Oleh : Avianingsih, S.Pd
“Ee...
ka lo fa Ibu Avi mnaoen” (Tidak lama Ibu Avi sudah jalan).
Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Tidak
terasa, sudah tiga ratus kali fajar, hampir satu tahun aku menempati kota ini,
desa ini, bersama keluarga ini. Begitu banyak kenangan tak terlupakan mulai
dari tangis haru sampai tawa ria.
Aku tinggal dengan
keluarga dawan. Lebih tepatnya keluarga besar dawan. Dawan adalah salah satu
bahasa di Kabupaten Malaka. Sehingga, tidak bisa hanya kenalkan satu mamak atau
satu bapak saja. Memang aku tinggal dalam rumah dengan satu mamak, tetapi
meskipun begitu aku merasakan kasih sayang dari beberapa mamak dan bapak
sekaligus. Aku perkenalkan terlebih dahulu keluargaku. Mamak yang tinggal
denganku adalah sulung dari delapan bersaudara. Tetapi dua diantaranya telah
meninggal, sehingga tersisa enam orang tua yang aku kenal saat ini. Yang dari
keenamnya tidak kurang sama sekali dalam hal menyayangiku. Mereka kebetulan
tinggal dalam satu lingkungan di sebuah desa.
Adalah Ain (berasal
dari kata Aina yang berarti mamak dalam Bahasa Dawan) Manas yang setia menemani
saya setiap harinya, dia si sulung. Kelima adiknya secara berurutan ada Ain
Noas,Ain Kau, Bapak Anis, Ain Beth, dan yang terakhir ada Ain Heny. Kelimanya, sangat
memperhatikanku. Bahkan lebih mengutamakanku dibandingkan anak kandungnya
sendiri. Sebab itu, aku anggap mereka semua adalah mamak dan bapak saya sendiri.
Kusayangi mereka seperti halnya ku sayangi orang tua kandungku.
Berbicara tentang
saudaraku yang lain, kakak? Aku tidak pernah menghitung ada berapa banyak
mereka. Begitu pun adikku. Buanyak. Ramai ya? Iya, ramai... Yaaa, jadi
merekalah keluargaku selama satu tahun di perantauan.
Orang-orang di sini
sangat penyayang. Hal itulah yang terkadang membuatku malu. Aku orang Jawa yang
katanya dikenal dengan sifat lemah lembutnya, merasa terkalahkan oleh mereka.
Mereka adalah orang Timor yang berdasarkan ceritera terkenal dengan sifat
kerasnya. Salah. Saya membuktikan bahwa
kata orang itu adalah hoax alias
tidak benar.
Ajaibnya,
mamakku yang sering aku panggil dengan sebutan ‘aina’ tidak bisa berbahasa
Indonesia. Sedangkan saya? Saya juga tidak diragukan lagi tidak bisa berbahasa
Dawan. Bagaimana kita berkomunikasi? Ya, dengan didampingi translator handal (dalam hal ini kakak/adik). Mereka harus stay menemaniku kemana pun aku pergi. Tugas
mereka yaitu menerjemahkan maksud pembicaraan aina ke dalam Bahasa Indonesia,
kemudian saya menanggapi menggunakan Bahasa Indonesia dan mereka kembali
bertugas menerjemahkan ke dalam Bahasa Dawan. Begitu seterusnya. Memang cukup
merepotkan. Tetapi sama sekali mereka tidak mengeluh, malah terkadang menjadi
bahan candaan mereka karena lucu melihat saya yang kewalahan menanggapi Bahasa
Dawan aina ku. Tidak nyambung sama sekali.
Bisa dibayangkan
bagaimana repotnya berkomunikasi dengan aina apabila tidak ada kakak atau adik.
Jika mereka kebetulan sedang ada keperluan di luar, mau tidak mau aku tinggal
berdua dengan aina. Kita duduk diam ‘baku nonton’ (saling pandang) karena kita
bingung sendiri mau berceritera apa. Sekalinya aina mengajak saya bicara dengan
Bahasa Dawannya, dan aku biasanya hanya asal-asalan Jawab ‘iya’. Apabila aina
sudah tertawa dan bilang “maut naik ibu” (biar sudah ibu), itu berarti Jawaban
saya tidak nyambung. Kalau sudah begitu kami hanya bisa tertawa. Kejadian
seperti itu sering terjadi. Aina berbicara apa, aku menjawabnya lain. Akhirnya
aku menyerah dan lebih memilih untuk menggunakan bahasa isyarat agar sedikit
memberikan petunjuk kepada aina apa yang sedang aku bicarakan. Itu pun jika
dibutuhkan sekali kita berbincang. Jika tidak ada yang penting dibicarakan,
maka kami lebih banyak terdiam.
Pernah dalam suatu
sore, aina sedang masak di dapur dan hari sudah mulai gelap. Aina memanggilku
dengan berkata “ibu, aum. Fe kit paku”(ibu, mari dulu. Ambilkan pelita – yang
karena memang di tempatku tinggal masih belum ada listrik sehingga biasa
menggunakan pelita). Aku dengan percaya diri langsung menyahut aina “iya”, lalu
terburu-buru mencari paku siapa tahu di simpan memang di kamarku. Tidak ada.
Lalu aku cari sampai diruang tamu, di kamar sebelah tetapi tidak ada juga.
Kakak memperhatikanku sambil menahan tawa, dari tadi memang kakak bersama kami
sengaja tidak memberi tahuku apa yang dimaksud aina. Setelah aku terlihat putus
asa mencari, baru kakak bertanya kepadaku. “Ibu ada buat apa?”. Aku Jawab saja,
“mencari paku”. Kakak langsung tertawa keras. Aku jadi punya firasat tidak
enak, jangan-jangan aku salah sangka. Ku tanya saja pada kakak, “tadi aina
bilang apa?”. “aina bilang ibu disuruh ambilkan pelita, paku itu artinya pelita
ibu”. Akhirnya kita tertawa bersama atas kebodohanku, pun aina yang setelah itu
diceritakan oleh kakak apa yang telah terjadi.
Cerita-cerita
kebodohanku berlangsung terus menerus selama beberapa bulan pertama aku berada
di sini. Beberapa bulan berikutnya, aku sudah mulai terbiasa dan mengerti Dawan.
Ketika aina berbicara Bahasa Dawan saya sudah bisa mengerti begitu sebaliknya
aina, ketika aku bicara pakai Bahasa Indonesia aina juga sudah bisa mengerti.
Apa yang kakak ajarkan padaku juga sudah terekam banyak di ingatanku. Tak hanya
kakak, anak-anak di sekolah juga tidak jarang mengajariku berbahasa dawan.
Terhitung sampai saat ini Bulan Juli, kosa kata Bahasa Dawanku sudah mencapai
200 lebih kata. Dari mulai kata paling sederhana yang sering digunakan ‘tah’
yang artinya makan, ‘tiun’ yang artinya minum, ‘tup’ yang artinya tidur, dan
masih banyak lainnya. Sampai pada katagabung atau kalimat yang sering digunakan
juga seperti kalimat sapaan ‘haimfinien’ yang artinya kami terus dulu, ‘aum
tok’ mari singgah duduk dulu, dan lain sebagainya. Aku tulis memang kata-kata
yang sudah kuhafal di buku catatanku, karena aku menolak untuk lupa. Paling
tidak, itu sebagai bukti bahwa aku pernah berada di sini, di kampung ini,
bersama keluarga ini.
Aku takut, takut kalau
suatu saat nanti setelah kepulanganku mereka lupa. Yang paling menakutkan jika
aku yang sampai melupakan mereka. Setelah satu tahun tanpa pamrih, rasa-rasanya
tidak adil jika aku sampai hati melupakan mereka. Memang bukan karena aku mau,
tetapi terkadang keadaan memaksa kita untuk lupa. Karena itu aku sering
menjanjikan kepada mereka (yang lebih kepada berharap, berdoa) saya akan
kembali lagi kesini suatu saat nanti. Menjenguk mereka, melihat keadaan mereka,
orang tua asuhku, keluarga asuhku. Semoga.
Saya ingat kata aina
waktu itu, “ka nikan fa, ibu avi” yang artinya ‘tidak akan lupa ibu avi’.
Mereka bilang tidak akan lupa kepadaku. Dalam hati aku menjawab, “aku juga tidak (mau) lupa kalian”.
Sangat menginspirasi, dapet feelnya. Semoga tali silaturrahim selalu terjaga. aamiin
BalasHapusSweet mother teacher..**
BalasHapus