Translate

Kamis, 03 Agustus 2017

Mereka Memanggilku Ibu Jawa





Oleh Rachma Tri Hani, S.Pd


Selamat pagi Ibu!
Ibu Guru? Rasa, saya masih tidak percaya mereka menyebut saya Ibu Guru. Baru saja, saya berhasil keluar dalam belenggu mahasiswa dengan toga di kepala dan gelar sarjana termuat di belakang nama saya, tetapi di tempat ini, mereka menyebut nama saya bukan hanya nama melainkan Ibu Guru Hani.
Di mana saya dipanggil Ibu Guru? Ya di sini! Pulau bekas jajahan Portugis, Nusa Tenggara Timur. Saya di sini bukan sengaja datang, tetapi saya di sini bersama sarjana-sarjana muda yang tergolong berani dan keluar dari zona nyaman mereka. Kita dikumpulkan dalam satu kesatuan yang dikenal dengan nama SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal). SM3T merupakan salah satu program dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
 Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu pulau yang berada di ujung timur Indonseia. Salah satu wilayah di provinsi ini bahkan berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Inilah alasan kenapa kami dikirim dari pulau jawa ke pulau yang terkenal dengan surganya pantai di Indonesia.  Saya di sini bukan untuk menikmati surganya pantai di Indonesia, tetapi untuk mengenal dan belajar bersama anak-anak yang lahir dan besar di tanah timor ‘timur’ ini. Awal saya tiba di daratan Timor ini, kalimat pertama kali yang terbesit dalam pikiran saya adalah saya menjadi guru untuk anak-anak asli tanah timor. Menjadi guru di daerah yang benar-benar baru saya datangi bukan hal yang mudah. Bahasa, kebiasaan masyarakat, budaya dan keadaan anak-anak jelas berbeda dan belum pernah saya temukan. Akan tetapi, saya yakinkan diri saya bahwa saya bisa menjadi guru satu tahun untuk anak-anak kelahiran tanah timor, karena saya tidak sendiri dan ada 52 sarjana yang lain
Malam, di musim panas Nusa Tenggara Timur merupakan saksi bisu pertama saya menginjakkan kaki di desa yang berada di dalam hutan. Oke! Kita masuk ke desa tempat saya ditempatkan mengajar di tanah timor ini. Dalam bahasa daerah, desa saya bernama Manumutin silole ‘burung putih jantan’. Desa ini merupakan desa paling terpencil dan memiliki jarak paling jauh dari pusat kecamatan. Saya tidak sendiri dalam satu kecamatan, karena ada empat teman saya yang lain dan ditempatkan dalam empat desa yang berbeda. Walaupun saya perempuan, dan ditempatkan paling jauh dari pusat kecamatan, namun itu bukan menjadi alasan saya untuk mengeluh dan mengendorkan semangat saya untuk mengenal anak-anak asli tanah timor. Sebenarnya, kalau dihitung dengan waktu, perjalanan dari desa saya menuju kecamatan atau kota tidak terlalu lama. Akan tetapi, kondisi jalan yang buruk membuat warga harus berjalan pelan dan hati-hati untuk melewati jalan desa saya.
Dikarenakan kondisi desa saya yang tidak ada listrik dan jalan rusak, akhirnya, kepala sekolah memutuskan untuk membawa saya kepada keluarga salah seorang guru yang rumahnya dekat dengan sekolah tempat saya akan mengajar. Bukan sambutan meriah dengan tepukan tangan dan bunga-bunga yang ditebarkan, tetapi senyuman dan pelukan hangat oleh wanita yang sampai sekarang saya panggil mamah. Selama satu tahun ini, saya makan, tidur dan hidup bersama keluarga asli kelahiran tanah timor. Bapa ‘Bapak’ dan mamah ‘mama’ saya bekerja sebagai guru sekolah dasar yang juga tempat saya mengajar nanti. Mereka memiliki tiga orang anak. Anak sulung mereka sudah menjadi sarjana kesehatan. Saya panggil dia nona. Anak kedua mereka masih menempuh pendidikan di bangku kuliah dan namanya Frid, Frid Nahak. Anak ketiga dan kesayangan mamah dan bapa adalah Irwan yang duduk di kelas 2 SD tempat saya mengajar. Mamah menjadi guru kelas 1, sedangkan bapa menjadi guru kelas 4 SD di tempat saya akan mengajar nanti.

Pada hari pertama masuk dan menginjakkan kaki di SDI KOKA, saya disambut oleh tatapan polos dengan banyak pertanyaan dalam benak mereka, seperti “Siapa ya Ibu ini?”, “Ibu ini guru kita kah?”, “Ibu ini pakai kerudung e…!”, “Dia ibu guru kah?” Itu mungkin yang ada dipikiran mereka. Setelah saya masuk ke kantor dan berbincang dengan kepala sekolah beserta bapak ibu guru, saya diajak menemui murid-murid yang sudah menunggu saya di depan kelas. Saya heran, kenapa sekolah ini mendadak ramai dengan musik-musik dan anak-anak yang menari. “Ibu mari kita tebe dulu!” Seseorang mengajak. “Oooh, tebe! Yaps!”  Tebe adalah salah satu kesenian yang ada di daerah ini. Tarian ini mengajak kita bersama-sama menari, menggerakan kaki dan melangkah secara bersamaan mengikuti iringan musik tebe. Awalnya, saya ragu-ragu karena saya masih asing dengan tarian ini, tetapi keceriaan anak-anak membuat saya ingin ikut terjun menari bersama mereka.
Hari demi hari sampai sekarang saya lalui di sekolah bersama anak-anak. Bagi saya, menjadi guru berarti menjadi teman juga untuk mereka. Teman untuk belajar, teman berpetualang, teman masuk ke hutan untuk berburu buah-buahan dan teman untuk berbagi kedukaan. Saya memang belum sempurna untuk menjadi guru bagi mereka, tetapi mereka benar-benar menyayangi dan menjaga saya. Belajar bersama mereka berarti harus mengajak mereka bermain. Dengan susasana pembelajaran yang menyenangkan inilah, mereka menjadi lebih semangat untuk belajar. Mereka selalu antusias untuk menghapalkan perkalian, meminta saya untuk cepat-cepat berolahraga, meminta saya untuk cepat-cepat masuk ke kelas dan mereka yang selalu semangat menjawab “Siap!” saat saya menyuruh mereka untuk belajar dan mengerjakan soal. Satu kata untuk anak-anak ini, unik.
Mulai belajar bahasa daerah (Tetun)
Bahasa daerah yang digunakan di desa saya adalah bahasa Tetun. Bahasa Tetun merupakan bahasa asli daerah orang timor. Ya! Kita yang asli Jawa, kalau kita ngobrol sama orang Jawa pasti juga pakai bahasa Jawa. Jadi, di sini, yang demikian juga pasti berlaku dong! Awalnya, kita memang merasa susah dan asing mendengarkan masyarakat di sini berbahasa daerah. Di sekolah pun, semua anak-anak berinteraksi dengan bahasa daerah karena mereka belum terlalu lancar berbahasa Indonesia. Yang lucu, saat saya mulai mengucapkan satu kalimat Tetun yang diajarkan oleh mamah, justru, masyarakat di sini tertawa dan memuji saya. “Eh, Ibu Hani ini su mulai pakai bahasa tetun e,” kata salah satu warga yang tinggal di dekat rumah saya. Satu kalimat Tetun yang cepat saya hafalkan dan sering saya ucapkan adalah hola we ‘ambil air’
“Hola we Mama,” kata saya dan mamah pun menjawab “Heeh Nai.”
Walaupun lokasi desa saya di pegunungan dan dataran tinggi, namun bukan berarti, desa saya banyak air. Air menjadi salah satu permasalahan yang juga dirasakan oleh warga desa selain tidak ada listrik, jalan rusak, dan jaringan komunikasi yang buruk. Setiap pagi dan sore hari, warga di sini harus menggunakan jerigen ‘jeriken’ untuk mengambil air di mata air dan menampungnya untuk di bawa pulang ke rumah. Desa saya hanya memiliki satu tempat untuk mata air yang bisa dijangkau oleh warga, sedangkan tempat mata air yang lain jaraknya terlalu jauh dari rumah mereka. Mata air itu berada tepat di samping rumah saya. Itulah kenapa, setiap pagi dan sore hari warga yang menuju mata air selalu menyapa saya. Sering saya melihat anak-anak mengambil air dengan jumlah jrigen lebih dari dua. Bagaimana cara mereka membawa? Junjung, junjung adalah kata dalam bahasa Tetun yang artinya mengangkat di atas kepala. Jadi, warga di sini bahkan anak-anak membawa satu sampai dua jrigen dan diangkat di atas kepala mereka. Saat saya melihat itu, sungguh, saya teramat sangat salut dengan kekuatan mereka.
Toleransi
Bulan Oktober menjadi bulan yang besar bagi seluruh warga masayarakat Kabupaten Malaka, tidak terkcecuali di desa dan sekolah saya karena ada per-arakan patung Bunda Maria. Pulau bekas jajahan Portugis ini memang memiliki warga yang mayoritas beragama Katolik. Bagi warga di sini, selain adat yang mereka junjung tinggi, agama juga menjadi hal yang mereka utamakan. Hal itu dibuktikan dengan kegiatan besar perarakan patung Bunda Maria yang membuat seluruh warga dan anak-anak di sekoah disibukkan dengan segala persiapan. Hal ini dikarenakan sekolah saya menjadi tempat kehormatan peletakkan patung Bunda Maria. Semua warga dan anak-anak sekolah bergotong royong menata sekolah untuk menyambut kedatangan patung Bunda Maria. Mulai dari bulan itu, saya banyak belajar bagaimana hidup bertoleransi dalam satu keluarga dengan keyakinan yang berbeda..
Tanah Timor dan Kekayaan Adatnya
Satu tahun sudah saya bernapas, dan menikmati udara dataran timor ini. Satu hal terakhir yang ingin saya bagikan adalah Adat Tanah Timor. Baru pertama kali ini, saya benar-benar merasakan hidup di antara masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat. Mereka begitu sangat mengagungkan raja-raja terdahulu dan ”Rumah Pamali atau Rumah Adat pada suku masing-masing. Berbagai acara adat selalu mereka lakukan, mulai dari upacara pemakaman Raja, Perbaikan Rumah Adat dan Panen Jagung Muda. Semua kegiatan yang mereka lakukan harus dilangsungkan secara adat terlebih dahulu. Dalam acara adat, orang juga tidak bisa sembarang mengenakan pakaian. Kaum perempuan menggunakan tais ‘kain’ dan selendang, sedangkan kaum laki-laki menggunakan tais manek (kain laki-laki) dan selendang. Walaupun saya termasuk pendatang, tapi mamah selalu memberikan satu kain dan selendang untuk saya kenakan selama acara adat. 

Tidak terasa sudah satu tahun saya menjadi Ibu Guru, Ibu Hani, Ibu Jawa bagi semua warga di sini. Ibu guru untuk anak-anak dan sekolahku. Ibu Hani untuk guru-guru dan keluarga. Ibu Jawa untuk semua warga di desa Manumutin Silole. Menjadi guru SD dengan segala tingkah, polah anak-anak membuat saya lebih bersyukur dan berterimakasih sudah pernah ada yang mengirim saya ke dataran indah Tanah Timor. Bukan mereka yang belajar dari saya, justru saya yang belajar banyak dari mereka. Anak-anak telah mengajarkanku bagaimana menjadi guru yang kreatif, pekerja keras, mandiri dan selalu tegar menghadapi kesulitan di depan mata. Guru-guru di sini yang mengajarkanku bagaimana mendidik anak-anak sehingga mereka dapat berhasil. Warga desa yang mengajarkanku bagaimana hidup bertoleransi, menghormati adat, dan tidak pantang menyerah menghadapi kesulitan.
Setelah saya pergi, jarak pasti akan ada. Akan tetapi, bukan jarak untuk memisahkan, namun untuk saling merindukan. Terimakasih Koka, Terimakasih Malaka, Terimakasih SM3T.


 Editor : Harnum Kuniawati dan Bangkit Bagas Widodo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar