Translate

Minggu, 20 Agustus 2017

Yang Menakutkan Bukanlah Berpisah, Melainkan Melupakan




Oleh : Avianingsih, S.Pd

“Ee... ka lo fa Ibu Avi mnaoen” (Tidak lama Ibu Avi sudah jalan).

Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Tidak terasa, sudah tiga ratus kali fajar, hampir satu tahun aku menempati kota ini, desa ini, bersama keluarga ini. Begitu banyak kenangan tak terlupakan mulai dari tangis haru sampai tawa ria.
Aku tinggal dengan keluarga dawan. Lebih tepatnya keluarga besar dawan. Dawan adalah salah satu bahasa di Kabupaten Malaka. Sehingga, tidak bisa hanya kenalkan satu mamak atau satu bapak saja. Memang aku tinggal dalam rumah dengan satu mamak, tetapi meskipun begitu aku merasakan kasih sayang dari beberapa mamak dan bapak sekaligus. Aku perkenalkan terlebih dahulu keluargaku. Mamak yang tinggal denganku adalah sulung dari delapan bersaudara. Tetapi dua diantaranya telah meninggal, sehingga tersisa enam orang tua yang aku kenal saat ini. Yang dari keenamnya tidak kurang sama sekali dalam hal menyayangiku. Mereka kebetulan tinggal dalam satu lingkungan di sebuah desa.
Adalah Ain (berasal dari kata Aina yang berarti mamak dalam Bahasa Dawan) Manas yang setia menemani saya setiap harinya, dia si sulung. Kelima adiknya secara berurutan ada Ain Noas,Ain Kau, Bapak Anis, Ain Beth, dan yang terakhir ada Ain Heny. Kelimanya, sangat memperhatikanku. Bahkan lebih mengutamakanku dibandingkan anak kandungnya sendiri. Sebab itu, aku anggap mereka semua adalah mamak dan bapak saya sendiri. Kusayangi mereka seperti halnya ku sayangi orang tua kandungku.
Berbicara tentang saudaraku yang lain, kakak? Aku tidak pernah menghitung ada berapa banyak mereka. Begitu pun adikku. Buanyak. Ramai ya? Iya, ramai... Yaaa, jadi merekalah keluargaku selama satu tahun di perantauan.

Orang-orang di sini sangat penyayang. Hal itulah yang terkadang membuatku malu. Aku orang Jawa yang katanya dikenal dengan sifat lemah lembutnya, merasa terkalahkan oleh mereka. Mereka adalah orang Timor yang berdasarkan ceritera terkenal dengan sifat kerasnya. Salah. Saya membuktikan bahwa kata orang itu adalah hoax alias tidak benar.

            Ajaibnya, mamakku yang sering aku panggil dengan sebutan ‘aina’ tidak bisa berbahasa Indonesia. Sedangkan saya? Saya juga tidak diragukan lagi tidak bisa berbahasa Dawan. Bagaimana kita berkomunikasi? Ya, dengan didampingi translator handal (dalam hal ini kakak/adik). Mereka harus stay menemaniku kemana pun aku pergi. Tugas mereka yaitu menerjemahkan maksud pembicaraan aina ke dalam Bahasa Indonesia, kemudian saya menanggapi menggunakan Bahasa Indonesia dan mereka kembali bertugas menerjemahkan ke dalam Bahasa Dawan. Begitu seterusnya. Memang cukup merepotkan. Tetapi sama sekali mereka tidak mengeluh, malah terkadang menjadi bahan candaan mereka karena lucu melihat saya yang kewalahan menanggapi Bahasa Dawan aina ku. Tidak nyambung sama sekali.
Bisa dibayangkan bagaimana repotnya berkomunikasi dengan aina apabila tidak ada kakak atau adik. Jika mereka kebetulan sedang ada keperluan di luar, mau tidak mau aku tinggal berdua dengan aina. Kita duduk diam ‘baku nonton’ (saling pandang) karena kita bingung sendiri mau berceritera apa. Sekalinya aina mengajak saya bicara dengan Bahasa Dawannya, dan aku biasanya hanya asal-asalan Jawab ‘iya’. Apabila aina sudah tertawa dan bilang “maut naik ibu” (biar sudah ibu), itu berarti Jawaban saya tidak nyambung. Kalau sudah begitu kami hanya bisa tertawa. Kejadian seperti itu sering terjadi. Aina berbicara apa, aku menjawabnya lain. Akhirnya aku menyerah dan lebih memilih untuk menggunakan bahasa isyarat agar sedikit memberikan petunjuk kepada aina apa yang sedang aku bicarakan. Itu pun jika dibutuhkan sekali kita berbincang. Jika tidak ada yang penting dibicarakan, maka kami lebih banyak terdiam.
Pernah dalam suatu sore, aina sedang masak di dapur dan hari sudah mulai gelap. Aina memanggilku dengan berkata “ibu, aum. Fe kit paku”(ibu, mari dulu. Ambilkan pelita – yang karena memang di tempatku tinggal masih belum ada listrik sehingga biasa menggunakan pelita). Aku dengan percaya diri langsung menyahut aina “iya”, lalu terburu-buru mencari paku siapa tahu di simpan memang di kamarku. Tidak ada. Lalu aku cari sampai diruang tamu, di kamar sebelah tetapi tidak ada juga. Kakak memperhatikanku sambil menahan tawa, dari tadi memang kakak bersama kami sengaja tidak memberi tahuku apa yang dimaksud aina. Setelah aku terlihat putus asa mencari, baru kakak bertanya kepadaku. “Ibu ada buat apa?”. Aku Jawab saja, “mencari paku”. Kakak langsung tertawa keras. Aku jadi punya firasat tidak enak, jangan-jangan aku salah sangka. Ku tanya saja pada kakak, “tadi aina bilang apa?”. “aina bilang ibu disuruh ambilkan pelita, paku itu artinya pelita ibu”. Akhirnya kita tertawa bersama atas kebodohanku, pun aina yang setelah itu diceritakan oleh kakak apa yang telah terjadi.
Cerita-cerita kebodohanku berlangsung terus menerus selama beberapa bulan pertama aku berada di sini. Beberapa bulan berikutnya, aku sudah mulai terbiasa dan mengerti Dawan. Ketika aina berbicara Bahasa Dawan saya sudah bisa mengerti begitu sebaliknya aina, ketika aku bicara pakai Bahasa Indonesia aina juga sudah bisa mengerti. Apa yang kakak ajarkan padaku juga sudah terekam banyak di ingatanku. Tak hanya kakak, anak-anak di sekolah juga tidak jarang mengajariku berbahasa dawan. Terhitung sampai saat ini Bulan Juli, kosa kata Bahasa Dawanku sudah mencapai 200 lebih kata. Dari mulai kata paling sederhana yang sering digunakan ‘tah’ yang artinya makan, ‘tiun’ yang artinya minum, ‘tup’ yang artinya tidur, dan masih banyak lainnya. Sampai pada katagabung atau kalimat yang sering digunakan juga seperti kalimat sapaan ‘haimfinien’ yang artinya kami terus dulu, ‘aum tok’ mari singgah duduk dulu, dan lain sebagainya. Aku tulis memang kata-kata yang sudah kuhafal di buku catatanku, karena aku menolak untuk lupa. Paling tidak, itu sebagai bukti bahwa aku pernah berada di sini, di kampung ini, bersama keluarga ini.
Aku takut, takut kalau suatu saat nanti setelah kepulanganku mereka lupa. Yang paling menakutkan jika aku yang sampai melupakan mereka. Setelah satu tahun tanpa pamrih, rasa-rasanya tidak adil jika aku sampai hati melupakan mereka. Memang bukan karena aku mau, tetapi terkadang keadaan memaksa kita untuk lupa. Karena itu aku sering menjanjikan kepada mereka (yang lebih kepada berharap, berdoa) saya akan kembali lagi kesini suatu saat nanti. Menjenguk mereka, melihat keadaan mereka, orang tua asuhku, keluarga asuhku. Semoga.
Saya ingat kata aina waktu itu, “ka nikan fa, ibu avi” yang artinya ‘tidak akan lupa ibu avi’. Mereka bilang tidak akan lupa kepadaku. Dalam hati aku menjawab, “aku juga tidak (mau) lupa kalian”.


2 komentar:

  1. Sangat menginspirasi, dapet feelnya. Semoga tali silaturrahim selalu terjaga. aamiin

    BalasHapus