Oleh Rachma Tri Hani, S.Pd
Selamat
pagi Ibu!
Ibu Guru? Rasa, saya masih tidak percaya mereka menyebut
saya Ibu Guru. Baru saja, saya berhasil keluar dalam belenggu mahasiswa dengan
toga di kepala dan gelar sarjana termuat di belakang nama saya, tetapi di tempat
ini, mereka menyebut nama saya bukan hanya nama melainkan Ibu Guru Hani.
Di mana saya dipanggil Ibu Guru? Ya di sini! Pulau
bekas jajahan Portugis, Nusa Tenggara Timur. Saya di sini bukan sengaja datang,
tetapi saya di sini bersama sarjana-sarjana muda yang tergolong berani dan
keluar dari zona nyaman mereka. Kita dikumpulkan dalam satu kesatuan yang
dikenal dengan nama SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan
Tertinggal). SM3T merupakan salah satu program dari Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan
Nusa Tenggara
Timur merupakan salah satu pulau yang berada di ujung timur Indonseia. Salah
satu wilayah di provinsi ini bahkan berbatasan langsung dengan Negara Timor
Leste. Inilah alasan kenapa kami dikirim dari pulau jawa ke pulau yang terkenal
dengan surganya pantai di Indonesia. Saya
di sini bukan untuk menikmati surganya pantai di Indonesia, tetapi untuk
mengenal dan belajar bersama anak-anak yang lahir dan besar di tanah timor ‘timur’ ini. Awal saya tiba di
daratan Timor ini, kalimat pertama kali yang terbesit dalam pikiran saya adalah
saya menjadi guru untuk anak-anak asli tanah timor. Menjadi guru di daerah yang
benar-benar baru saya datangi bukan hal yang mudah. Bahasa, kebiasaan
masyarakat, budaya dan keadaan anak-anak jelas berbeda dan belum pernah saya
temukan. Akan tetapi, saya yakinkan diri saya bahwa saya bisa menjadi guru satu
tahun untuk anak-anak kelahiran tanah timor, karena saya tidak sendiri dan ada
52 sarjana yang lain
Malam, di musim panas Nusa Tenggara Timur merupakan
saksi bisu pertama saya menginjakkan kaki di desa yang berada di dalam hutan.
Oke! Kita masuk ke desa tempat saya ditempatkan mengajar di tanah timor ini. Dalam
bahasa daerah, desa saya bernama Manumutin
silole ‘burung putih jantan’. Desa ini merupakan desa paling terpencil dan
memiliki jarak paling jauh dari pusat kecamatan. Saya tidak sendiri dalam satu
kecamatan, karena ada empat teman saya yang lain dan ditempatkan dalam empat
desa yang berbeda. Walaupun saya perempuan, dan ditempatkan paling jauh dari
pusat kecamatan, namun itu bukan menjadi alasan saya untuk mengeluh dan
mengendorkan semangat saya untuk mengenal anak-anak asli tanah timor.
Sebenarnya, kalau dihitung dengan waktu, perjalanan dari desa saya menuju
kecamatan atau kota tidak terlalu lama. Akan tetapi, kondisi jalan yang buruk
membuat warga harus berjalan pelan dan hati-hati untuk melewati jalan desa
saya.
Dikarenakan kondisi desa saya yang tidak ada listrik
dan jalan rusak, akhirnya, kepala sekolah memutuskan untuk membawa saya kepada
keluarga salah seorang guru yang rumahnya dekat dengan sekolah tempat saya akan
mengajar. Bukan sambutan meriah dengan tepukan tangan dan bunga-bunga yang
ditebarkan, tetapi senyuman dan pelukan hangat oleh wanita yang sampai sekarang
saya panggil mamah. Selama satu tahun ini, saya makan, tidur dan hidup bersama
keluarga asli kelahiran tanah timor. Bapa
‘Bapak’ dan mamah ‘mama’ saya bekerja
sebagai guru sekolah dasar yang juga tempat saya mengajar nanti. Mereka
memiliki tiga orang anak. Anak sulung mereka sudah menjadi sarjana kesehatan.
Saya panggil dia nona. Anak kedua mereka masih menempuh pendidikan di bangku
kuliah dan namanya Frid, Frid Nahak. Anak ketiga dan kesayangan mamah dan bapa
adalah Irwan yang duduk di kelas 2 SD tempat saya mengajar. Mamah menjadi guru
kelas 1, sedangkan bapa menjadi guru kelas 4 SD di tempat saya akan mengajar
nanti.
Pada hari pertama masuk dan menginjakkan kaki di SDI
KOKA, saya disambut oleh tatapan polos dengan banyak pertanyaan dalam benak
mereka, seperti “Siapa ya Ibu ini?”, “Ibu ini guru kita kah?”, “Ibu ini pakai
kerudung e…!”, “Dia ibu guru kah?” Itu mungkin yang ada dipikiran mereka.
Setelah saya masuk ke kantor dan berbincang dengan kepala sekolah beserta bapak
ibu guru, saya diajak menemui murid-murid yang sudah menunggu saya di depan
kelas. Saya heran, kenapa sekolah ini mendadak ramai dengan musik-musik dan
anak-anak yang menari. “Ibu mari kita tebe dulu!” Seseorang mengajak. “Oooh,
tebe! Yaps!” Tebe adalah salah satu
kesenian yang ada di daerah ini. Tarian ini mengajak kita bersama-sama menari,
menggerakan kaki dan melangkah secara bersamaan mengikuti iringan musik tebe.
Awalnya, saya ragu-ragu karena saya masih asing dengan tarian ini, tetapi
keceriaan anak-anak membuat saya ingin ikut terjun menari bersama mereka.
Hari demi hari sampai sekarang saya lalui di sekolah
bersama anak-anak. Bagi saya, menjadi guru berarti menjadi teman juga untuk
mereka. Teman untuk belajar, teman berpetualang, teman masuk ke hutan untuk
berburu buah-buahan dan teman untuk berbagi kedukaan. Saya memang belum
sempurna untuk menjadi guru bagi mereka, tetapi mereka benar-benar menyayangi
dan menjaga saya. Belajar bersama mereka berarti harus mengajak mereka bermain.
Dengan susasana pembelajaran yang menyenangkan inilah, mereka menjadi lebih
semangat untuk belajar. Mereka selalu antusias untuk menghapalkan perkalian,
meminta saya untuk cepat-cepat berolahraga, meminta saya untuk cepat-cepat
masuk ke kelas dan mereka yang selalu semangat menjawab “Siap!” saat saya
menyuruh mereka untuk belajar dan mengerjakan soal. Satu kata untuk anak-anak
ini, unik.
Mulai belajar
bahasa daerah (Tetun)
Bahasa daerah yang digunakan di desa saya adalah
bahasa Tetun. Bahasa Tetun merupakan bahasa asli daerah orang timor. Ya! Kita
yang asli Jawa, kalau kita ngobrol
sama orang Jawa pasti juga pakai bahasa Jawa. Jadi, di sini, yang demikian juga
pasti berlaku dong! Awalnya, kita memang merasa susah dan asing mendengarkan
masyarakat di sini berbahasa daerah. Di sekolah pun, semua anak-anak
berinteraksi dengan bahasa daerah karena mereka belum terlalu lancar berbahasa
Indonesia. Yang lucu, saat saya mulai mengucapkan satu kalimat Tetun yang diajarkan
oleh mamah, justru, masyarakat di sini tertawa dan memuji saya. “Eh, Ibu Hani ini su mulai pakai bahasa
tetun e,” kata salah satu warga yang tinggal di dekat rumah saya. Satu
kalimat Tetun yang cepat saya hafalkan dan sering saya ucapkan adalah hola we ‘ambil air’
“Hola we Mama,” kata
saya dan mamah pun menjawab “Heeh Nai.”
Walaupun lokasi desa saya di pegunungan dan dataran
tinggi, namun bukan berarti, desa saya banyak air. Air menjadi salah satu
permasalahan yang juga dirasakan oleh warga desa selain tidak ada listrik,
jalan rusak, dan jaringan komunikasi yang buruk. Setiap pagi dan sore hari,
warga di sini harus menggunakan jerigen
‘jeriken’ untuk mengambil air di mata air dan menampungnya untuk di bawa pulang
ke rumah. Desa saya hanya memiliki satu tempat untuk mata air yang bisa
dijangkau oleh warga, sedangkan tempat mata air yang lain jaraknya terlalu jauh
dari rumah mereka. Mata air itu berada tepat di samping rumah saya. Itulah
kenapa, setiap pagi dan sore hari warga yang menuju mata air selalu menyapa
saya. Sering saya melihat anak-anak mengambil air dengan jumlah jrigen lebih dari dua. Bagaimana cara
mereka membawa? Junjung, junjung
adalah kata dalam bahasa Tetun yang artinya mengangkat di atas kepala. Jadi, warga
di sini bahkan anak-anak membawa satu sampai dua jrigen dan diangkat di atas kepala mereka. Saat saya melihat itu,
sungguh, saya teramat sangat salut dengan kekuatan mereka.
Toleransi
Bulan Oktober menjadi bulan yang besar bagi seluruh
warga masayarakat Kabupaten Malaka, tidak terkcecuali di desa dan sekolah saya
karena ada per-arakan patung Bunda Maria. Pulau bekas jajahan Portugis ini
memang memiliki warga yang mayoritas beragama Katolik. Bagi warga di sini, selain
adat yang mereka junjung tinggi, agama juga menjadi hal yang mereka utamakan. Hal
itu dibuktikan dengan kegiatan besar perarakan patung Bunda Maria yang membuat
seluruh warga dan anak-anak di sekoah disibukkan dengan segala persiapan. Hal
ini dikarenakan sekolah saya menjadi tempat kehormatan peletakkan patung Bunda
Maria. Semua warga dan anak-anak sekolah bergotong royong menata sekolah untuk
menyambut kedatangan patung Bunda Maria. Mulai dari bulan itu, saya banyak
belajar bagaimana hidup bertoleransi dalam satu keluarga dengan keyakinan yang
berbeda..
Tanah Timor dan
Kekayaan Adatnya
Satu tahun sudah saya bernapas, dan menikmati udara
dataran timor ini. Satu hal terakhir
yang ingin saya bagikan adalah Adat Tanah Timor. Baru pertama kali ini, saya
benar-benar merasakan hidup di antara masyarakat yang sangat menjunjung tinggi
adat. Mereka begitu sangat mengagungkan raja-raja terdahulu dan ”Rumah Pamali
atau Rumah Adat pada suku masing-masing. Berbagai acara adat selalu mereka
lakukan, mulai dari upacara pemakaman Raja, Perbaikan Rumah Adat dan Panen
Jagung Muda. Semua kegiatan yang mereka lakukan harus dilangsungkan secara adat
terlebih dahulu. Dalam acara adat, orang juga tidak bisa sembarang mengenakan
pakaian. Kaum perempuan menggunakan tais ‘kain’
dan selendang, sedangkan kaum laki-laki menggunakan tais manek (kain laki-laki) dan selendang. Walaupun saya termasuk
pendatang, tapi mamah selalu memberikan satu kain dan selendang untuk saya
kenakan selama acara adat.
Tidak terasa sudah satu tahun saya menjadi Ibu Guru,
Ibu Hani, Ibu Jawa bagi semua warga di sini. Ibu guru untuk anak-anak dan
sekolahku. Ibu Hani untuk guru-guru dan keluarga. Ibu Jawa untuk semua warga di
desa Manumutin Silole. Menjadi guru SD dengan segala tingkah, polah anak-anak
membuat saya lebih bersyukur dan berterimakasih sudah pernah ada yang mengirim
saya ke dataran indah Tanah Timor. Bukan mereka yang belajar dari saya, justru
saya yang belajar banyak dari mereka. Anak-anak telah mengajarkanku bagaimana
menjadi guru yang kreatif, pekerja keras, mandiri dan selalu tegar menghadapi
kesulitan di depan mata. Guru-guru di sini yang mengajarkanku bagaimana
mendidik anak-anak sehingga mereka dapat berhasil. Warga desa yang
mengajarkanku bagaimana hidup bertoleransi, menghormati adat, dan tidak pantang
menyerah menghadapi kesulitan.
Setelah saya pergi, jarak pasti akan ada. Akan
tetapi, bukan jarak untuk memisahkan, namun untuk saling merindukan.
Terimakasih Koka, Terimakasih Malaka, Terimakasih SM3T.
Editor : Harnum Kuniawati dan Bangkit Bagas Widodo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar