Pagi itu entah tanggal berapa matahari di Kabupaten
Malaka Nusa Tenggara Timur seakan terlihat naik lebih cepat dari biasanya.
Seolah sang surya tak sabar untuk menyaksikan langkah kakiku menuju babak
kehidupan yang baru. Tampak sebuah bagunan megah kantor Bupati Malaka berdiri
dengan kokohnya, disanalah babak baru kehidupan itu dimulai. Di tempat itu pula
pembagian tugas mengajar di setiap sekolah dibacakan. SDI Weakar di kecamatan
Wewiku menjadi sekolah penempatanku selama mengikuti progam SM3T (Sarjana
Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di Kabupaten Malaka.
Selama satu tahun ke depan, sebagian besar kisah hidupku akan ada di sana.
Kepala Sekolah SDI Weakar Bapak Wilibrodus Klau adalah penduduk asli yang
pertama ku kenal. Beliau akan menjadi orangtua asuhku selama tugas di sekolah
tersebut. Perkenalan singkatku dengan beliau begitu berkesan, pembawaan seorang
bapak sangat terlihat pada diri beliau sehinga membuatku lebih cepat akrab
seperti berbicara dengan orangtua sendiri.
Sepanjang perjalan menuju pempatan Pak Wili tidak
berhenti menceritakan semua tempat yang dilalui. Perjalanan dari pusat
Kabupaten Malaka menuju penempatan kurang lebih berjarak 40 kilometer ditempuh
mengendari sepeda motor dengan waktu sekitar 50 menit. “Sekarang jalan sudah
baik, dulu kita kalau mau ke kota setengah mati karena jalan masih batu lepas
semua”, ucap Pak Wili. Obrolan disepanjang jalan membuat perjalan jauh pun tak
begitu terasa, tibalah kami di rumah Pak Wili di dusun Weakar.“Mama, kita punya
anak sudah datang”, kata Pak Wili mengenalkannkukepada istrinya. Kedatanganku
disambut oleh istri dan anak – anak Pak Wili. Inilah keluarga baruku di tanah
rantau, Pak Wili, Mama Ete, Kak Eus, Adik Frid, Naldo, Evi dan Ayu. Mereka
menjadi pengobat rindu sekaligus pengganti keluarga selama berada di
penempatan. Seharian kami habiskan untuk bercerita tengtang keluarga,
lingkungan, agama dan masih banyak lagi. Inilah pertama kalinya aku hidup dan
tinggal dengan keluarga yang berkeyakinan agama berbeda, namun dari keluarga
ini pula aku merasakan tingginya rasa toleransi dan kebaikan terhadap orang
yang baru dikenal. Malam harinya Pak Wili dan keluarga menjamuku dengan
hidangan makan malam serta menyediakan sebuah kamar untuk beristirahat. Satu
hari pertama aku habiskan untuk beristirahat dan bercerita dengan keluarga baru
di rumah.
Keesokan harinya Pak Wili mengajakku untuk berangkat
ke sekolah SDI Weakar. Sekolah yang berjarak 500 meter dari rumah itu kami tempuh
dengan berjalan kaki. Dari kejauhan terlihat sebuah bangunan tembok dengan
putih using karena debu, atap seng yang seakan memancarkan panas matahari dan
lantai keramik yang berdebu. Ada 7 ruang kelas, satu ruang guru dan satu ruang
perpustakaan dengan bendera merah putih yang berkibar di tiang bendera tengah
halamannya. Halamannya berbatas langsung dengan jalan raya lintas selatan dan
banyak pohon rindng di sekelilingnya.
Dengan dibimbing oleh Pak Wili, aku berjalan menuju
halaman sekolah dimana seluruh guru dan siswa berbaris rapi. Selama satu tahun
ke depan, sebagian besar kisah hidupku pengabdian mengajar akan ada mereka di
dalamnya. Seluruh mata menatapku dan kulihat banyak timbul tanya tanya. Ada 13
guru dan sekitar 130 siswa sedang berdiri dan menyatukan jari jemari kedua tangannya
dalam sikap doa.“Setiap pagi kita melakukan ibadah pembukaan secara bersama–sama.
Begitupun sebelum pulang sekolah, kita akhiri kegiatan pembelajaran dengan apel
berdoa bersama. Nanti Bapak bisa bergabung dengan kami, mendampingi anak murid
di belakang”, kata Pak Wili.“Bapak Ibu guru dan teman–teman mari kita berdoa”, kata
seorang anak yang berdiri di depan barisan. Apriani Bano namanya, murid kelas
VI yang berpostur tidak terlalu besar,
berkulit hitam, berhidung mancung dan berambut keriting, pememimpin jalannya
ibadah. Hampir semua muridku memiliki ciri fisik yang sama sepertinya, mungkin
butuh waktu lama untukku dapat menghafal nama mereka.
Perkenalanku pertama dengan seluruh guru dan siswa
dimulai setelah berdoa pagi dilaksanakan. Pak Wili mulai memperkenalkanku
kepada seluruh guru dan siswa, ada seorang anak berjalan ke arahku dengan
membawa selendang dan menyematkannya sebagai tanda penerimaan dan salam selamat
datang dari seluruh warga sekolah. Satu minggu di sekolahan ku gunakan untuk
mengenal semua guru dan siswa, masuk kesetiap kelas untuk mendekatkan diri
kepada siswa dan mengenal mereka lebih dekat. Setiap kelas memiliki keunikan
masing–masing, dari kelas satu yang kurang paham percakapan menggunakan bahasa
Indonesia hingga kelas enam yang dengan cita–citanya yang mengagumkan. Dari
setiap kelas, aku langsung tetarik dengan anak–anak di kelas enam. Perkenalan
dengan siswa kelas enak aku mulai dengan menanyakan cita–cita mereka. “Coba
sebutkan cita–cita kalian setelah besar nanti?” tanyaku. Mereka dengan polosnya
menjawab bercita–cita menjadi polisi, tentara, dokter, suster, guru perawat dan
merantau pergi ke Malaysia. Semangat untuk meraih cita–cita tersebut semakin
membuatku tertarik untuk menemani dan mengantarkan mereka melewati kelas enam
hingga sukses ujian kelulusan.
Rapat pembagian kelas, Pak Wili selaku kepala
sekolah memberikan tugas untukku mengampu pelajaran Ilmu Pengetahuan Soaial di
kelas enam. Pembagian kelas intu sesuai dengan yang ku harapkan. Satu minggu
pertama masuk kelas ku gunakan untuk mengenal siswa, satu persatu mereka maju
mengenalkan dirinya. Dari ke 17 siswa kelas enam hanya 9 anak yang berangkat
sekolah. Dua minggu berlalu kehadiran siswa tidak lebih dari 10 siswa. “Apa
yang menyebabkan kehadiran siswa kelas enam sangat rendah? Padahal sebentar
lagi mereka akan menghadapi ujian kelulusan sekolah”, pertanyaanku dalam hati.
Hari berganti, kesepakatan dengan kelas enam harus
segera dibuat. “Senin Bahasa, Rabu
Berhitung, Kamis Alam, sepulang sekolah,” kataku. “Iya Pak Guru”, sahut semua
siswa.
Minggu berikutnya sepulang sekolah tidak lupa aku
mengingatkan seluruh siswa untuk memulai “Senin Bahasa sepulang sekolah”. Pukul
3 sore tepat aku sudah sampai di depan gerbang sekolah disambut oleh 9 siswa
yang sudah siap dengan buku dan pensilnya. Kemampuan membaca merupakan hal
pertama yang ingin ku ketahui dari setiap siswa. Dengan bermodal sebuat buku
bacaan, satu persatu siswa ku perintahkan untuk membaca satu paragraf secara
keras. Tak kusangka, tenyata masih ada anak yang belum lancar membaca dan hanya
membaca kalimat tanpa memahami isi bacaannya. Empat minggu pertama “Senin
Bahasa” hanya diisi dengan membaca, untuk membiasakan anak pada paragraf
bacaan. Selain itu kebiasaan membaca juga ku terapkan di setiap pagiharinya,
selama sepuluh menit anak–anak bebas memilih buku bacaan di perpustakaan untuk
dibaca di kelas.
Pelaksanaan “Rabu Berhitung” pun tidak jauh beda.
Sepulang sekolah pukul 3 sore anak anak sudah menunggu di sekolah untuk
memulainya. Penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian merupakan dasar
kemampuan berhitung yang menjadi pokok bahasan di pertemuan awal. Tidak jauh
beda dengan membaca, kemampuan berhitung beberapa anak ternyata masih jauh dari
harapan. Terutama untuk kemampuan perkalian dan pembagian, beberapa anak masih
kesulitan untuk melakukan operasi hitung dasar perkalian dan pembagian sampai
seratus. Tabel perkalian dan pembagian satu sampai seratus adalah tugas pertama
yang ku berikan kepada anak – anak untuk menghafalnya.
“Kamis Alam” berbeda dengan Senin Bahasa dan Rabu
berhitung. “Kamis Alam” lebih banyak penyampaian materi dan melihat video
pembelajaran untuk memberikan gambaran terhadap suatu obyek. Siswa yang datang
lebih banyak ku ajak melihat, bertanya, dan berdiskusi untuk memahami suatu
materi.
Satu bulan berlalu kehadiran siswa ke sekolah di
pagi hasi belum menunjukkan peningkatan, rata – rata setiap harinya hanya
sepuluh siswa yang berangkat. Siang itu sepulang sekolah ditemani oleh Ani,
salah satu siswi kelas enam. Kami mengunjungi beberapa siswa yang kurang aktif
berangkat ke sekolah. Panas terik matahari tidak menyurutkan langkahku dan Ani
untuk mendatangi satu persatu rumah siswa. Dari ke 15 dari 17 siswa berhasil ku
temui berserta orang tuanya di rumah masing–masing. Perkenalan diri dan ajakan
ke sekolah merupakan perbincangan yang kulakukan dengan siswa dan orangtuanya.
Beruntung orangtua menunjukkan respon yang positif terhadap kunjungan kami,
mereka menyambut baik karena orangtua ingin anaknya aktif mengikuti kegiatan
sekolah. Anak–anak yang kurang aktif mengikuti pembelajaran lebih disebabkan
oleh kegiatan membantu pekerjaan di kebun, di laut, dan bermain. Ada juga
beberapa anak yang tinggal dengan kakek neneknya karena ditinggal orangtuanya
merantau sehingga kurang mendapatkan perhatian dalam hal pendidikan.
Seminggu pertama setelah kunjungan tersebut anak
anak mulai berangkat sekolah setiap harinya, meskipun belum ketujuh belas anak
berangkat namun hal tersebut menunjukkan meningkatan yang bagus. Begitupun
dengan kehadiran dalam “Senin Bahasa, Rabu Berhitung, dan Kamis Alam”, kehadiran
siswa makin meningkat dan makin antusias untuk mengikutinya. Pada semester
pertama kesepakan “Senin Bahasa, Rabu Berhitung, dan Kamis Alam” kami lalui
dengan belajar keterampilan dasar membaca, menulis, berhitung, dan konsep dasar
Ilmu Pengetahuan Alam.
Menginjak semester kedua, awal minggu pembelajaran
belum dimulai secara efektif. Semua guru dan siswa masih disibukkan dengan
kegiatan bersih bersih lingkungan sekolah. “Bapak, kapan kita mulai lagi Senin
Bahasa, Rabu Berhitung, dan Kamis Alam?” Tanya anak – anak kelas enam yang
sedang berteduh di bawah pohon. Aku tersenyum lega mendengarnya, setelah libur
panjang ternyata anak–anak masih ingat kesepakatan tersebut.
“Senin Bahasa, Rabu Berhitung, Kamis Alam” sepulang
sekolah di semester kedua ini kami isi dengan latihan soal – soal untuk
mempersiapkan ujian kelulusan bulan di Bulan Mei. Seluruh siswa kelas enam
mulai aktif dalam mengikuti “Senin Bahasa, Rabu Berhitung, Kamis Alam”, mereka
berlomba untuk mengerjakan soal yang diberikan, berlomba untuk maju dan
mengerjakan di papan tulis. Keterampilan bahasa, berhitung dan konsep ilmu
pengetahuan alam yang dimiliki siswa kelas enam mulai meningkat, satu bulan
mendekati ujian pun mereka makin semangat untuk menambah porsi latihan soal
baik pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Aku selalu berpesan persiapkan diri kalian dengan baik Nak, ujian nasional tinggal
menghitung hari. Belajar, belajar dan teruslah belajar, jangan lupa selalu
berdoa kepada Tuhan semoga kalian diberi kelancaran dan lulus dengan nilai yang
memuaskan. (Bangun)
Editor : Harnum Kurniawati & Tika Pangesti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar