Oleh : David Nurhusin, S.Pd
Bismillahirrahmanirrahim..
Sebagai seorang pemuda, energi yang
menggebu-gebu disertai rasa ingin tahu yang begitu besar, sudah sangat wajar
bila pergi merantau menjadi pilihan demi memuaskan dan menyalurkan energi tersebut.
Suatu perjalanan jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat demi memperkaya
pengalaman, dengan harapan pulang membawa segudang pengetahuan dan menjadi
pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. SM-3T: Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar
Tertinggal, program pemerintah untuk para guru muda ini yang menjadi pilihan
saya dalam petualangan kali ini.
Sistem perekrutan SM-3T menggunakan
sistem kontingen. Ada beberapa perguruan tinggi (LPTK) yang bekerjasama dengan
pemerintah sebagai penyelenggara seleksi SM-3T. Hampir di setiap wilayah
kepulauan Indonesia minimal ada satu perguruan tinggi (LPTK) yang
menyelenggarakan seleksi SM-3T dan peserta yang berminat diharuskan memilih
salah satu LPTK tersebut sebagai tempat seleksi sekaligus kontingennya kelak
bila terpilih. Namun sayang
sekali, saya yang berasal dari Kalimantan Selatan cukup kesulitan untuk memilih
LPTK terdekat, hal ini dikarenakan pada tahun 2016 tidak ada LPTK di pulau
Kalimantan yang menyelenggarakan seleksi SM-3T. Hal tersebut membuat saya harus
memilih LPTK diluar Kalimantan yang tentu saja juga membutuhkan biaya akomodasi
yang tidak sedikit nantinya. Atas beberapa pertimbangan sayapun memilih LPTK
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebagai tempat seleksi dan kontingen saya
kelak.
Setelah melalui tahapan-tahapan
seleksi, mulai dari administrasi, pengetahuan umum, wawancara, hingga seleksi
terakhir prakondisi selama kurang lebih 2 minggu di Akademi Angkatan Udara
(AAU) Yogyakarta. Menghadapi berbagai tes ketahanan fisik, mental, disiplin, di bawah bimbingan komandan AAU. Terhitung
sejak September 2016, kurang lebih selama 1 tahun kedepan saya bertugas di
daerah 3T sebagai tenaga pengajar.
Alhamdulillah. Kali ini bersama 52 rekan SM-3T dari UNY
ditempatkan di daerah baru di bagian Indonesia Timur yang sangat kaya akan keindahan
laut, pegunungan, dan adat budayanya. SMP Katolik Sulama Kada, Dusun Kada, Desa
Lakekun Barat, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, adalah rumah ke dua saya selama 1 tahun ke depan.
Penempatan tugas SM-3T di NTT
memang bukan pertama kali. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah menempatkan
SM-3T di beberapa kabupaten di provinsi ini setiap tahunnya, sehingga masyarakat NTT
tidak terlalu asing dengan SM-3T atau mereka lebih mengenalnya dengan sebutan
Guru Perbatasan, Guru Garis Depan, Guru Kontrak Pusat, dan sebagainya. Namun
untuk Kabupaten Malaka sendiri sebagai kabupaten baru memang merupakan pertama
kali mendapatkan guru SM-3T, sehingga memang di perlukan sosialisasi kepada masyarakat
sekitar.
Selama perjalanan ke daerah
penempatan, memang sudah terbayang-bayang akan menemukan banyak hal baru yang
mungkin menyenangkan atau mungkin juga menjadi tantangan. Dan benar saja, kesan
luar biasa sudah saya rasakan sejak pertama kali disambut di tempat ini.
Berkesempatan tinggal di lingkungan Gereja, bertetanggaan langsung dengan Romo
(pemimpin agama Katolik), menempati asrama gereja tua yang tidak terlalu besar
yang konon didirikan sejak jaman Belanda, merupakan hal pertama dalam hidup saya.
Saya bersyukur. 1 tahun kedepan akan sangat luar biasa dan pasti menarik! Bisik
saya dalam hati
Sebagai kabupaten baru, dengan
segala kelebihan dan keterbatasannya, Malaka memang layak disebut sebagai salah
satu daerah 3T, bahkan di beberapa desa yang lebih terpencil bisa di
kategorikan 4T, 5T dan seterusnya. Ya, kabupaten muda ini masih berproses
mennuju daerah yang lebih baik dari sebelumnya. Kabupaten ini berbatasan
langsung dengan negara tetangga Timor Leste dan memiliki salah satu gerbang
yang menghubungkan antara Indonesia dan Timor Leste (di NTT ada 3 gerbang
perbatasan).
Banyak orang mengenal
saudara-saudara kita di Indonesia bagian timur dengan ciri khas kulitnya yang
gelap, namun di Kabupaten Malaka
sebagai salah satu daerah timur, masyarakatnya juga banyak yang berkulit putih
seperti di Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Salah satu yang mengesankan
saya disini, adalah budaya tegur sapanya yang sangat baik, yang saya rindukan
karena mulai jarang saya temui di kota-kota di daerah asal saya. Yang tua
maupun muda selalu tegur sapa sembari tersenyum bila bertemu di jalan, selamat
pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, minimal kata “selamat” saja
juga sudah cukup. Kearifan lokal yang luar biasa
Hidup bermasyarakat di NTT memang
cukup mengejutkan. Saya yang sebelumnya hanya menyaksikan lewat televisi
bagaimana kehidupan di NTT, belum cukup membuat saya terbiasa saat beberepa
bulan merasakan langsung bersentuhan dengan kehidupan di sini. Sebagai
satu-satunya Muslim yang tinggal di desa yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Katholik, saya perlu waktu adaptasi yang cukup lama. Namun bukan berarti
menghindar, justru inilah tantangannya. Dan Alhamdulillah warga sekitar
memiliki toleransi yang tinggi dan kasih sayang kepada saya sebagai warga baru.
Tidak sedikit undangan acara yang saya terima dan yang mampu saya hadiri sejak
pertama kali tiba di penempatan. Hampir tiap minggu saya ikut menghadiri pesta
syukuran warga hingga
ke desa-desa sebelah yang waktu penyelenggaraan pestanya selalu malam hari.
Untunglah saya selalu didampingi oleh rekan guru lokal di penempatan yang tidak
bosan selalu mengingatkan saya perihal hidangan pesta yang harus saya hindari,
daging babi dan daging anjing misalnya. Pada beberapa acara warga, bila tiba
waktu makan bersama saya hanya mengambil nasi, mie dan kerupuk sebagai lauknya.
Namun ada juga warga yang menyediakan hidangan khusus warga Muslim di acaranya,
yang biasanya di tandai dengan tirai hijau untuk tempatnya, tergangtung dari
pemandu acara yang juga biasanya memberikan instruksi saat acara makan bersama.
Di lingkungan sekolah, saya pun
mendapat kejutan yang luar biasa,
salah satunya adalah aktivitas pendisiplinan siswa oleh guru-guru piket dengan
menggunakan metode hukumkan fisik. Memang bukan hal baru bila di Indonesia
bagian timur terkenal dengan wataknya yang keras dari segala aspek, termasuk
dunia pendidikan. Oleh karena itu, saya mendapat penjelasan dari kepala sekolah
dan guru-guru serta permintaan mereka agar saya maklum perihal kebiasaan pendisiplinan
siswa disini yang menggunakan hukuman fisik. Sekitar tiga bulan pertama saya sangat
iba bila setiap kali menyaksikan siswa-siswi yang pipi dan pantatnya merah
terkena “sentuhan kasih sayang” dari guru-guru, belum lagi bila bunyinya cukup
keras hingga memecah keheningan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan,
sayapun mulai terbiasa menyaksikannya. Dan satu hal yang juga mengesankan saya,
setiap siswa-siswi yang telah mendapatkan sentuhan kasih sayang tersebut tidak
ada yang saya temui menangis, mereka justru menahan rasa sakit dengan wajah
tertawa, seola-olah itu semua hanya candaan bagi mereka, padahal saya yang
melihat dan mendengar bunyinya ikut membayangkan sakitnya sentuhan tersebut J.
Seperti apa yang pak kepala sekolah pernah sampaikan kepada saya, “Pak David,
kami Anak Timor ini memang batu
karang semua. Keras. Kami tidak bisa kalau tidak kena pukul. Harus pukul dulu
supaya mau ikut apa kata guru”, beliau menyampaikan dengan nada yang cukup lucu
untuk didengar. Sayapun tertawa kecil mendengarkan penjelasan beliau sambil
meng-iya-kan saja apa yang
beliau sampaikan J
Walau berada dalam lingkungan
pendidikan yang menerapkan hukuman fisik di dalamnya, saya bertekad tidak akan
mengikuti metode tersebut. Saya masih memiliki pilihan cara untuk
mendisiplinkan siswa yang melanggar aturan. Salah satunya mengambil air untuk
membersihkan WC sekolah dan mengisi bak airnya hingga penuh. Cukup memberi efek
jera dan bermanfaat bagi warga sekolah tentunya. Memang ada kalanya diri ini
tergoda untuk menyentuh mereka saat emosi sudah sangat tinggi, sampai-sampai
ada siswa yang langsung meminta untuk di pukul. “Pak.. Pak David kalau mau
pukul, pukul saja tidak apa-apa Pak. Kami ini harus di pukul dulu baru bisa
ikut. Bapak harus tegas. Tidak apa-apa Pak”, kata salah seorang murid.
Mendengar kalimat seperti itu saya merasa lirih, bingung, apakah harus, dan
akhirnya saya putuskan untuk mendiamkannya sesaat.
Sepenggal tulisan ini hanyalah sedikit dari banyaknya
pengalaman yang bisa saya ceritakan. Terlalu banyak cerita perjuangan di
penempatan sebagai SM-3T yang mungkin akan saya lanjutkan pada
lembaran-lembaran berikutnya. Namun satu hal yang saya pastikan, perasaan suka
dan senang jauh mendominasi dari pada duka di penempatan sebagai SM-3T. Kita
semua adalah pendidik, maju mundurnya pendidikan di negara ini ada pada
tanggung jawab kita. Memang ada ratusan sebab untuk pesimis, namun masih ada
ribuan bahkan jutaan alasan untuk tetap optimis. Semangat berjuang. Salam MBMI.
Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar