Translate

Sabtu, 12 Agustus 2017

GURU TAPAL BATAS PEJUANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI TANAH SAHABAT




Oleh : Dwi Anik Maritasari
Keluar dari zona nyaman
Perkenalkan, namaku Dwi Anik Maritasari. Aku lebih akrab dipanggil Ibu Guru Anik. Berpisah terpaut ratusan kilometer dengan keluarga sebenarnya menyesakkan  juga, menimbang usiaku yang terbilang masih sangat muda yakni 21 tahun untuk mengabdikan diri di daerah 3T (Terdepan, terluar, Tertinggal). Bagiku ada panggilan bagi jiwa muda ini. Panggilan ini kurasakan sejak pertama kali kudengar adanya program ini, mungkin aku sudah jatuh cinta sejak awal aku menjadi seorang mahasiswi. Pengabdianku di tapal batas ini kuharap dapat bermanfaat bagi anak didikku dalam meniti hidupnya kelak. Takdir mengiringku untuk menjadi salah satu penerima beasiswa Bidik Misi Tahun Angkatan 2012. Aku sadar ini berkat doa tulus orangtuaku sehingga jalanku dipermudah oleh Alloh, dalam hati nuraniku mulai berjanji pada diriku sendiri “Aku adalah anak orangtua aku dan anak negara. Negara yang membiayaiku sampai aku sarjana kelak. Aku akan mengabdikan diri pada bumi pertiwi ini. Anak-anak di pelosok sana akan sangat membutuhkan jiwa-jiwa sepertiku”. Itulah awalku memulai niatan mulia ini. Aku berjanji sepulangku nanti, Anakmu ini akan memiliki bahu sekuat baja, dan dada yang seluas samudera sehingga kelak bahu kalian yang mulai ringkih itu dapat menyender padaku. Relakan aku untuk memulai tugas mulia di Tapal Batas Negara Kesatuan Republik Indonesia – Republik Demokrat Timor Leste.
“Bapak Ibu, relakan aku pergi mengabdi di tapal batas karena dalam perspektifku orang sukses itu orang yang paling cepat menyelesaikan mimpi... Tak usah khawatir akan diriku di pulau seberang, katamu disana juga buminya Tuhan. Bukankah semakin banyak kita bersyukur, Tuhan telah berjanji menambah kebahagiaan?”


Welcome Tanah Sahabat
Selasa, 6 september 2016 adalah hari dimana pengabdianku di tapal batas dimulai. Aku adalah lulusan dari Sarjana Pendidikan Luar Biasa namun karena di Kabupaten Malaka belum memiliki SLB maka aku mengemban tugas selama setahun di SD. Sekolah Dasar Inpres Bora adalah sekolah yang akan kujadikan tempat selama setahun. Sekolah ini terletak agak jauh dari jalan raya. Medan yang harus ditempuh adalah perjalanan selama 1 kilo dengan jalan batuan lepas. Sekolah kami memiliki 3 bangunan memanjang yang bisa dibilang sudah tua. Sekolah mungil ini memiliki atap seng yang sudah sering berbunyi kalau keterpa angin, untuk lantai memang sudah berubin namun ubin itu juga mulai terjamah oleh usia meninggalkan lubang-lubang yang menganga. Sekolah kecil kami berwarna pucat dengan balutan cat putih yang bernoda. Sekolah kami terletak di atas bukit kecil, dimana kami sangat kesulitan untuk bermain bola karena lapangannya menurun berbentuk bukit. Sekolah kami belum terdapat listrik, untuk mencari air bersih kami harus menuruni bukit terjal sejauh 2 kilometer jadi artinya saat jergen sudah penuh dengan air kami akan menaiki bukit terjal tersebut (bayangkan saja rasanya). Kebanyakan anak-anak murid SDI Bora adalah anak-anak petani maupun buruh. Mereka selalu ceria menapakkan kaki ke sekolah tanpa memedulikan cuaca panas ataupun hujan, meski tanpa alas kaki, meski hanya dengan menjinjing kantong plastik sebagai pengganti tas, dan lebih sering tidak mandi. Tugasku besar yang menantiku disini selain mengajar adalah menanamkan pentingnya menjaga kebersihan diri. Terlepas dari itu semua, aku begitu kagum dengan pribadi mereka yang memiliki semangat sekolah tinggi. Mereka berhak untuk menjadi pandai karena mereka juga anak Indonesia.
“Kawan, rencana Tuhan lebih indah dari sekedar keinginan manusia. Maka berpegang teguhlah pada keyakinan hingga kesangsianmu akan menghilang...”


Tujuan Kita Semua Sama
Menjadi kaum minoritas menjadikan aku memiliki sebuah cerita perjuangan untuk sekedar bertemu dengan rumah Alloh bersujud berpasrah akan diri ini. Aku disini tidak pernah mendengar seruan adzan yang biasanya menggema di pelosok jagad raya seperti ketika di jawa. Aku harus bersahabat erat dengan lagu-lagu rohani. Aku harus rela menempuh 20 kilometer hanya untuk bertemu dengan rumah terdekat Alloh, untuk sekedar bersujud memohon perlindungan Alloh di tanah timur ini.
Sabtu, 9 September 2016 lalu adalah hari yang bersejarah bagi aku dan umat gereja St. Santa Maria Fatima Nurobo. Aku tercatat sebagai orang muslim pertama yang pernah masuk di Gereja St. Santa Maria Fatima Nurobo. Aku ingin menjadi pendidik professional, jadi mengapa harus membatasi diri untuk mendampingi anak didikku menanggung misa di gereja? Aku percaya, dimanapun aku menjejakkan kaki, semua itu tanah miliki sang Khalik. Dengan balutan kemeja dan jilbab merah jambu yang dipadukan dengan pakaian adat berupa kain tais dan selendang, aku memasuki gereja itu. Kedatangan aku disambut dengan ratusan pasang mata jamaah gereja penuh keheranan. Tatapan heran itu sontak saja mewarnai wajahku menjadi merah merona. Misa berjalan lancar dan khitmah, akupun senantiasa meneguhkan hati untuk berdoa dengan Alloh. Mata bapa Pater Selli (CMF Marcellinus Beam) tidak luput dengan kehadiranku. Saat beliau berkhotbah, Pater Selli mempersilahkanku menaiki podiumnya untuk sekedar memperkenalkan diri. Ini adalah kesempatan yang luar biasa, dimana aku harus berbicara didepan semua jamaah gereja tanpa persiapan apapun.

Setelah mengenalkan diri, aku berbicara tentang apa yang ada dipikiran saat itu. “Tidak peduli bagaimanapun caramu, dimana tempat ibadahmu, bahkan apa agamamu tujuannya tetap sama yakni tuhan.  Tujuan kita sama yakni beribadah kepada tuhan, kita semua sama, kita semua saudara. Jadi mengapa kalian masih heran saja kalau ada orang berjilbab masuk gereja?” Akhir kata dari pembicaraanku disambut dengan tepukan applause luar biasa. Tuhan menempatkanku disini bukan suatu kebetulan, namun penuh takdir dengan rancangan yang indah. Tangan Tuhan menempaku melalui serentetan tugas mulia di bumi Nusa Tenggara Timur. Tugas mulia yang penuh kesukaran, tantangan bahkan cucuran air mata akanku lakukan dengan hati. Mendidik di tanah ini bukan urusan calistung saja, namun mendidik dengan hati. Aku teguhkan sebagai pendidik bahwa ada character building yang kubangun dengan kokoh di dalam diri mereka. Sebagai guru panutan, aku harus mampu mengarahkan mereka ke dalam pendidikan berkarakter. Senada dengan pendapat Berkowitz dan Bier yang menyatakan pendidikan karakter merupakan penciptaan lingkungan sekolah yang membantu peserta didik dalam perkembangan etika, tanggung jawab melalui model dan pengajran karakter yang baik melalui nilai-nilai universal.  Untuk bertahan di dalam dunia yang keras ini, untuk tidak tergerus dalam kebudayaan hedonism, untuk tetap berkembang besar namun tetap memiliki ciri khas diri dalam mereka diperlukan pendidikan karakter. Mereka anak malaka, anak Indonesia timur. Nak, Tuhan menempamu menjadi manusia hebat bukan melalui kesenangan namun melalui tantangan, kesukaran, bahkan cucuran air mata.
“Tuhan, percayalah kami semua mencintaimu. Kami hanya menyebut nama-Mu dengan sebutan berbeda. Percayalah kami juga sama-sama mendoakan. Kami dengan tanganku yang terbuka menyatu sedangkan mereka dengan tangan yang mengepal menyatu.”

Pejuang Pendidikan dan Kesehatan
Aku dikenal sebagai sosok guru disiplin yang sangat peduli tentang kebersihan diri. Setiap hari, aku menjadi guru pertama yang tiba di sekolah sehingga selalu saja merangkap menjadi penjaga sekolah yang membukakan pintu pagar. Pada pukul 07.15 tepat, biasanya kami memulai apel pagi. Apel pagi biasanya kugunakan untuk mengecek kebersihan dan kedisiplinan anak-anak dari kelas 1 sampai 6. Kami memiliki cara seru sendiri untuk kegiatan ini. Aku mengecek mereka dari awal sampai akhir dengan peraturan siapa yang tidak melakukan hal yang ditanyakan guru akan berlutut sampai tersisa anak-anak yang memang benar-benar tertib.
Pertanyaan biasanya dimulai dengan “Siapa yang tidak membawa air?”, anak yang merasa tidak membawa air akan berlutut. Kemudian dilanjutkan “Siapa yang tidak bersepatu?” kemudian pertanyaan “Siapa yang tidak mandi?” di pertanyaan ini biasanya akan banyak sekali anak yang berlutut, pertanyaan selanjutnya adalah “Siapa yang tidak gosok gigi?”. Dari beberapa pertanyaan tadi kita dapat melihat anak-anak yang tertib yang masih berdiri dalam barisan karena yang lain telah berlutut. Hukuman bagi mereka yang tidak tertib hanyalah berlari keliling sekolah sesuai dengan kesalahan yang anak tersebut buat. Aku memilih olahraga berlari karena selain murah, olahraga ini pasti bisa dilakukan oleh semua anak.
Menanamkan pentingnya menjaga kebersihan badan memang menjadi hal yang sangat vital disini. Setiap apel pagi aku selalu membahas hal tersebut, selain itu juga didukung dengan pemutaran video pentingnya menjaga kesehatan badan namun masih saja setiap hari ada saja anak yang enggan mandi. Aku juga selalu menyiapkan perlengkapan kebersihan seperti sisir, gunting, maupun pemotong kuku. Anak-anak kelas bawah adalah pelanggan setiaku. Mereka seringkali datang sekedar bergelendot manja memintakan aku membacakan sebuah buku cerita di perpustakaan. Anak-anakku sungguh menggemaskan dengan paduan rambut keriting itu masih saja sering merayuku untuk memotongkan kukunya yang sudah panjang dan hitam.
Aku paham betul kebanyakan muridku tidak mendapatkan perhatian banyak di rumah. Mereka harus belajar mengurus diri sendiri bahkan belajar mengurus kebutuhan orang lain karena anggota keluarga disini terbilang besar yakni minimal dengan 5 anak. Tidak mengherankan bukan, jika ada sekitar kakak beradik kandung 4 anak di sekolahku. Contoh saja si kecil Nonce yang baru berumur 7 tahun memiliki adik yang juga satu kelas dengannya yang duduk di kelas 1. Hari-hariku dipenuhi dengan pengenalan pentingnya kebersihan diri guna menunjang kesehatan. Anak-anakku sebagian memiliki sakit kulit berkudis maupun gatal yang diakibatkan karena kurangnya menjaga kesehatan diri. Kesadaran menjaga kebersihan diri memang rendah di daerah ini, mungkin saja karena memang sumber air yang begitu jauh bagi kami semua.
Guru berkualitas adalah guru yang tidak hanya pandai dalam menularkan ilmu dalam mengajar saja, namun bisa melakukan keterampilan apapun di luar tugas pokok mengajarnya. Akupun dituntut memiliki berbagai keterampilan lain di penempatan ini seperti melatih menyanyi, guru olah raga, pembina pramuka, bahkan menjadi tukang potong rambut. Anak laki-laki biasanya kurang disiplin tentang rambutnya. Jangan salah paham, ini bukan karena kenakalan mereka namun karena kurangnya perhatian keluarga pada anak tersebut. Setelah peringatan berkali-kali untuk memendekkan rambut namun hasilnya nihil maka aku si Ibu Anik tanpa talenta (ahli salon) akan memotong paksa rambut mereka. Salah satu kegiatan pemotongan rambut selalu mengena di hati adalah ketika melakukan pemotongan rambut Viky si anak kelas 2. Meski belum mahir memainkan gunting, namun inilah tuntutan menjadi seorang guru yang dituntut harus selalu bisa. Aku selalu berdoa semoga hasilnya tidak terlalu mengecewakan terlebih orangtua si anak. Kegiatan kras-kres sana sini itu mulai terhenti karena hal yang mengejutkan. Ada lumayan banyak makhluk berwarna cokelat berukuran kecil di rambut Viky. Akhirnya aku berceletuk “Viky ternyata kamu kutuan pantas kamu sering garuk-garuk rambut”. Perkataan aku hanya di balas oleh teman sekelas Viky  yang sedang bermain dan teman guru lainnya dengan tertawa terbahak-bahak.
“Perhatian-perhatian kecil yang tulus dari hati akan tetap menyentuh nurani, meski hadir tanpa diminta dan seringkali tampak tak ada”.


Kelas Para Pemimpi
Anak-anakku kelas 6 di SDI Bora berjumlah 35 yang terdiri dari 24 yang berada di kelasku dan  sisanya 11 anak berada di kelas jauh. Anak-anak ini sangat dekat denganku meskipun aku bukanlah wali kelas mereka. Aku mendapatkan tugas mengajar pelajaran Matematika. Namun pelajaran lain terkadang sengaja kurangkul untuk kebaikan anak-anakku mengingat wali kelas 6 tidak bisa selalu datang karena sakit-sakitan. Aku selalu saja berjuang menjalankan peran menjadi wali kelas 6. Semua pelajaran harus dikuasai untuk ditularkan pada anak-anak ini.
Untuk memacu keaktifan anak-anak kelas 6, kami menerapkan sistem pembelajaran dengan reward berupa bintang dan hukuman berupa pemberian tengkorak. Cara ini terbilang efektif di kelas 6. Mereka begitu semangat untuk aktif dalam pembelajaran di kelas sampai terkadang harus saling berebutan untuk menyelesaikan sebuah soal. Karena keaktifan anak yang luar biasa, biasanya kami membagi papan tulis menjadi 4 bagian agar lebih banyak menampung anak-anak dalam menyelesaikan soal. Tidak jarang juga kami membuat suatu kuiz pertandingan matematika untuk kubu anak-anak nona dan nyong (sebutan anak perempuan dan laki-laki di timor). Virus kecanduan belajar terutama pada pelajaran matematika sungguh membuatku bahagia.

Kecanduan yang mereka alami pada matematika ternyata membutuhkan kerja keras di dua sisi. Diawal kedatanganku, anak-anakku kelas 6 masih banyak yang paham akan perkalian bahkan diantaranya ada yang belum bisa membaca. Aku sempat heran bagaimana bisa anak-anak ini bisa naik kelas kalau belum bisa membaca. Sebagai guru aku tak akan berpangku tangan menggerutu keadaan, aku harus cari jalan keluar! Akhirnya aku bisa juga menerapkan ilmu tentang pendidikan luar biasa dengan asesmen calistung. Untuk anak-anak yang mengalami kesulitan berhitung, Untuk mengejar ketertinggalan ketrampilan berhitung aku menerapkan jarimatika yang ditunjang dengan mencongak cepat. Aku sebagai guru yang kreatif juga mulai belajar meracik lagu-lagu sederhana untuk memudahkan anak menghafalkan berbagai rumus  matematika.
Adapun untuk 2 orang anakku yang belum lancar membaca yakni Anggelina dan Noflin ini aku mengajarkan mereka membaca dari pengenalan huruf. Dari kegiatan 26 huruf alfabet saja masih banyak huruf yang anak ini tidak tahu. Belajar membaca denganku berlangsung agak lama. Setelah dua minggu belajar membaca setiap istirahat, akhirnya anak ini hanya tidak bisa membedakan huruf g, j, dan y. Hasil tak akan mendustai proses, nak. Perjuangan kami berlatih membaca membuahkan hasil yang lumayan. Akhirnya kedua anakku Anggelina dan Noflin dapat membaca meski masih dalam level mengeja. Aku bersyukur hadir disini untuk sekedar membela mereka dari tudingan guru lain yang menjudge mereka berdua “idiot”.
“Semua anak-anak terlahir dengan karunianya masing-masing, Tuhan telah menyediakan banyak kacamata, silahkan kalian pilih sendiri kacamata  lain untuk melihat potensi itu.” 
Banyak kejadian lucu maupun mengharukan yang telah kami lalui bersama. Sebagai guru yang menerapkan rasa disiplin, aku selalu saja mengecek persentase  anak-anakku yang akan menghadapi ujian ini setiap minggunya. Biasanya melalui pengecekan kehadiran kita akan mengetahui siapa saja yang alpha tidak ada kabar dan harus ditelusuri penyebabnya. Banyak guru yang menyepelekan hal yang aku lakukan.
“Aduh kakak ini buang-buang waktu sama bensin saja. Biar saja to mereka mau pintar atau bodoh” kata salah satu guru
“Homevisit itu perlu pak. Kasihan dia kalau ternyata ada permasalahan di rumah siapa tahu aku bisa bantu” Jawabku tegas
“Ah kalau aku sama anak-anak Mati Pi*” kata guru tersebut. (*persetan)
Ada kenyataan mencengangkan yang membuatku tetap menulikan telinga dari omongan teman guru tentang ketidakpedulian mereka terhadap muridku. Sekitar Bulan Desember 2017, aku mulai kehilangan salah satu anak muridku yang selalu aktif dalam pelajaran pembelajaran. Berdasarkan narasumber terpercaya, Okto sedang mengalami masalah keluarga. Ayahnya yang merantau di Kalimantan sudah hilang kabar 3 bulan lalu sehingga membuat Ibunya Okto stres. Semua saudara termasuk Okto tidak boleh bersekolah lagi oleh Ibunya. Kakak pertama Okto masih kelas 2 SMA, kakak keduanya kelas 1 SMP, si Okto kelas 6 dan si kecil yang menduduki kelas 1 SD. Sepulang sekolah akupun bergegas mencari rumah Okto. Berkomunikasi dengan Ibu Okto agak menyulitkan karena ibunya tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia. Dengan bantuan kakaknya Okto aku menasehati beliau akan pentingnya pendidikan dan meminta secara khusus agar Okto diperbolehkan setidaknya menyelesaikan pendidikannya dulu di SD. Mama Oktopun mengiyakan permintaan aku meskipun aku juga ragu sebetulnya. Sejak hari itu Okto mulai bersekolah lagi, bahagia juga melihatnya hadir dengan balutan merah-putih lagi. Suatu sore saat berlatih pramuka iseng bertanya padanya,
“Okto, Mama dengan saudaranya Okto sehat semuakan?” tanyaku polos
“...........” (tanpa berkata-kata menubruk dadaku dan membenamkan erat disitu untuk menangis sesenggukan).
“Okto menangis dulu gapapa, keluarkan semua bebannya Okto ya biar lega. Nanti kalau sudah lega cerita sama ibu” kataku sambil mengelus-elus rambutnya lembut.
“Ibu, Mama sudah pergi dengan adik. Aku pulang sekolah sudah tidak ada orang. Sekarang kami bertiga saja dengan kakak” katanya sambil masih menangis.
 Aku hanya bisa menyabarkannya dengan kata-kata lembut. Pelukan ini kuharap dapat mengobati lukamu Okto. Kamu masih sangat kecil namun begitu kuat. Ibu yakin kamu akan mampu melewati semua ini. Tuhan Yesus tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan kita nak. Akhirnya Okto dan kedua kakaknya tetap bertahan itu dengan panenan jagung mereka. Kamipun mencoba membantu semampu kami untuk menyemangati mereka.
“Kawan, jadilah guru yang memiliki dada selebar samudera dan bahu sekokoh baja karena anak-anak didikmu benar-benar membutuhkanmu di saat tertentu.”
Waktu cepat bergulir, kami selalu saja sibuk dengan les tambahan untuk persiapan UN setiap pulang sekolah. Tepat tanggal 16 Mei 2017, anak-anak SD melaksanakan Ujian Nasional. Senin pagi itu aku menyempatkan diri untuk bertemu anak-anakku sebelum menunaikan tugas mengawas di SD terdekat. Melihat kedatanganku, anak-anak kelas 6 langsung mendatangiku berbondong-bondong.
“Ibu, kami takut....” kata mereka
“Tidak usah takut, kalian sudah berlatih berkali-kali dan berhasilkan. Yang penting yakin sama kemampuan diri sendiri ya. Jangan menyontek, yakin sama kemampuanmu. Jangan lupa berdoa sama Tuhan Yesus biar dimudahkan Ujiannya...” jawabku menenangkan
“Iya ibu....” (sambil salah satu mereka memelukku disusul yang lainnya)
Hati siapa yang tak jatuh cinta mereka. Tingkah polos mereka dan rasa cintanya mereka membuatku nyaman di pengabdian. Kuelus lembut rambut mereka satu-satu sambil berkata “Kamu pasti bisa, nak. Tak usah takut ya!” nasehatku optimis.
Sebulan kemudian tepatnya tanggal 17 Juni 2017, kelas 6 akan menerima hasil kelulusan mereka. Ada binar dimata mereka, namun terdapat rasa sedih mendalam harus meninggalkan tempat yang telah mengasuh mereka selama 6 tahun. Aku juga sedih akan kehilangan mereka yang selama 9 bulan terakhir ini telah memanggilku dengan sebutan Ibu Guru. Hari itu mereka sangat gagah dengan balutan baju adat berupa tais (kain adat wanita) dan bete (kain adat laki-laki) yang didampingi oleh kedua orangtua mereka. Hasilnya SD Inpres Bora dengan 35 peserta Ujian Nasional dinyatakan lulus semua.
Bahagia rasanya bisa mendampingi anak-anak dalam menggapai kelulusan. Terharu sekali setelah menerima amplop kelulusan, mereka mencium tanganku tulus sambil bilang “Ibu, terimakasih banyak”. Bahagiaku telah lengkap dengan pencapaian nilai yang luar biasa oleh seorang muridku bernama Yunita Marlin Nahak yang biasa disapa dengan nama Bellak. Bellak mendapatkan nilai tertinggi Matematika di SDI Bora yakni mencapai 8,75. Sungguh pencapaian luar biasa dibandingkan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan IPA. Ibunda dari Bellak sungguh menghormatiku, bagaimana bisa dia yang lebih tua itu mencium tanganku. Aneh-aneh saja beliau itu, saat aku memprotes Ibunda Bellak mengatakan “Tidak apa-apa Ibu. Ini aku lakukan  karena aku betul-betul berterimakasih dengan Ibu Anik. Ini juga Hadiah buat Ibu ya. (sambil mengalungkan selendang tenun di leherku). “Terima Kasih mama” Tangisku pecah. Hari ini atas inisiatif kepala sekolah, aku diberikan perintah untuk menyampaikan kesan pesan dan salam perpisahan untuk anak-anakku serta mengingat keberadaanku di SDI Bora tinggal 2 Bulan. Menurutku ini terlalu dini, namun karena merupakan instruksi atasan akhirnya aku penuhi juga. Setelah basa-basi memperkenalkan diri, akupun hanya menyampaikan apa yang ada di benakku selama ini tentang kenangan indah kami semua. Kenangan kami setelah 9 bulan bersama. Entah kenapa semua orangtua dan anak-anak aku menangis, tangis mereka kususul juga. Dengan dada sesak akupun mencoba tetap bernasehat pada mereka “Teruntuk kalian semua anak-anak kelas Pemimpi, tetap bermimpi nan tinggi agar Tuhan Yesus dapat memeluk mimpi-mimpi kalian. Tetap semangat menghadapi jenjang yang lebih tinggi, Ibu hanya dapat mengantar kalian sampai disini. Tetaplah jadi anak yang periang, penuh semangat, dan kejarlah mimpi-mimpi kalian. Kelak jadilah orang-orang sukses yang melebihi Bapak Ibu Gurumu karena kami masih akan tetap menjadi guru sedangkan kalian bisa menjadi apapun yang kalian mau. Ingatlah kenangan-kenangan manis kita disekolah selama 9 bulan, terima kasih telah mengukir kenangan indah itu bersama ibu. Canda tawa, rasa jengkel, keramaian yang menyelimuti kelas 6 akan selalu ibu rindukan. Simpan itu baik-baik dalam hati ya nak, semoga kelak kita bisa bertemu kembali dalam kesempatan lain. Selamat menyambut dunia biru-putih, tumbuhlah menjadi remaja yang baik karena bapak ibu guru akan selalu ada untuk kalian meskipun hanya sebatas doa.
“Selamat jalan anak-anakku akung, kejarlah mimpimu! Di pundakmu harapan keluarga dan bangsamu berada.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar