menampilkan
orkes seruling bambu pada beberapa acara. Bahkan satu kali saya diberi
kesempatan untuk ikut tampil dengan mereka meskipun hanya memegangi bambu besar
yang merupakan seruling bass.
Sebagai guru itu kita biasa mengajar tetapi dilain
sisi kita juga belajar dari anak didik kita. Banyak hal yang saya pelajari dari
anak-anak didik saya. Dari mulai timba air yang harus berjalan satu kilo, cuci
baju di sungai, memakan banyak makanan yang baru bagi saya, hingga semangat
mereka untuk belajar meski harus berjalan jauh ke sekolah.
Pertama kali saya sampai di sekolah, saya ingin ikut
untuk timba air tetapi anak-anak menolak. Mereka kasihan dengan ibu guru baru
yang harus jalan kaki jauh. Awalnya saya pikir sejauh apa sih, hingga suatu
saat saya ajak mereka timba air dan jaraknya ternyata memang jauh. Terkadang
jika air di mess kami habis biasanya anak-anak akan timbakan air untuk kami,
dan mereka melakukan itu secara suka rela.
Untuk makanan, budaya orang Malaka adalah sirih
pinang. Mereka biasa makan sirih pinang dengan kapur kering. Setiap kali saya
pergi berkunjung ke rumah tetangga pasti mereka akan memberikan saya sirih dan
pinang. Satu kali saya ingin mencoba, sirih buah lebih dahulu saya makan, rasanya
pedis. Kemudian si tuan rumah bilang untuk campur dengan pinang juga. Saya
ambil satu pinang kering. Saya melihat mereka memakan pinang itu seperti makan
kacang saja. Begitu saya kunyah pinang ternyata keras sekali. Saya bilang ke
mereka, “Bapa, Mama, ini pinang saya kunyah-kunyah hanya bisa terbagi dua sa.”
Dan mereka langsung tertawa mendengarnya, mereka bilang itu latihan untuk
menguatkan gigi.
Selain cerita sirih pinang ada satu cerita yang
tidak akan saya lupakan. Pernah satu kali saya di minta untuk menghadiri suatu
rapat di sekolah lain. Ketika rapat sudah selesai ada beberapa makanan untuk
para tamu. Salah satu yang menarik untuk saya ambil adalah pisang rebus. Saya
sudah bayangkan pasti ini pisang rebus enak sekali karena semua orang
mengambilnya. Ketika saya ambil dan saya makan maka satu hal terlintas dibenak
saya bahwa ekspetasi itu berbeda dengan realita, yang saya bayangkan pisang
rebus manis dan ternyataitu pisang rasanya mirip seperti ketela rebus. Hal yang
sama saya alami ketika anak-anak menggoreng jagung, saya lihat mereka makan
enak sekali, begitu saya coba ternyata jangungnya keras sekali.
Dibalik sisi budaya warga yang masih terjaga apik,
keramahan warga di daerah saya juga membekas di benak saya. Banyak bantuan yang
sudah saya terima dari mereka. Satu kali pernah kami memesan beras lewat otto
karena kami tidak sempat berbelanja di kota. Namun, tidak seperti biasanya,
otto yang membawa beras kami tidak lewat. Kami sudah sempat bingung karena saat
itu beras kami memang sudah habis. Tak lama ada salah satu tetangga yang
melewati depan sekolah dan melihat kami. Tetangga kami yang juga merupakan
teman guru kami bertanya dan menawarkan bantuan untuk meminjakan beras pada
kami. Kami pun menerima bantuannya, saya ikut ke rumahnya untuk meminjam beras.
Ternyata keluarga tetangga kami itu hanya memiliki sedikit beras. Saya merasa
tidak enak tapi mereka memaksa saya untuk memakai beras mereka dulu dengan
alasan mereka masih bisa makan jagung dan jagung mereka masih banyak. Hal itu
membuat saya mau tidak mau terharu. Selain beras, para tetangga saya juga
sering memberikan saya sayuran, walau itu hanya berupa sayur daun ubi, pepaya
muda atau pucuk labu. Saya juga pernah dibelikan obat di polindes saat saya
sedang sakit meskipun saya tidak pernah meminta. Kebaikan dan ketulusan mereka
membuat saya semakin menghormati mereka.
Pengalaman lain yang belum pernah saya alami juga
saya dapatkan saat dengan anak murid saya. Kami pernah masuk hutan hanya untuk
mencari jambu saat musim jambu. Mereka bilang setiap kali musim jambu maka isi
tas sekolah mereka bukan penuh buku tetapi penuh dengan buah jambu. Benar saja,
hutan bisa berubah menjadi kebun jambu dengan berbagai jenis saat sedang musim
jambu tiba. Bahkan karena terlalu banyak memakan jambu, salah satu murid saya
sampai sakit perut keesokan harinya. Selain masuk hutan untuk mencari jambu,
anak murid saya juga pernah mengajak saya masuk hutan untuk mencari daun gewang
guna membangun kamar mandi darurat. Hebat saja, anak-anak murid saya dengan
lincah memotong dan membawa daun gewang yang ukurannya lebih besar dari badan
mereka.
“Ibu,
ini sayap-sayap kami. Kami su siap terbang e...” celetuk mereka saat mereka
saya potret.
Selain
masuk hutan, kami juga sudah sering masuk kali untuk mencuci baju dan untuk
mandi. Bahkan kami juga langgar kali untuk mencari kayu bakar karena memang di
sini kami sering menggunakan kayu bakar selain menggunakan minyak tanah.
Sebenarnya masih banyak cerita yang saya alami
dengan anak-anak, teman guru dan masyarakat di sini. Namun, yang pasti saya
tidak akan pernah menyesal tiba di daerah tugas saya dan saya sangat bersyukur
berada di daerah penempatan saya. Saya mendapat banyak pengalaman baru, saya
mendapat banyak kenangan dan yang paling utama saya mendapat keluarga baru di
sini. Satu kata penutup dari saya, Tuhan tidak pernah salah untuk
menempatkanmu, dimana pun itu pasti Tuhan tahu itu yang terbaik untukmu. Dan
inilah Baunakan, tentang sepenggal perjalanan saya di tanah Timor.
Selamat
Mengabdi Untuk Negeri, Salam dari Ujung Batas Indonesia. (Anantyas)
Editor : Harnum Kurniawati & Tika Pangesti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar