Oleh : Agung Santika, S.Pd
Berawal dari
iseng-iseng ikut mendaftar SM-3T. Sebenarnya saya tidak begitu tahu seluk beluk
SM-3T itu. Setelah mendaftar baru cari info apa itu SM-3T dengan tanya keteman,
kakak angkatan serta browsing di internet. Mendengar cerita dan baca informasi
tentang guru diperbatasan, saya jadi benar-benar tertarik untuk ikut
mengabdikan diri mendidik anak bangsa yang berada di pelosok negeri.
Tahapan-tahapan
seleksi bisa saya lalui hingga akhirnya diumumkan saya diterima menjadi salah
satu peserta SM-3T Angkatan VI di Universitas Negeri Yogyakarta. Saya langsung
informasikan ke bapak ibu dan sahabat. Bayangan saya, mereka akan ada yang
sedih, terharu bahkan menangis karena saya akan pergi jauh. Tapi ternyata malah
saya yang sedih karena mereka tidak ada satupun yang sedih, mereka malah bilang
“gakpapa hanya 1 tahun, tidak lama kok”. Kan harusnya saya yang bilang itu jika
mereka sedih. Eh ini malah terbalik.
Singkatnya
saya mendapat tempat di Kabupaten Malaka Propinsi Nusa Tenggara Timur. Begitu
tahu di Malaka saya langsung tanya mbah Google tentang seluk beluk Malaka, yang
banyak muncul malah Selat Malaka dan Malaisia. Sedangkan kabupaten malaka hanya
sedikit. Masih cari-cari akhirnya dapat bahwa Kabupaten Malaka baru terbentuk
2013 lalu. Kabupaten ini pemekaran dari Kabupaten Belu yang merupakan
perbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Ternyata SM-3T angkatan kami ini
adalah angkatan pertama yang ditempatkan di Malaka. Jadi kami benar-benar buta
tentang Kabupaten Malaka ini.
Kami
berangkat ke Malaka tanggal 4 September dari bandara Adi Sucipto Yogyakarta.
Rombongan kami terpecah menjadi 2 kelompok keberangkatan. Sebagian menempuh
rute Yogyakarta-Denpasar-Maumere-Kupang.
Selama
di pesawat saya mulai melamun.
“Malaka NTT ya?”
“Hmmmmmmmm”
“Indonesia bagian timur kan kebanyakan
non Muslim dan masih banyak binatang liar.”
“pasti tiap hari bisa makan daging rusa,
babi, ular, buaya dan binatang binatang liar lainnya”
“Pasti enak ini!”
Membayangkan itu semua saya senyum
senyum sendiri di pesawat. Lamunan berakhir saat pesawat sudah sampai di
Kupang. Kami sampai sekitar jam 3 sore. Kami semua sudah ditunggu mobil rental
yang siap mengantar kami ke kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor
Leste itu. Perjalanan menuju Malaka cukup jauh.
Kami sampai di kota
malaka sekitar jam 2 pagi. Kami beristirahat di Hotel. Pagi datang lebih awal,
jam 5 pagi sang surya sudah membangunkan kami untuk segera bersiap melihat
keramaian kota perbatasan ini. Keluar dari hotel kami mencari sarapan dengan
berjalan kaki. Lihat disekitar terlihat kota ini tak seramai kota kabupaten di
Jawa. Ini lebih mirip kota kecamatan jika dibandingkan dengan yang di Jawa
sana.
Pukul 10 pagi kami ada
pertemuan dengan Kepala Dinas PKPO untuk berkoordinasi sebelum pertemuan dengan
Bupati. Di kantornya ini kami dikenalkan tentang jajarannya serta mengenalkan
keadaan di kabupaten yang baru mekar 2 tahun lebih ini. Tepat jam 1 kami
bertemu dengan Bupati beserta Wakil untuk serah terima peserta SM-3T dari
Kemendikbud dan UNY kepada Pemerintah Kabupaten Malaka. Kantor Bupati Malaka masih
meminjam ruangan RS Penyangga Perbatasan Betun karena belum memiliki gedung
pemerintahan sendiri.
Selesai serah terima, langsung
dibacakan satu persatu namanya beserta sekolah yang akan kami tempati. Satu
sekolah hanya ada satu peserta SM-3T. Selesai dibacakan, kepala sekolah sudah
mencari kami untuk diajak pulang ke rumahnya. Saya mendapatkan tempat di SDK
Banheni, Kecamatan Rinhat. Kepala sekolah bernama bapak Lambertus Asa, beliau
akan menjadi orang tua asuh saya selama dipenempatan. Begitu bertemu dengan
bapak Lamber (sapaan bapak Lambertus Asa) saya langsung diajak pulang. Kami
pulang dengan menyewa otto (alat transportasi di sini sejenis mobil bak
terbuka). Perjalanan ke rumah memakan waktu 1,5 jam karena jalan masih sangat
rusak. Banyak jalan aspal yang berlubang dan lebih banyak lagi jalan yang tidak
beraspal, masih tanah dan batu lepas. Selama perjalanan saya sering lihat semak
belukar di kiri kanan jalan. Kembali muncul lamunan saya saat dipesawat. Benar
ini masih banyak hutan, pasti sering berburu dan makan daging.
Sampai di rumah saya
disambut dengan istri bapak Lamber. Saya langsung lihat hp ternyata hanya ada
tulisan “Panggilan Darurat”. Lihat di sekeliling rumah tidak tampak tiang
listrik atau kabel kabel yang melintang. Dalam hati berkata “ini kah keadaan di
perbatasan? Bagai bumi dan langit saat dibandingkan dengan di Jawa”. Saya
bersalaman dengan mama. Mereka hanya tinggal berdua di rumah sederhana ini,
kadang dengan cucunya yang masih kecil. Anak bapak mama semua di kota karena
sudah berkeluarga. Rumah sederhana ini berdindingkan bebak (pelepah pohon sagu).
Di rumah ini kami mulai mengobrol. Saya lebih banyak diam karena masih baru,
jadi belum bisa menemukan topik pembicaraan. Bapak cerita katanya beliau ditelpn
dinas kalau dapat peserta SM-3T tapi berjenis kelamin perempuan. Mendengar
kabar itu mereka mulai bingung harus
bagaimana menghadapi anak perempuan dari Jawa. Setelah tau kalau dapat saya,
mereka semua merasa senang sekali. Selain karena tidak harus ribet mengurus
perempuan. Bapak dan mama juga suka saya karena anak mereka 3 orang perempuan
semua. Ada 1 laki laki tapi sekolah di kota sekarang masih SMP.
Saat makan malam, kami
makan dengan ikan. Tapi yang makan hanya saya sendiri sedangkan bapak tidak.
Terus mama bilang “bapak tidak biasa makan daging, dia hanya makan sayur”.
Mendengar itu saya terdiam sejenak dan bicara dalam hati
“Jadi bapak vegetarian?”
“terus lamunan saya
sata dipesawat dan di otto (dalam bahasa Tetun artinya mobil) sia sia?”
Saya cepat cepat sadar
dan melanjutkan makan tanpa menanggapi perkataan mama tadi. Selesai makan saya langsung
istirahat di kamar. Kamar sudah benar benar dipersiapkan dengan sangat rapi.
Saya terharu karena mereka begitu menyiapkan kedatangan saya. Berbaring di
kasur, saya masih tidak percaya kalau di sini ada yang vegetarian. Bayangan
daging daging yang dikepala terasa mulai menjauh. Sehari hari bukan daging tapi
malah daun ubi, daun pepaya, buah pepaya dan bunga pepaya. Itu menu andalan di sini.
Pagi hari saya bangun
langsung disuruh mandi. Di sini mandi airnya tidak di bak tapi di ember. Sekali
mandi itu 2 jirgen air yang isinya 5 liter. Cukup tidak cukup hanya itu. Maklum
saja karena ini daerah gunung dan saat ini masih musim kemarau. Selesai bersiap
siap dan sarapan kami berangkat ke sekolah. Di sekolah kami sudah disambut oleh
guru yang ramah ramah. Siswa di sini cukup banyak. Menurut data ada 193 siswa.
Setelah perkenalan selesai, kami mulai pembagian tugas mengajar untuk saya.
Saya dapat mengajar matematika kels VI dan kelas V A, B.
Sekolah ini sudah cukup
bagus kalau dilihat dari gedungnya. Karena semua gedung sudah tembok dan lantai
keramik. Meja kursi juga cukup dan masih bagus. Yang kurang adalah bahan ajar
dan bahan bacaan. Belum ada perpustakaan serta tidak ada buku pegangan siswa.
Siswa mendapat ilmu hanya dari guru dan catatan di papan tulis. Itulah sebabnya
masih banyak siswa yang belum bisa membaca bahkan ada kelas V yang belum bisa membaca.
Mereka sulit membaca karena mereka sangat jarang melihat tulisan. Mereka
melihat tulisan hanya dari papan tulis saat guru mengajar, itupun terbatas kosa
katanya. Selain persoalan membaca, siswa juga banyak yang belum mampu berhitung
dengan baik.
Kalau membaca belum
bisa maka mengajar mata pelajaran lain akan sangat sulit. Saya sendiri mendapat
tugas mengajar matematika. Jadi lebih banyak mengajarkan berhitung daripada
membaca. Siswa kelas lima dan eman banyak yang belum lancar penjumlahan dan
pengurangan apalagi perkalian. Jadi saya mengajarkan hal dasar dengan benda
seadanya. Siswa sering saya suruh bawa batu, daun atau lidi untuk belajar
matematika. Beberapa bulan kemudian mereka mulai bisa menguasai penjumlahan
pengurangan dan mulai perkalian. Kalau ada kelas kosong kadang saya masuk untuk
mengajarkan mereka tentang membaca, tapi itu sangat terbatas waktunya jadi
masih ada siswa kelas lima yang belum bisa membaca.
Masyarakat disekitar
sini sangat ramah terhadap saya. Walaupun saya orang baru, mereka tidak merasa
takut atau apatis. Mereka malah welcome sekali. Selama musim panas hampir tiap
hari saya ambil air untuk mama memasak dan untuk mandi di sumber yang jaraknya
sekitar 500 meter dari rumah dengan jalan naik turun. Saya biasa memakai motor
untuk ambil air. Motor diparkir pinggir jalan dan mulai menelusuri jalan
setapak sejauh 100 meter menuju mata air. Biasanya saya bawa 22 jirgen air.
Sampai di mata air ada warga sekitar yang ambil air juga, ada yang mandi atau
mencuci baju. Ini merupakan mata air paling besar dan satu satunya yang masih
bertahan airnya saat musim kemarau. Begitu saya sampai di mata air. Anak anak
langsung membantu menimba air untuk memenuhi jirgen saya ini. Saya mulai
terenyuh, anak-anak ini sudah bawa jirgen sendiri masih mau membantu saya untuk
mengisinya walau tanpa disuruh. Sungguh mulia mereka. Begitu penuh semua
jirgen, saya tidak perlu repot repot membawa 22 jirgen itu ke pinggir jalan.
Mereka semua dengan semangat mengantarkan jergen itu. Ilmumu memang tak
seberapa nak tapi rasa mengabdi kepada gurumu sangat luar biasa.
Dua minggu di sini saya
mulai merasakan jenuh dan berat dengan keadaan tanpa listrik, sinyal bahkan air
ini. Tapi teringat kata Kepala Dinas bahwa “disana orang yang tidak mengenyam
pendidikan saja bisa hidup masak kalian yang menyandang gelar sarjana tidak
bisa hidup?” disitu saya mulai buang jauh jauh keluhan soal tempat ini. Sebulan
di sini akhirnya saya mulai terbiasa. Ternyata tanpa listrik, sinyal dan susah
air juga masih bisa hidup.
Saya suka di sini
karena bisa banyak mendapat pengalaman dan bisa membantu orang lain. Dari dulu
saya punya prinsip “saya suka menjadi orang bermanfaat bukan dimanfaatkan”.
Disekolah guru-guru sering bertanya bagaimana keadaan di Jawa apakah sama
seperti ini atau tidak. Saya hanya bisa menjawab tidak jauh berbeda dengan di
sini bu pak.
Rasa ingin tau guru di
sini sangat tinggi. Misalnya mereka sebenarnya punya laptop tapi belum bisa
menggunakan secara maksimal bahkan jarang digunakan. Saat saya beritahu beberapa
menu di MS Word dan MS Xcel mereka sangat senang sekali dan ingin banyak
belajar. Akhirnya saya mengadakan pelatihan komputer untuk para guru.
Pelatihan komputer ini
sangat bermanfaat dirasakan oleh guru-guru saat akan diadakan akreditasi
sekolah. Yang biasanya semua administrasi ditulis tangan, sekarang bisa diketik
dan diprint. Walau print harus menghidupkan ganset dulu agar listrik bisa
menyala dan itu biaya cukup besar untuk membeli bahan bakarnya.
Budaya di sini
sangatlah dijaga dan penuh makna. Di sini kalau mengobrol tidak boleh
membelakangi orang lain. Jadi duduk atau berdiri ya melingkar. Ini menanamkan
bahwa kita semua sama, tidak ada bedanya. Acara adat dan makan adat juga harus
duduk melingkar dan tidak boleh ada yang makan di belakangnya orang lain.
Ingat lagu “orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman”? di sinilah tanah
surga itu. Di tempat ini kita tancapkan tongkat dan kayu kedalam tanah saja
akan tumbuh rindang. Orang di sini buat pagar rumah atau kebun hanya dengan
tongkat dan kayu. Kayu gamal dan kayu ende namanya. Cukup dengan memotong
batang kayu gamal terus diruncingkan bagian bawah kemudian ditancapkan ke tanah
secara berjajar maka jadilah pagar. Beberapa minggu kemudian batang itu akan
tumbuh akar dan daun baru. Memang Tuhan ini maha adil. Walau Indonesia bagian
timur ini terkenal panas dan gersang tapi tongkat dan kayu ditanam saja bisa
tumbuh. Bangga punya alam seperti ini.
Orang di sini
kebanyakan mata pencahariannya hanya berkebun, pendidikannya rendah tapi mereka
masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat, sopan santun, gotong royong. Kata
kata yang sering saya dengar dari mereka adalah “Kami di sini pak, kami belum
merdeka” kami belum melihat sinar lampu ada di dalam rumah kami ini” entah
kapan kami merdeka”. Mendengar kata kata itu saya hanya bisa menjawab sabar om,
sebentar lagi pasti akan ada listrik di sini. Karena pemerintah sedang berusaha
membangun pembangkit listrik untuk menerangi seluruh Indonesia. Mereka pun
berkata lagi “besok kalau pak guru sudah pulang, tolong kasih tau pak Jokowi
kalau kami juga ingin merasakan tidur ditemani cahaya lampu”.
How to Play Casino: Easy Guide to playing slots on
BalasHapusCasino games are played by 4 players, gri-go.com the average 토토 time they take turns wooricasinos.info is around 14:20. The https://septcasino.com/review/merit-casino/ house is divided into three distinct 1xbet app categories: the house