Oleh : Anggraeni Eka Mustika Dewi
Malaka, Nusa Tenggara
Timur menjadi daerah pengabdian selama satu tahun. Menjadi daerah perbatasan
tentu memiliki perbedaan dengan daerah lainnya. Salah satu perbedaan yang dapat
ditangkap oleh kami sebagai tokoh pendidik adalah dari sisi anak-anak. Dari
segi intelektual mereka memang memiliki kekurangan. Anak-anak yang seumuran
mereka bisa membaca dengan lancar di sini mereka masih membaca dengan
terbata-bata, bahkan ada yang belum bisa membaca sama sekali. Namun dari sisi
lain mereka memiliki keunggulan. Keadaan yang membuat mereka memiliki tingkat
kedewasaan yang lebih tinggi. Ilmu hidup yang mereka miliki jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak seumuran mereka pada umumnya. Tingkat
perekonomian yang rendah sebagai akibat
dari beberapa hal menjadi alasan kedewasaan mereka jauh lebih tinggi.
Juntonius Bien, anak
dari marga Bien ini lahir di keluarga kurang mampu. Orang tuanya telah tiada.
Dia tinggal bersama dengan kakak perempuannya yang sudah berkeluarga. Junto,
begitulah orang memanggilnya sehari-hari. Dia siswa kelas
V, kebetulan saya menjadi wali kelasnya.
Pertama saya bertemu dengannya tidak ada yang istimewa, dia seperti anak
normal pada umumnya. Hanya ada satu perbedaan yang saya tangkap ketika pertama
kali saya melihatnya, yaitu dia mudah terpancing emosi jika ada teman yang
menggodanya. Tingkat kemampuan intelektualnya sama seperti teman sebayanya di sini. Selama satu semester
proses pembelajaran berlangsung Junto mengikuti pembelajaran dengan baik. Namun
ketika masuk semester baru saya mulai memyadari kalau Junto jarang sekali masuk
sekolah. Bahkan saat akhir tahun pelajaran dia tidak hadir sama sekali. Ketika
saya bertanya kepada teman-temannya kenapa dia tidak masuk sekolah? teman-teman sekolahnya
menjawab bahwa dia hanya bermain saja di rumah. Oleh karena itu saya menarik
kesimpulan begitu saja kalau dia sudah tidak ingin pergi sekolah kembali.
Sebelum saya sempat bertanya langsung pada Junto
Suatu
kejadian pun terjadi di sekolah yang menggegerkan semua warga satu desa.
Terdapat beberapa tulisan yang tidak pantas yang ditulis oleh orang yang tidak
bertanggung jawab di papan tulis. Hal itu membuat para warga sekolah menjadi
sangat geram. Dalam tulisan yang tidak sopan tersebut tertulis beberapa nama
siswa dimana salah satu nama yang disebut adalah Junto. Semua orang marah dan
menduga bahwa Junto adalah pelaku dari penulisan tidak senonoh tersebut.
Sehari setelah kejadian
itu sosok Junto tiba-tiba hadir di sekolah. Dia hanya berdiri di luar gerbang sekolah. Teman-teman
sekelasnya kemudian memberi tahu saya agar mau membujuknya masuk ke dalam
sekolah. Tiba-tiba hati saya tergetar
melihat sosok Junto di luar pagar sekolah. Hati saya tergetar melihat
keberaniannya. Dia datang ke sekolah seorang diri tanpa takut. Sebenarnya saya
masih agak ragu maksud dari kedatangan Junto di sekolah. Apakah dia mengetahui
peristiwa yang telah terjadi sehingga dia datang ke sekolah? Darimana dia
mengetahuinya? Apakah tujuannya datang ke sekolah? Itulah yang ada di benak saya
ketika saya menjemputnya di pagar sekolah. Kemudian
saya datang menuju Junto berbicara kepadanya dan meyakinkannya agar dia mau
masuk ke sekolah. Ketika saya
berbicara dengannya tiba-tiba dia mengatakan “Bukan saya pelakunya Ibu, saya
berani bersumpah”. Itu semua sudah cukup menjawab semua pertanyaan saya tadi.
Dia berbicara kepada saya dengan mata berkaca-kaca. Saya kemudian bekata
kepadanya “Ibu percaya kepada Junto”. Saya merangkulnya menuju ke dalam
sekolah.
Kebanyakan
anak-anak memandang sinis kepada Junto. Mereka seolah-olah sudah memastikan
bahwa Junto memang menjadi pelakunya. Tetapi untungnya teman-teman sekelasnya
tetap mau mendukungnya. Mereka berjalan di sisi Junto sambil berbicara dalam
bahasa daerah sini. Saya tidak terlalu tahu bahasa daerah sini, sedikit yang
saya tangkap adalah mereka berkata “Kalau kamu bukan pelakunya jangan takut”. Melihat
hal ini hati saya kembali bergetar. Selama ini yang saya lihat ketika mereka
bermain bersama mereka saling ejek. Bahkan tidak jarang mereka sampai bertengkar
dan saling pukul. Tetapi hari ini saya melihat sisi lain dari persahabatan
mereka. Apapun yang terjadi mereka akan saling menyemangati dan mendukung satu
sama lain, jika ada salah seorang dari mereka membutuhkan bantuan.
Setelah masuk
ke sekolah beberapa guru mengintrogasinya tentang kebenaran kejadian yang telah
terjadi. Saya melihat wajahnya ketika guru bertanya
padanya. Saya melihat kejujuran dari matanya bahwa dia bukanlah pelaku
yang melakukannya. Berkali-kali guru
bertanya dia menjawab hal yang sama bahwa dia bukanlah pelakunya. Dia
mengatakan bahwa ketika kejadian berlangsung dia sama sekali tidak pernah
datang di sekolah. Kalau kita logika hal itu memanglah benar. Dia sudah lama
tidak datang di sekolah, untuk apa dia ke sekolah. Tentu dia akan sangat malu
jika bertemu dengan salah seorang guru dan ditanya kenapa dia tidak datang ke
sekolah lagi. Dan apakah seorang pelaku akan menulis namanya sendiri setelah
dia melakukan perbuatan tidak baik? Hal itu sangat tidak masuk akal.
Bagi saya keberanian
yang dia miliki untuk datang sekolah sudah cukup membuktikan bahwa dialah bukan
pelaku yang sesungguhnya. Bagi orang dewasapun belum tentu mereka memiliki
keberanian yang sama jika mereka mendapat masalah yang sama. Hati saya
benar-benar tergetar dengan keberanian yang dia miliki. Beberapa guru
memberikan nasihat kepada Junto agar mau berangkat sekolah kembali. Setelah itu saya berbicara dua mata dengan Junto. Saya ingin
memastikan bahwa dia akan berangkat sekolah kembali. Ketika saya
berbincang-bincang dengannya ada satu pertanyaannya yang tidak dapat saya
lupakan. “Ibu apakah saya masih boleh bersekolah dan menjadi seorang polisi?”.
Bentuk pertanyaan sederhana namun memiliki banyak arti. Tentang keterbatasan
dan mimpi yang sama-sama harus diperjuangkan. “Tentu boleh dan pasti kamu
bisa”, itulah jawaban saya. Setelah berbincang dengan Junto langsung saya baru
tahu alasan mengapa dia tidak berangkat sekolah kembali adalah dia membantu
kakaknya bekerja. Dia tidak punya biaya untuk
membayar sekolah sehingga dia tidak mau berangkat sekolah. Sampai tulisan ini
saya tulis pelaku sebenarnya yang membuat tulisan tersebut belum terungkap.
Tetapi saya yakin bukan Junto lah pelakunya. Akhirnya pihak sekolah memberikan
keringanan pada Junto dengan tidak perlu membayar biaya sekolah kembali. Tetapi
untuk kali ini dia tidak bisa naik kelas karena dia tertinggal banyak sekali
pelajaran. Dia mengatakan hal itu tidak masalah asalkan dia masih bisa belajar.
Itulah Junto, seorang anak Timor yang besar tanpa kedua orang tuanya namun dia
memiliki kepribadian yang sangat luar biasa.
Editor : Harnum & Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar