Translate

Kamis, 03 Agustus 2017

Keberanian Junto Si Anak Putus Sekolah





Oleh : Anggraeni Eka Mustika Dewi
Malaka, Nusa Tenggara Timur menjadi daerah pengabdian selama satu tahun. Menjadi daerah perbatasan tentu memiliki perbedaan dengan daerah lainnya. Salah satu perbedaan yang dapat ditangkap oleh kami sebagai tokoh pendidik adalah dari sisi anak-anak. Dari segi intelektual mereka memang memiliki kekurangan. Anak-anak yang seumuran mereka bisa membaca dengan lancar di sini mereka masih membaca dengan terbata-bata, bahkan ada yang belum bisa membaca sama sekali. Namun dari sisi lain mereka memiliki keunggulan. Keadaan yang membuat mereka memiliki tingkat kedewasaan yang lebih tinggi. Ilmu hidup yang mereka miliki jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak seumuran mereka pada umumnya. Tingkat perekonomian yang rendah  sebagai akibat dari beberapa hal menjadi alasan kedewasaan mereka jauh lebih tinggi.
Juntonius Bien, anak dari marga Bien ini lahir di keluarga kurang mampu. Orang tuanya telah tiada. Dia tinggal bersama dengan kakak perempuannya yang sudah berkeluarga. Junto, begitulah orang memanggilnya sehari-hari. Dia siswa kelas V, kebetulan saya menjadi wali kelasnya.  Pertama saya bertemu dengannya tidak ada yang istimewa, dia seperti anak normal pada umumnya. Hanya ada satu perbedaan yang saya tangkap ketika pertama kali saya melihatnya, yaitu dia mudah terpancing emosi jika ada teman yang menggodanya. Tingkat kemampuan intelektualnya sama seperti teman sebayanya di sini. Selama satu semester proses pembelajaran berlangsung Junto mengikuti pembelajaran dengan baik. Namun ketika masuk semester baru saya mulai memyadari kalau Junto jarang sekali masuk sekolah. Bahkan saat akhir tahun pelajaran dia tidak hadir sama sekali. Ketika saya bertanya kepada teman-temannya kenapa dia tidak masuk sekolah? teman-teman sekolahnya menjawab bahwa dia hanya bermain saja di rumah. Oleh karena itu saya menarik kesimpulan begitu saja kalau dia sudah tidak ingin pergi sekolah kembali. Sebelum saya sempat bertanya langsung pada Junto
Suatu kejadian pun terjadi di sekolah yang menggegerkan semua warga satu desa. Terdapat beberapa tulisan yang tidak pantas yang ditulis oleh orang yang tidak bertanggung jawab di papan tulis. Hal itu membuat para warga sekolah menjadi sangat geram. Dalam tulisan yang tidak sopan tersebut tertulis beberapa nama siswa dimana salah satu nama yang disebut adalah Junto. Semua orang marah dan menduga bahwa Junto adalah pelaku dari penulisan tidak senonoh tersebut.
Sehari setelah kejadian itu sosok Junto tiba-tiba hadir di sekolah. Dia hanya  berdiri di luar gerbang sekolah. Teman-teman sekelasnya kemudian memberi tahu saya agar mau membujuknya masuk ke dalam sekolah. Tiba-tiba hati saya tergetar melihat sosok Junto di luar pagar sekolah. Hati saya tergetar melihat keberaniannya. Dia datang ke sekolah seorang diri tanpa takut. Sebenarnya saya masih agak ragu maksud dari kedatangan Junto di sekolah. Apakah dia mengetahui peristiwa yang telah terjadi sehingga dia datang ke sekolah? Darimana dia mengetahuinya? Apakah tujuannya datang ke sekolah? Itulah yang ada di benak saya ketika saya menjemputnya di pagar sekolah. Kemudian saya datang menuju Junto berbicara kepadanya dan meyakinkannya agar dia mau masuk ke sekolah. Ketika saya berbicara dengannya tiba-tiba dia mengatakan “Bukan saya pelakunya Ibu, saya berani bersumpah”. Itu semua sudah cukup menjawab semua pertanyaan saya tadi. Dia berbicara kepada saya dengan mata berkaca-kaca. Saya kemudian bekata kepadanya “Ibu percaya kepada Junto”. Saya merangkulnya menuju ke dalam sekolah.
Kebanyakan anak-anak memandang sinis kepada Junto. Mereka seolah-olah sudah memastikan bahwa Junto memang menjadi pelakunya. Tetapi untungnya teman-teman sekelasnya tetap mau mendukungnya. Mereka berjalan di sisi Junto sambil berbicara dalam bahasa daerah sini. Saya tidak terlalu tahu bahasa daerah sini, sedikit yang saya tangkap adalah mereka berkata “Kalau kamu bukan pelakunya jangan takut”. Melihat hal ini hati saya kembali bergetar. Selama ini yang saya lihat ketika mereka bermain bersama mereka saling ejek. Bahkan tidak jarang mereka sampai bertengkar dan saling pukul. Tetapi hari ini saya melihat sisi lain dari persahabatan mereka. Apapun yang terjadi mereka akan saling menyemangati dan mendukung satu sama lain, jika ada salah seorang dari mereka membutuhkan bantuan.
Setelah masuk ke sekolah beberapa guru mengintrogasinya tentang kebenaran kejadian yang telah terjadi. Saya melihat wajahnya ketika guru bertanya padanya. Saya melihat kejujuran dari matanya bahwa dia bukanlah  pelaku yang melakukannya. Berkali-kali guru bertanya dia menjawab hal yang sama bahwa dia bukanlah pelakunya. Dia mengatakan bahwa ketika kejadian berlangsung dia sama sekali tidak pernah datang di sekolah. Kalau kita logika hal itu memanglah benar. Dia sudah lama tidak datang di sekolah, untuk apa dia ke sekolah. Tentu dia akan sangat malu jika bertemu dengan salah seorang guru dan ditanya kenapa dia tidak datang ke sekolah lagi. Dan apakah seorang pelaku akan menulis namanya sendiri setelah dia melakukan perbuatan tidak baik? Hal itu sangat tidak masuk akal.
Bagi saya keberanian yang dia miliki untuk datang sekolah sudah cukup membuktikan bahwa dialah bukan pelaku yang sesungguhnya. Bagi orang dewasapun belum tentu mereka memiliki keberanian yang sama jika mereka mendapat masalah yang sama. Hati saya benar-benar tergetar dengan keberanian yang dia miliki. Beberapa guru memberikan nasihat kepada Junto agar mau berangkat sekolah kembali. Setelah itu saya berbicara dua mata dengan Junto. Saya ingin memastikan bahwa dia akan berangkat sekolah kembali. Ketika saya berbincang-bincang dengannya ada satu pertanyaannya yang tidak dapat saya lupakan. “Ibu apakah saya masih boleh bersekolah dan menjadi seorang polisi?”. Bentuk pertanyaan sederhana namun memiliki banyak arti. Tentang keterbatasan dan mimpi yang sama-sama harus diperjuangkan. “Tentu boleh dan pasti kamu bisa”, itulah jawaban saya. Setelah berbincang dengan Junto langsung saya baru tahu alasan mengapa dia tidak berangkat sekolah kembali adalah dia membantu kakaknya bekerja. Dia tidak punya biaya untuk membayar sekolah sehingga dia tidak mau berangkat sekolah. Sampai tulisan ini saya tulis pelaku sebenarnya yang membuat tulisan tersebut belum terungkap. Tetapi saya yakin bukan Junto lah pelakunya. Akhirnya pihak sekolah memberikan keringanan pada Junto dengan tidak perlu membayar biaya sekolah kembali. Tetapi untuk kali ini dia tidak bisa naik kelas karena dia tertinggal banyak sekali pelajaran. Dia mengatakan hal itu tidak masalah asalkan dia masih bisa belajar. Itulah Junto, seorang anak Timor yang besar tanpa kedua orang tuanya namun dia memiliki kepribadian yang sangat luar biasa. 
Editor : Harnum & Agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar