Oleh : Dwi Anik Maritasari
Keluar
dari zona nyaman
Perkenalkan, namaku Dwi
Anik Maritasari. Aku lebih akrab dipanggil Ibu Guru Anik. Berpisah terpaut
ratusan kilometer dengan keluarga sebenarnya menyesakkan juga, menimbang usiaku yang terbilang masih
sangat muda yakni 21 tahun untuk mengabdikan diri di daerah 3T (Terdepan,
terluar, Tertinggal). Bagiku ada panggilan bagi jiwa muda ini. Panggilan ini
kurasakan sejak pertama kali kudengar adanya program ini, mungkin aku sudah
jatuh cinta sejak awal aku menjadi seorang mahasiswi. Pengabdianku di tapal
batas ini kuharap dapat bermanfaat bagi anak didikku dalam meniti hidupnya
kelak. Takdir mengiringku untuk menjadi salah satu penerima beasiswa Bidik Misi
Tahun Angkatan 2012. Aku sadar ini berkat doa tulus orangtuaku sehingga jalanku
dipermudah oleh Alloh, dalam hati nuraniku mulai berjanji pada diriku sendiri “Aku
adalah anak orangtua aku dan anak negara. Negara yang membiayaiku sampai aku
sarjana kelak. Aku akan mengabdikan diri pada bumi pertiwi ini. Anak-anak di
pelosok sana akan sangat membutuhkan jiwa-jiwa sepertiku”. Itulah awalku
memulai niatan mulia ini. Aku berjanji sepulangku nanti, Anakmu ini akan
memiliki bahu sekuat baja, dan dada yang seluas samudera sehingga kelak bahu
kalian yang mulai ringkih itu dapat menyender padaku. Relakan aku untuk memulai
tugas mulia di Tapal Batas Negara Kesatuan Republik Indonesia – Republik
Demokrat Timor Leste.
“Bapak Ibu, relakan aku pergi mengabdi di tapal batas karena dalam
perspektifku orang sukses itu orang yang paling cepat menyelesaikan mimpi...
Tak usah khawatir akan diriku di pulau seberang, katamu disana juga buminya
Tuhan. Bukankah semakin banyak kita bersyukur, Tuhan telah berjanji menambah
kebahagiaan?”
Welcome Tanah Sahabat
Selasa,
6 september 2016 adalah hari dimana pengabdianku di tapal batas dimulai. Aku
adalah lulusan dari Sarjana Pendidikan Luar Biasa namun karena di Kabupaten
Malaka belum memiliki SLB maka aku mengemban tugas selama setahun di SD.
Sekolah Dasar Inpres Bora adalah sekolah yang akan kujadikan tempat selama
setahun. Sekolah ini terletak agak jauh dari jalan raya. Medan yang harus
ditempuh adalah perjalanan selama 1 kilo dengan jalan batuan lepas. Sekolah
kami memiliki 3 bangunan memanjang yang bisa dibilang sudah tua. Sekolah mungil
ini memiliki atap seng yang sudah sering berbunyi kalau keterpa angin, untuk
lantai memang sudah berubin namun ubin itu juga mulai terjamah oleh usia
meninggalkan lubang-lubang yang menganga. Sekolah kecil kami berwarna pucat
dengan balutan cat putih yang bernoda. Sekolah kami terletak di atas bukit
kecil, dimana kami sangat kesulitan untuk bermain bola karena lapangannya
menurun berbentuk bukit. Sekolah kami belum terdapat listrik,
untuk mencari air bersih kami harus menuruni bukit terjal sejauh 2 kilometer
jadi artinya saat jergen sudah penuh dengan air kami akan menaiki bukit terjal
tersebut (bayangkan saja rasanya). Kebanyakan anak-anak murid SDI Bora adalah
anak-anak petani maupun buruh. Mereka selalu ceria menapakkan kaki ke sekolah
tanpa memedulikan cuaca panas ataupun hujan, meski tanpa alas kaki, meski hanya
dengan menjinjing kantong plastik sebagai pengganti tas, dan lebih sering tidak
mandi. Tugasku besar yang menantiku disini selain mengajar adalah menanamkan
pentingnya menjaga kebersihan diri. Terlepas dari itu semua, aku begitu kagum
dengan pribadi mereka yang memiliki semangat sekolah tinggi. Mereka berhak
untuk menjadi pandai karena mereka juga anak Indonesia.
“Kawan,
rencana Tuhan lebih indah dari sekedar keinginan manusia. Maka berpegang
teguhlah pada keyakinan hingga kesangsianmu akan menghilang...”
Tujuan
Kita Semua Sama
Menjadi kaum
minoritas menjadikan aku memiliki sebuah cerita perjuangan untuk sekedar
bertemu dengan rumah Alloh bersujud berpasrah akan diri ini. Aku disini tidak
pernah mendengar seruan adzan yang biasanya menggema di pelosok jagad raya
seperti ketika di jawa. Aku harus bersahabat erat dengan lagu-lagu rohani. Aku
harus rela menempuh 20 kilometer hanya untuk bertemu dengan rumah terdekat
Alloh, untuk sekedar bersujud memohon perlindungan Alloh di tanah timur ini.
Sabtu, 9
September 2016 lalu adalah hari yang bersejarah bagi aku dan umat gereja St.
Santa Maria Fatima Nurobo. Aku tercatat sebagai orang muslim pertama yang
pernah masuk di Gereja St. Santa Maria Fatima Nurobo. Aku ingin menjadi
pendidik professional, jadi mengapa harus membatasi diri untuk mendampingi anak
didikku menanggung misa di gereja? Aku percaya, dimanapun aku menjejakkan kaki,
semua itu tanah miliki sang Khalik. Dengan balutan kemeja dan jilbab merah
jambu yang dipadukan dengan pakaian adat berupa kain tais dan selendang, aku
memasuki gereja itu. Kedatangan aku disambut dengan ratusan pasang mata jamaah
gereja penuh keheranan. Tatapan heran itu sontak saja mewarnai wajahku menjadi
merah merona. Misa berjalan lancar dan khitmah, akupun senantiasa meneguhkan
hati untuk berdoa dengan Alloh. Mata bapa Pater Selli (CMF Marcellinus Beam)
tidak luput dengan kehadiranku. Saat beliau berkhotbah, Pater Selli
mempersilahkanku menaiki podiumnya untuk sekedar memperkenalkan diri. Ini
adalah kesempatan yang luar biasa, dimana aku harus berbicara didepan semua
jamaah gereja tanpa persiapan apapun.
Setelah
mengenalkan diri, aku berbicara tentang apa yang ada dipikiran saat itu. “Tidak
peduli bagaimanapun caramu, dimana tempat ibadahmu, bahkan apa agamamu
tujuannya tetap sama yakni tuhan. Tujuan
kita sama yakni beribadah kepada tuhan, kita semua sama, kita semua saudara.
Jadi mengapa kalian masih heran saja kalau ada orang berjilbab masuk gereja?”
Akhir kata dari pembicaraanku disambut dengan tepukan applause luar biasa. Tuhan menempatkanku disini bukan suatu
kebetulan, namun penuh takdir dengan rancangan yang indah. Tangan Tuhan menempaku
melalui serentetan tugas mulia di bumi Nusa Tenggara Timur. Tugas mulia yang
penuh kesukaran, tantangan bahkan cucuran air mata akanku lakukan dengan hati.
Mendidik di tanah ini bukan urusan calistung saja, namun mendidik dengan hati. Aku
teguhkan sebagai pendidik bahwa ada character building yang kubangun dengan
kokoh di dalam diri mereka. Sebagai guru panutan, aku harus mampu mengarahkan
mereka ke dalam pendidikan berkarakter. Senada dengan pendapat Berkowitz dan
Bier yang menyatakan pendidikan karakter merupakan penciptaan lingkungan
sekolah yang membantu peserta didik dalam perkembangan etika, tanggung jawab
melalui model dan pengajran karakter yang baik melalui nilai-nilai
universal. Untuk bertahan di dalam dunia
yang keras ini, untuk tidak tergerus dalam kebudayaan hedonism, untuk tetap
berkembang besar namun tetap memiliki ciri khas diri dalam mereka diperlukan
pendidikan karakter. Mereka anak malaka, anak Indonesia timur. Nak, Tuhan
menempamu menjadi manusia hebat bukan melalui kesenangan namun melalui
tantangan, kesukaran, bahkan cucuran air mata.
“Tuhan,
percayalah kami semua mencintaimu. Kami hanya menyebut nama-Mu dengan sebutan
berbeda. Percayalah kami juga sama-sama mendoakan. Kami dengan tanganku yang
terbuka menyatu sedangkan mereka dengan tangan yang mengepal menyatu.”
Pejuang
Pendidikan dan Kesehatan
Aku
dikenal sebagai sosok guru disiplin yang sangat peduli tentang kebersihan diri.
Setiap hari, aku menjadi guru pertama yang tiba di sekolah sehingga selalu saja
merangkap menjadi penjaga sekolah yang membukakan pintu pagar. Pada pukul 07.15
tepat, biasanya kami memulai apel pagi. Apel pagi biasanya kugunakan untuk
mengecek kebersihan dan kedisiplinan anak-anak dari kelas 1 sampai 6. Kami
memiliki cara seru sendiri untuk kegiatan ini. Aku mengecek mereka dari awal
sampai akhir dengan peraturan siapa yang tidak melakukan hal yang ditanyakan
guru akan berlutut sampai tersisa anak-anak yang memang benar-benar tertib.
Pertanyaan biasanya dimulai dengan
“Siapa yang tidak membawa air?”, anak yang merasa tidak membawa air akan
berlutut. Kemudian dilanjutkan “Siapa yang tidak bersepatu?” kemudian
pertanyaan “Siapa yang tidak mandi?” di pertanyaan ini biasanya akan banyak
sekali anak yang berlutut, pertanyaan selanjutnya adalah “Siapa yang tidak
gosok gigi?”. Dari beberapa pertanyaan tadi kita dapat melihat anak-anak yang
tertib yang masih berdiri dalam barisan karena yang lain telah berlutut.
Hukuman bagi mereka yang tidak tertib hanyalah berlari keliling sekolah sesuai
dengan kesalahan yang anak tersebut buat. Aku memilih olahraga berlari karena
selain murah, olahraga ini pasti bisa dilakukan oleh semua anak.
Menanamkan pentingnya menjaga kebersihan
badan memang menjadi hal yang sangat vital disini. Setiap apel pagi aku selalu
membahas hal tersebut, selain itu juga didukung dengan pemutaran video
pentingnya menjaga kesehatan badan namun masih saja setiap hari ada saja anak
yang enggan mandi. Aku juga selalu menyiapkan perlengkapan kebersihan seperti
sisir, gunting, maupun pemotong kuku. Anak-anak kelas bawah adalah pelanggan
setiaku. Mereka seringkali datang sekedar bergelendot manja memintakan aku
membacakan sebuah buku cerita di perpustakaan. Anak-anakku sungguh menggemaskan
dengan paduan rambut keriting itu masih saja sering merayuku untuk memotongkan
kukunya yang sudah panjang dan hitam.
Aku
paham betul kebanyakan muridku tidak mendapatkan perhatian banyak di rumah.
Mereka harus belajar mengurus diri sendiri bahkan belajar mengurus kebutuhan
orang lain karena anggota keluarga disini terbilang besar yakni minimal dengan
5 anak. Tidak mengherankan bukan, jika ada sekitar kakak beradik kandung 4 anak
di sekolahku. Contoh saja si kecil Nonce yang baru berumur 7 tahun memiliki
adik yang juga satu kelas dengannya yang duduk di kelas 1. Hari-hariku dipenuhi
dengan pengenalan pentingnya kebersihan diri guna menunjang kesehatan.
Anak-anakku sebagian memiliki sakit kulit berkudis maupun gatal yang
diakibatkan karena kurangnya menjaga kesehatan diri. Kesadaran menjaga
kebersihan diri memang rendah di daerah ini, mungkin saja karena memang sumber
air yang begitu jauh bagi kami semua.
Guru
berkualitas adalah guru yang tidak hanya pandai dalam menularkan ilmu dalam
mengajar saja, namun bisa melakukan keterampilan apapun di luar tugas pokok
mengajarnya. Akupun dituntut memiliki berbagai keterampilan lain di penempatan
ini seperti melatih menyanyi, guru olah raga, pembina pramuka, bahkan menjadi
tukang potong rambut. Anak laki-laki biasanya kurang disiplin tentang
rambutnya. Jangan salah paham, ini bukan karena kenakalan mereka namun karena
kurangnya perhatian keluarga pada anak tersebut. Setelah peringatan
berkali-kali untuk memendekkan rambut namun hasilnya nihil maka aku si Ibu Anik
tanpa talenta (ahli salon) akan memotong paksa rambut mereka. Salah satu
kegiatan pemotongan rambut selalu mengena di hati adalah ketika melakukan
pemotongan rambut Viky si anak kelas 2. Meski belum mahir memainkan gunting,
namun inilah tuntutan menjadi seorang guru yang dituntut harus selalu bisa. Aku
selalu berdoa semoga hasilnya tidak terlalu mengecewakan terlebih orangtua si
anak. Kegiatan kras-kres sana sini itu mulai terhenti karena hal yang
mengejutkan. Ada lumayan banyak makhluk berwarna cokelat berukuran kecil di
rambut Viky. Akhirnya aku berceletuk “Viky ternyata kamu kutuan pantas kamu
sering garuk-garuk rambut”. Perkataan aku hanya di balas oleh teman sekelas
Viky yang sedang bermain dan teman guru
lainnya dengan tertawa terbahak-bahak.
“Perhatian-perhatian kecil yang
tulus dari hati akan tetap menyentuh nurani, meski hadir tanpa diminta dan
seringkali tampak tak ada”.
Kelas
Para Pemimpi
Anak-anakku
kelas 6 di SDI Bora berjumlah 35 yang terdiri dari 24 yang berada di kelasku
dan sisanya 11 anak berada di kelas
jauh. Anak-anak ini sangat dekat denganku meskipun aku bukanlah wali kelas
mereka. Aku mendapatkan tugas mengajar pelajaran Matematika. Namun pelajaran
lain terkadang sengaja kurangkul untuk kebaikan anak-anakku mengingat wali
kelas 6 tidak bisa selalu datang karena sakit-sakitan. Aku selalu saja berjuang
menjalankan peran menjadi wali kelas 6. Semua pelajaran harus dikuasai untuk ditularkan
pada anak-anak ini.
Untuk
memacu keaktifan anak-anak kelas 6, kami menerapkan sistem pembelajaran dengan
reward berupa bintang dan hukuman berupa pemberian tengkorak. Cara ini
terbilang efektif di kelas 6. Mereka begitu semangat untuk aktif dalam pembelajaran
di kelas sampai terkadang harus saling berebutan untuk menyelesaikan sebuah
soal. Karena keaktifan anak yang luar biasa, biasanya kami membagi papan tulis
menjadi 4 bagian agar lebih banyak menampung anak-anak dalam menyelesaikan
soal. Tidak jarang juga kami membuat suatu kuiz pertandingan matematika untuk
kubu anak-anak nona dan nyong (sebutan anak perempuan dan laki-laki di timor).
Virus kecanduan belajar terutama pada pelajaran matematika sungguh membuatku
bahagia.
Kecanduan yang
mereka alami pada matematika ternyata membutuhkan kerja keras di dua sisi.
Diawal kedatanganku, anak-anakku kelas 6 masih banyak yang paham akan perkalian
bahkan diantaranya ada yang belum bisa membaca. Aku sempat heran bagaimana bisa
anak-anak ini bisa naik kelas kalau belum bisa membaca. Sebagai guru aku tak
akan berpangku tangan menggerutu keadaan, aku harus cari jalan keluar! Akhirnya
aku bisa juga menerapkan ilmu tentang pendidikan luar biasa dengan asesmen
calistung. Untuk anak-anak yang mengalami kesulitan berhitung, Untuk mengejar ketertinggalan ketrampilan berhitung aku
menerapkan jarimatika yang ditunjang dengan mencongak cepat. Aku sebagai guru
yang kreatif juga mulai belajar meracik lagu-lagu sederhana untuk memudahkan
anak menghafalkan berbagai rumus
matematika.
Adapun
untuk 2 orang anakku yang belum lancar membaca yakni Anggelina dan Noflin ini
aku mengajarkan mereka membaca dari pengenalan huruf. Dari kegiatan 26 huruf
alfabet saja masih banyak huruf yang anak ini tidak tahu. Belajar membaca
denganku berlangsung agak lama. Setelah dua minggu belajar membaca setiap
istirahat, akhirnya anak ini hanya tidak bisa membedakan huruf g, j, dan y.
Hasil tak akan mendustai proses, nak. Perjuangan kami berlatih membaca
membuahkan hasil yang lumayan. Akhirnya kedua anakku Anggelina dan Noflin dapat
membaca meski masih dalam level mengeja. Aku bersyukur hadir disini untuk
sekedar membela mereka dari tudingan guru lain yang menjudge mereka berdua
“idiot”.
“Semua anak-anak
terlahir dengan karunianya masing-masing, Tuhan telah menyediakan banyak
kacamata, silahkan kalian pilih sendiri kacamata lain untuk melihat potensi itu.”
Banyak kejadian
lucu maupun mengharukan yang telah kami lalui bersama. Sebagai guru yang
menerapkan rasa disiplin, aku selalu saja mengecek persentase anak-anakku yang akan menghadapi ujian ini
setiap minggunya. Biasanya melalui pengecekan kehadiran kita akan mengetahui
siapa saja yang alpha tidak ada kabar dan harus ditelusuri penyebabnya. Banyak
guru yang menyepelekan hal yang aku lakukan.
“Aduh
kakak ini buang-buang waktu sama bensin saja. Biar saja to mereka mau pintar
atau bodoh” kata salah satu guru
“Homevisit
itu perlu pak. Kasihan dia kalau ternyata ada permasalahan di rumah siapa tahu aku
bisa bantu” Jawabku tegas
“Ah
kalau aku sama anak-anak Mati Pi*”
kata guru tersebut. (*persetan)
Ada
kenyataan mencengangkan yang membuatku tetap menulikan telinga dari omongan
teman guru tentang ketidakpedulian mereka terhadap muridku. Sekitar Bulan
Desember 2017, aku mulai kehilangan salah satu anak muridku yang selalu aktif
dalam pelajaran pembelajaran. Berdasarkan narasumber terpercaya, Okto sedang
mengalami masalah keluarga. Ayahnya yang merantau di Kalimantan sudah hilang
kabar 3 bulan lalu sehingga membuat Ibunya Okto stres. Semua saudara termasuk
Okto tidak boleh bersekolah lagi oleh Ibunya. Kakak pertama Okto masih kelas 2
SMA, kakak keduanya kelas 1 SMP, si Okto kelas 6 dan si kecil yang menduduki
kelas 1 SD. Sepulang sekolah akupun bergegas mencari rumah Okto. Berkomunikasi
dengan Ibu Okto agak menyulitkan karena ibunya tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia.
Dengan bantuan kakaknya Okto aku menasehati beliau akan pentingnya pendidikan
dan meminta secara khusus agar Okto diperbolehkan setidaknya menyelesaikan
pendidikannya dulu di SD. Mama Oktopun mengiyakan permintaan aku meskipun aku
juga ragu sebetulnya. Sejak hari itu Okto mulai bersekolah lagi, bahagia juga
melihatnya hadir dengan balutan merah-putih lagi. Suatu sore saat berlatih
pramuka iseng bertanya padanya,
“Okto, Mama dengan
saudaranya Okto sehat semuakan?” tanyaku polos
“...........” (tanpa
berkata-kata menubruk dadaku dan membenamkan erat disitu untuk menangis
sesenggukan).
“Okto menangis dulu
gapapa, keluarkan semua bebannya Okto ya biar lega. Nanti kalau sudah lega
cerita sama ibu” kataku sambil mengelus-elus rambutnya lembut.
“Ibu, Mama sudah pergi
dengan adik. Aku pulang sekolah sudah tidak ada orang. Sekarang kami bertiga
saja dengan kakak” katanya sambil masih menangis.
Aku hanya bisa menyabarkannya dengan kata-kata
lembut. Pelukan ini kuharap dapat mengobati lukamu Okto. Kamu masih sangat
kecil namun begitu kuat. Ibu yakin kamu akan mampu melewati semua ini. Tuhan
Yesus tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan kita nak. Akhirnya Okto
dan kedua kakaknya tetap bertahan itu dengan panenan jagung mereka. Kamipun
mencoba membantu semampu kami untuk menyemangati mereka.
“Kawan,
jadilah guru yang memiliki dada selebar samudera dan bahu sekokoh
baja karena anak-anak didikmu benar-benar membutuhkanmu di saat tertentu.”
Waktu cepat
bergulir, kami selalu saja sibuk dengan les tambahan untuk persiapan UN setiap
pulang sekolah. Tepat tanggal 16 Mei 2017, anak-anak SD melaksanakan Ujian
Nasional. Senin pagi itu aku menyempatkan diri untuk bertemu anak-anakku sebelum
menunaikan tugas mengawas di SD terdekat. Melihat kedatanganku, anak-anak kelas
6 langsung mendatangiku berbondong-bondong.
“Ibu,
kami takut....” kata mereka
“Tidak
usah takut, kalian sudah berlatih berkali-kali dan berhasilkan. Yang penting
yakin sama kemampuan diri sendiri ya. Jangan menyontek, yakin sama kemampuanmu.
Jangan lupa berdoa sama Tuhan Yesus biar dimudahkan Ujiannya...” jawabku
menenangkan
“Iya
ibu....” (sambil salah satu mereka memelukku disusul yang lainnya)
Hati siapa yang
tak jatuh cinta mereka. Tingkah polos mereka dan rasa cintanya mereka membuatku
nyaman di pengabdian. Kuelus lembut rambut mereka satu-satu sambil berkata
“Kamu pasti bisa, nak. Tak usah takut ya!” nasehatku optimis.
Sebulan
kemudian tepatnya tanggal 17 Juni 2017, kelas 6 akan menerima hasil kelulusan
mereka. Ada binar dimata mereka, namun terdapat rasa sedih mendalam harus
meninggalkan tempat yang telah mengasuh mereka selama 6 tahun. Aku juga sedih
akan kehilangan mereka yang selama 9 bulan terakhir ini telah memanggilku
dengan sebutan Ibu Guru. Hari itu mereka sangat gagah dengan balutan baju adat berupa
tais (kain adat wanita) dan bete (kain adat laki-laki) yang didampingi oleh
kedua orangtua mereka. Hasilnya SD Inpres Bora dengan 35 peserta Ujian Nasional
dinyatakan lulus semua.
Bahagia
rasanya bisa mendampingi anak-anak dalam menggapai kelulusan. Terharu sekali
setelah menerima amplop kelulusan, mereka mencium tanganku tulus sambil bilang
“Ibu, terimakasih banyak”. Bahagiaku telah lengkap dengan pencapaian nilai yang
luar biasa oleh seorang muridku bernama Yunita Marlin Nahak yang biasa disapa
dengan nama Bellak. Bellak mendapatkan nilai tertinggi Matematika di SDI Bora
yakni mencapai 8,75. Sungguh pencapaian luar biasa dibandingkan dengan mata
pelajaran Bahasa Indonesia dan IPA. Ibunda dari Bellak sungguh menghormatiku,
bagaimana bisa dia yang lebih tua itu mencium tanganku. Aneh-aneh saja beliau
itu, saat aku memprotes Ibunda Bellak mengatakan “Tidak apa-apa Ibu. Ini aku
lakukan karena aku betul-betul berterimakasih
dengan Ibu Anik. Ini juga Hadiah buat Ibu ya. (sambil mengalungkan selendang
tenun di leherku). “Terima Kasih mama” Tangisku pecah. Hari ini atas inisiatif
kepala sekolah, aku diberikan perintah untuk menyampaikan kesan pesan dan salam
perpisahan untuk anak-anakku serta mengingat keberadaanku di SDI Bora tinggal 2
Bulan. Menurutku ini terlalu dini, namun karena merupakan instruksi atasan
akhirnya aku penuhi juga. Setelah basa-basi memperkenalkan diri, akupun hanya
menyampaikan apa yang ada di benakku selama ini tentang kenangan indah kami
semua. Kenangan kami setelah 9 bulan bersama. Entah kenapa semua orangtua dan
anak-anak aku menangis, tangis mereka kususul juga. Dengan dada sesak akupun
mencoba tetap bernasehat pada mereka “Teruntuk kalian semua anak-anak kelas
Pemimpi, tetap bermimpi nan tinggi agar Tuhan Yesus dapat memeluk mimpi-mimpi
kalian. Tetap semangat menghadapi jenjang yang lebih tinggi, Ibu hanya dapat
mengantar kalian sampai disini. Tetaplah jadi anak yang periang, penuh
semangat, dan kejarlah mimpi-mimpi kalian. Kelak jadilah orang-orang sukses
yang melebihi Bapak Ibu Gurumu karena kami masih akan tetap menjadi guru
sedangkan kalian bisa menjadi apapun yang kalian mau. Ingatlah
kenangan-kenangan manis kita disekolah selama 9 bulan, terima kasih telah
mengukir kenangan indah itu bersama ibu. Canda tawa, rasa jengkel, keramaian yang
menyelimuti kelas 6 akan selalu ibu rindukan. Simpan itu baik-baik dalam hati
ya nak, semoga kelak kita bisa bertemu kembali dalam kesempatan lain. Selamat
menyambut dunia biru-putih, tumbuhlah menjadi remaja yang baik karena bapak ibu
guru akan selalu ada untuk kalian meskipun hanya sebatas doa.
“Selamat jalan
anak-anakku akung, kejarlah mimpimu! Di pundakmu harapan keluarga dan bangsamu
berada.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar