Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

Dikala Turun Hujan Banjir pun Datang




Selasa pagi, hujan baru saja berhenti. Pada 2 Mei 2017 bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional dan peringatan satu bulan setelah pengalaman banjir yang telah menimpa aku dan warga kampung Sukabilulik. Daerah di mana aku mendapat pelajaran dan menjadi seorang  pengajar Sarjana Mengajar Terdepan Terluar Tertinggal atau sering disebut SM3T. SM3T adalah program besutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang memiliki tagline "Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI)".

Pada 5 September 2016 masih terngiang dalam ingatan saat aku pertama kali menginjakkan kaki di "Bumi Cendana" ini. Karena masih memasuki musim kemarau, suasana kampung masih terasa panas menyengat dengan suhu 30 derajat Celcius. Cuaca itu saya tahu dari aplikasi di telepon pintar. Alhamdulilah daerah di mana aku akan tinggal selama satu tahun ini sudah teraliri listrik dan juga sinyal telepon seluler, meskipun untuk sinyal internet kadang timbul tenggelam, artinya terkadang ada namun banyak hilangnya. Kalau air jangan ditanya karena cerita yang saya dapatkan dari camat yang menjemputku, bahwa setiap tahun Kampung Sukabilulik langganan banjir dan itulah kampung dimana aku akan mengabdikan satu tahun hidup ku.

Sedikit cerita 5 September 2016, aku dan 52 kawan SM3T disebar di semua kecamatan di Kabupaten Malaka. Aku satu- satunya guru SM3T penempatan Kecamatan Malaka Barat, di SD Katolik Sukabilulik. Tepatnya di Desa Oanmane, desa paling ujung yang masyarakatnya mengandalkan air konsumsi dari Sungai Benanain. Sungai yang juga meluapkan airnya ke kampung sehingga setiap sudut kampung terbanjiri jika hujan datang. Sungai yang terhubung dari Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), Timur Tengah Utara (TTU), Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka sampai ke negara tetangga, Republic Democratice of Timor Leste (RDTL). Meskipun di Malaka tidak turun hujan, jika hujan di TTU atau di TTS maka air sungai meluap dan dampaknya pasti banjir di Malaka. Begitu setiap tahunnya.

Satu hari setelah kedatanganku, aku dijemput oleh Camat Malaka di kantor bupati untuk diantarkan ke rumah kepala sekolah. Namun, karena rumah kepala sekolah yang akan menjadi orangtua asuhku di sini jauh, aku diantarkan ke rumah seorang guru yang juga mengajar di SD penempatanku itu. Ya di sinilah kali pertama aku bertemu dengan keluarga besar Bapak Titus dan Mama Densi. Keluargaku selama satu tahun di sini. Eh bukan namun keluargaku selamanya.

Sebelum bercerita tentang pengalaman pertamaku menjadi korban banjir. Aku ceritakan dulu tentang keluarga besarku. Ya, aku tinggal dengan orangtua asuhku yang mempunyai tujuh anak. Membayangkannya pasti seru punya banyak saudara. Karena kenyataanya aku hanya punya satu saudara kandung. Eits, tambah aku jadi delapan. Ya karena aku yang tertua jadi aku tiba- tiba jadi anak pertama mereka.

Anak pertama namanya Kakak Dina. Dia masih duduk di bangku kuliah. Mengambil jurusan ilmu manajemen di Kabupaten TTU. Kakak Dina jarang pulang. Kadang sebulan sekali baru pulang atau jika ada libur semester atau libur hari perayaan. Kakak adalah sebutanku untuk menghargai perempuan atau laki-laki di sini. Dia juga yang rela kamarnya aku tinggali selama satu tahun.

“Kakak Ibu tinggal di kamar Kakak Dina dulu, karena Kakak Dina masih kuliah,” kata Mama.

Kakak ibu adalah sebutan bagi diriku. Kakak yang maksudnya aku masih muda. Ibu karena aku seorang ibu guru dan itu menjadi suatu kehormatan bagiku.

Kakak yang kedua adalah Kakak Sari. Kakak Sari menjadi kebanggaan keluarga karena dia menjadi suster. Aku berada di sebuah kampung yang mayoritas warganya Katolik. Keluargaku adalah salah satu dari keluarga yang taat menjalankan agama. Meski demikian, keluargaku juga sangat toleransi dengan aku. Sungguh bahagianya aku mendapatkan keluarga baru seperti mereka. Aku pernah bertemu dua kali saat Kakak Sari pulang untuk mengurus berkas-berkas keberangkatanya ke Filipina.

Lala adalah anak nomor tiga. Saat masih bayi dia diasuh oleh kakak tertua mama karena suatu hal. Jadi Lala ini jarang di rumah, namun kalau libur ataupun ada kepentingan, dia akan tidur dirumah. Dia juga yang sering membantu aku memasak dan menyiapkan makan.

Anak yang keempat  adalah Dios. Sering dipanggil Bouk. Bouk adalah panggilan seorang anak laki-laki dalam bahasa Tetun. Bouk masih berada di bangku kelas dua SMP. Bouk adalah tipe anak laki-laki desa yang bertanggung jawab. Contohnya dari cara dia memelihara ternak sapinya. Dia mempunyai seekor sapi yang selalu dia beri makan. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dia cari rumput terlebih dahulu untuk sapinya.

Estin adalah adikku yang nomor lima, juga muridku di sekolah. Dia yang paling atraktif dan dekat denganku. Karena dia kelas enam jadi setiap ada kegiatan ataupun acara-acara perlombaan menari adat aku pergi bersamanya dan dengan murid kelas enam lainnya. Kita juga sering "pi" (pergi) mengambil air bersama. Dia juga yang selalu memanggilku untuk makan jika aku masih berada di kamar.

“Kakak Ibu 'hemulai' (Bahasa Tetun, 'Mari makan dulu', red.)” kata Esti sembari berada di depan kamarku yang tertutup korden.

Adikku yang enam adalah Iki, duduk di bangku kelas empat SD. Iki adalah adik yang pendiam. Mama sering sekali cerita tentang Iki yang jarang sekali makan. Kata mama, “Iki ini kalau kita tidak panggil dia untuk makan dia tidak akan datang makan. Dia hanya duduk diam-diam 'sa' (saja, red.)”.

Yang terakhir adalah adik kecil yang masih berumur 5 tahun, Ica. Dia yang paling suka tertawa bersama denganku. Entah apapun dia suka tertawa dengan lebar. Saat aku pergi ke kota untuk mencari sinyal internet agar bisa "video call" dengan keluarga kandungku. Aku pasti membawakan oleh-oleh untuknya, entah itu sekadar biskuit.

Masih ada nenek dan kakek di rumah ini. Nenek yang selalu menegur adik-adik jika aku sedang melakukan shalat. Nenek pasti bilang kepada adik-adik untuk diam. Ya di kampung ini aku satu- satunya warga muslim disini.

"Hei diam dulu Kakak Ibu ada 'pi' doa itu, kalian duduk diam-diam e," begitu nenek  berbicara kepada adik-adikku dengan dialek Timor. 

Ia juga yang suka berbicara memakai bahasa Tetun yang kadang saya tidak tahu artinya. Pernah suatu ketika, nenek menyuruhku untuk makan pisang rebus dengan sambal buatanku.

"'Hemu hudik' dengan sambal e kakak Ibu," katanya. Tiba-tiba nenek tertawa karena muka saya memberikan wajah polos yang tidak tahu apa-apa.

Juga kakek yang selalu mendoakanku saat dia mau tidur. Pernah saat kakek sakit, dia tiba-tiba lupa namaku dan bertanya pada nenek.

Dalam bahasa Tetun, bahasa daerah di sini, namaku menjadi Bete Morin . Bete adalah panggilan untuk wanita dan Morin artinya harum. Mungkin agar lebih mudah diingat jadi "Harnum" digantinya dengan "harum".

“Kakak Ibu ini sudah dianggap seperti cucu sendiri, jadi setiap kakek tidur, kakek juga selalu sebut nama Kakak Ibu,” terang kakek kepadaku.

Yaps! Inilah keluargaku di Kampung Sukabilulik selama satu tahun. Eh, bukan bukan. Maksudku sampai seumur hidupku! Kelak, ketika selesai masa tugasku, mama, bapak, kakek, nenek akan tetap menjadi keluargaku dan adik-adik juga akan tetap menjadi adik-adikku.

Satu bulan berlalu aku masih melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar. Ya keseharianku adalah bangun pagi, membantu mama untuk menyapu, mencuci piring juga menimba air untuk mandi dan kakus sebelum akhirnya aku berangkat bersama dengan mama dan juga ketiga adik-adikku.

Air mandi dan kakus bisa ditimba dari sumur di rumah kami. Namun untuk konsumsi memang semua warga kampung masih harus mengambilnya di Sungai Benanain.  Karena kepercayaan orang sini jika orang baru atau pendatang jangan pergi ke kali sendirian, takut hanyut. Juga karena masih banyaknya buaya di sungai itu.


“Kakak Ibu mau 'pi' lihat kali ko? Biar adik-adik yang antar e jangan sendirian, takut buaya makan,” kata mama.

Setelah musim kemarau pasti pergantian musim hujan. Tepatnya pada Januari hujan datang musim tanam pun telah tiba. Para mama dan bapak di sini mengandalkan pertanian untuk menyambung hidup mereka. Mereka pergi "tofa" (membersihkan kebun) untuk kemudian ditanami padi atau sayur-mayur.

Sedikit "flash back". Sebelum keberangkatanku ke Malaka, aku mencoba mencari informasi di internet dan semua yang berkaitan dengan Malaka. Yang aku temukan adalah daerah banjir. Ya, faktanya sekarang aku berada di daerah bencana banjir.

Tepat setelah uji coba Ujian Nasional kedua berakhir, hujan semalaman  mengguyur daerah Malaka dan TTU. Udara dingin merasuk tulang ditemani lampu temaram karena listrik pun ikut padam selama dua hari. Banjir pun datang sekitar pukul 10.00 Wita. 


Bagi masyarakat desa, banjir bukan suatu barang baru. Namun, aku yang baru merasakan secara langsung banjir besar seperti ini sempat waswas kalau air terus naik dan menggenangi rumah tempat tinggalku. Kecemasan itu pun semakin menjadi saat air ternyata masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang dan depan rumah.

Seketika aku langsung mengemasi barang-barangku. Hanya butuh waktu sebentar saja air sudah masuk dan menggenang setiap sudut ruangan. Sampai ke dalam kamarku dan masuk juga melalui jendela kamarku. Ya sebagai warga di sini, aku juga harus siap menjadi korban bencana banjir.

Namun, warga lain tak seberuntung diriku. Beberapa rumah yang ada di dekat hilir Sungai Benanain terendam sampai setinggi leher orang dewasa. Ada yang tetap tinggal di rumah dan naik ke atas loteng ada banyak juga yang mengungsi. Ada yang bisa menyelamatkan barang-barangnya, ada juga yang mengikhlaskanya tenggelam bersama banjir.


Aku pun bersama mama, adik-adik, nenek, dan kakek juga mengungsi ke rumah saudara. Masih dekat dengan rumah tinggalku, namun karena rumah adik dari mama ini tergolong daerah agak tinggi, jadi kami semua mengungsi ke sana. Hanya bapak yang tinggal di rumah untuk sekadar berjaga-jaga.

Aku pun teringat kembali pelatihan yang diberikan panitia LPTK UNY. Ya itu adalah pelatihan penyebrangan basah yang di berikan kepada 500 calon SM-3T sebelum akhirnya ditempatkan di masing- masing daerah 3T. Itu bekal yang bisa aku aplikasikan saat aku mengungsi untuk melewati arus deras.

Nasib sekolah pun tak ketinggalan dari hantaman air banjir dan lumpur.  Dari enam ruang kelas sampai kantor, semua terendam. Padahal bangunan sekolah ini sengaja dibuat tinggi dua meter supaya jika banjir, air tak menyentuh lantai sekolah.


Namun banjir yang terjadi kali ini memang dasyat. Masyarakat bilang banjir kali ini seperti banjir pada 2000 yang menewaskan banyak orang. Jembatan penghubung Sungai Benanain yang berada di Haitimuk, Kecamatan Malaka Tengah pun runtuh.

Hari Senin, 3 April 2017 setelah banjir surut, saya dan keluarga kerja bakti di rumah kami terlebih dahulu. Semua bahu membahu sampai tante dan om juga ikut membantu di rumah. Hebatnya, meskipun banjir, mereka tetap tidak memikirkan nasib diri sendiri. Untuk urusan makan dan minum pun tetangga saling gotong royong agar bisa makan bersama.

Terbayang bukan bagaimana kebersamaan orang desa. Aku juga terheran-heran saat tiba-tiba nasi panas mengepul dengan potongan daging ayam, juga sayur daun ketela tersaji.

Semua berkumpul dan makan bersama. Dan tak ketinggalan juga teh panas. Sungguh terharu sekali merasakan kenikmatan ini. Meskipun menjadi korban bencana, masyarakat tetap mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan hidup.


Kembali ke masalah sekolah. Setelah banjir surut, aku dan mama yang telah dilantik menjadi kepala sekolah menggantikan pejabat yang lama karena pensiun, pergi ke sekolah. Kami berangkat dengan membawa "alat tempur" membersihkan sekolah. Semua siswa mulai dari kelas bawah sampai atas juga membawa peralatan, seperti ember, sapu, sikat, gayung, dari rumah masing-masing untuk membersihkan kelas yang menyisakan lumpur.

Peristiwa ini tak bisa dilewatkan. Tipikal anak-anak yang memang suka bermain pun tampak. Sesekali mereka membersihkan lumpur dari kelas mereka dan sekaligus juga bermain cipratan air atau sekadar pura-pura menjatuhkan diri di kubangan lumpur. Jadi setelah bekerja bakti, tidak ada satu pun siswa yang pulang dengan baju kering. Tidak ada rasa lelah, juga terpancar dalam diri mereka saat itu.

Suatu kekuatan tiba-tiba datang sekejap melihat semangat itu dari anak- anak. Bersyukur melihat semangat mereka, bahkan setelah mereka bekerja di rumah dan di sekolah pascabanjir. Aku tidak menyangkal, memang baru pertama kali merasakan menjadi korban bencana banjir. Peristiwa itu, sekejap menghentikan nadi sekolah anak-anak dan kegiatan berkebun warga.


Salah satu akses jalan satu- satunya untuk menuju penempatan setelah terendam banjir dan lumpur. Jika hujan terus datang melewatinya bisa menjadi suatu hal yang sangat melelahkan.

Banjir tak hanya melanda desa penempatanku. Desa yang berbatasan langsung dengan Sungai Benanain juga lebih parah. Akses satu-satunya jika masyarakat desaku pergi ke kota juga terkena banjir. Sampai aku menuliskan cerita ini, lumpur dan air masih menggenangi desa. Jika hujan kembali datang, otomatis warga desa penempatanku tak bisa pergi ke mana-mana, karena akses utama jalan hanya satu.

Tiga hari setelah banjir besar itu, aku jatuh sakit. Aku harus menumpang mobil sport milik kepala dinas yang kebetulan adalah kakak dari mamaku. Karena tidak ada yang bisa menerjang jalan itu, kecuali dengan menggunakan kendaraan sport. Saat di kota, akupun menyempatkan mencari berita tentang banjir yang melanda Sungai Benanain.

Berikut adalah cuplikan berita yang saya baca di internet: Banjir bandang Benenain kembali menghantam tiga desa di Malaka Barat, Desa Sikun, Oan Mane, dan Motaain.

Banjir dikabarkan turun menggenangi rumah warga, Sabtu, dengan ketinggian air satu meter. Sumber jebolnya untuk Desa Sikun dan Oan Mane di Toos Kiar Desa Sikun dan hingga berita ini diterbitkan belum ada penanganan darurat guna menutup titik-titik tanggul yang jebol.

Sementara di Motaain, titik jebolnya di jembatan kali mati lalu menggenangi lima dusun di desa itu.

Hal itu disampaikan Kades Sikun Yeremias Nahak dan Kades Motaain Salomon Leki  secara terpisah melalui telepon selulernya.

“Kita berharap pemerintah melalui Dinas PU Malaka bisa melakukan penutupan beberapa titik jebol di wilayah Lakulo Toos Kiar untuk menahan lajunya banjir bandang. Kalau beberapa titik ini ditutup maka bisa menyelamatkan warga desa Sikun dan Oan Mane. Sampai saat ini Dinas PU belum datang melakukan penanganan darurat dan kita berharap dalam waktu dekat pemerintah bisa melakukan tindakan darurat guna menutup titik yang jebol akibat banjir,” katanya.

Kepala Desa Oan Mane Lukas Leky mengatakan hal yang sama, “Kalau Sikun banjir otomatis kami (warga Oan Mane, red.) terima bersih. Jadi harapan kita sama supaya para pemangku kepentingan segera melakukan penutupan pada titik yang jebol di Lakulo Toos Kiar di wilayah Sikun sebagai sumber datangnya banjir,” katanya.

Kades Motaain Salomon Leki kepada wartawan mengatakan banjir bandang menggenangi lima dusun di Desa Motaain dengan ketinggian satu meter lebih. Sumber jebolnya pada titik jembatan kali mati sebelum memasuki Desa Motaain.

"Kita berharap ada tanggul darurat guna menahan lajunya air memasuki wilayah perkampungan. Kita berharap Dinas PU segera turun tangan ke lapangan melihat dari dekat persoalan banjir guna mendapatkan penangan darurat," katanya.

“Kalau Motaain mau aman banjir bandang maka perlu dibuatkan tanggul penahan atau beronjong mulai dari kali mati menuju laut kurang lebih 2 km. Tetapi secara teknis Dinas PU lebih paham,” katanya. (Radar Malaka.com).

Banyak kerugian memang datang  saat banjir, di mana para petani mengeluhkan tentang kegagalan panennya, juga terhentinya aktivitas sekolah. Perlu adanya kajian lagi mengapa semakin tahun banjir semakin besar. Besar kemungkinan karena tanggul penahan Sungai Benanain masih perlu diperbaiki, seperti yang telah dikeluhkan para kepala desa bukan?

Bagaimanapun banjir memberikan kesan tersendiri di hati ku. Bapak Titus selalu bilang kepadaku mengenai cerita banjir yang dilihat di televisi. Dia selalu antusias saat menceritakan banjir yang selalu diberitakan itu. Namun aku hanya bisa sebagai pendengar karena aku juga belum pernah merasakannya.


Mungkin apa yang bapak lihat adalah berita banjir yang terjadi di Jakarta. Meskipun aku juga belum pernah merasakan banjir di Jakarta, aku yakin bencana banjir di Jakarta dan di kampung kecil di pedalaman daerah timur Indonesia ini berbeda.

Banjir di sini justru mengundang kebahagiaan, keceriaan, dan gelak tawa bagi anak-anak. Untukku, banjir telah membuat suatu pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan. Tetap berjuang meski dengan keterbatasan. Ya, selalu ada hikmah di setiap peristiwa. Aku percaya itu! (nia)

 Editor : Harnum Kurniawati & Agung Santika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar