Translate

Minggu, 20 Agustus 2017

SEDIKIT DARI BANYAKNYA CERITA SEORANG SM-3T







Oleh : David Nurhusin, S.Pd

Bismillahirrahmanirrahim..
Sebagai seorang pemuda, energi yang menggebu-gebu disertai rasa ingin tahu yang begitu besar, sudah sangat wajar bila pergi merantau menjadi pilihan demi memuaskan dan menyalurkan energi tersebut. Suatu perjalanan jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat demi memperkaya pengalaman, dengan harapan pulang membawa segudang pengetahuan dan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. SM-3T: Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal, program pemerintah untuk para guru muda ini yang menjadi pilihan saya dalam petualangan kali ini.

Sistem perekrutan SM-3T menggunakan sistem kontingen. Ada beberapa perguruan tinggi (LPTK) yang bekerjasama dengan pemerintah sebagai penyelenggara seleksi SM-3T. Hampir di setiap wilayah kepulauan Indonesia minimal ada satu perguruan tinggi (LPTK) yang menyelenggarakan seleksi SM-3T dan peserta yang berminat diharuskan memilih salah satu LPTK tersebut sebagai tempat seleksi sekaligus kontingennya kelak bila terpilih. Namun sayang sekali, saya yang berasal dari Kalimantan Selatan cukup kesulitan untuk memilih LPTK terdekat, hal ini dikarenakan pada tahun 2016 tidak ada LPTK di pulau Kalimantan yang menyelenggarakan seleksi SM-3T. Hal tersebut membuat saya harus memilih LPTK diluar Kalimantan yang tentu saja juga membutuhkan biaya akomodasi yang tidak sedikit nantinya. Atas beberapa pertimbangan sayapun memilih LPTK Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebagai tempat seleksi dan kontingen saya kelak.

Setelah melalui tahapan-tahapan seleksi, mulai dari administrasi, pengetahuan umum, wawancara, hingga seleksi terakhir prakondisi selama kurang lebih 2 minggu di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Menghadapi berbagai tes ketahanan fisik, mental, disiplin, di bawah bimbingan komandan AAU. Terhitung sejak September 2016, kurang lebih selama 1 tahun kedepan saya bertugas di daerah 3T sebagai tenaga pengajar.

Alhamdulillah. Kali ini bersama 52 rekan SM-3T dari UNY ditempatkan di daerah baru di bagian Indonesia Timur yang sangat kaya akan keindahan laut, pegunungan, dan adat budayanya. SMP Katolik Sulama Kada, Dusun Kada, Desa Lakekun Barat, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, adalah rumah ke dua saya selama 1 tahun ke depan.

Penempatan tugas SM-3T di NTT memang bukan pertama kali. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah menempatkan SM-3T di beberapa kabupaten di provinsi ini setiap tahunnya, sehingga masyarakat NTT tidak terlalu asing dengan SM-3T atau mereka lebih mengenalnya dengan sebutan Guru Perbatasan, Guru Garis Depan, Guru Kontrak Pusat, dan sebagainya. Namun untuk Kabupaten Malaka sendiri sebagai kabupaten baru memang merupakan pertama kali mendapatkan guru SM-3T, sehingga memang di perlukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar.

Selama perjalanan ke daerah penempatan, memang sudah terbayang-bayang akan menemukan banyak hal baru yang mungkin menyenangkan atau mungkin juga menjadi tantangan. Dan benar saja, kesan luar biasa sudah saya rasakan sejak pertama kali disambut di tempat ini. Berkesempatan tinggal di lingkungan Gereja, bertetanggaan langsung dengan Romo (pemimpin agama Katolik), menempati asrama gereja tua yang tidak terlalu besar yang konon didirikan sejak jaman Belanda, merupakan hal pertama dalam hidup saya. Saya bersyukur. 1 tahun kedepan akan sangat luar biasa dan pasti menarik! Bisik saya dalam hati

Sebagai kabupaten baru, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, Malaka memang layak disebut sebagai salah satu daerah 3T, bahkan di beberapa desa yang lebih terpencil bisa di kategorikan 4T, 5T dan seterusnya. Ya, kabupaten muda ini masih berproses mennuju daerah yang lebih baik dari sebelumnya. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan negara tetangga Timor Leste dan memiliki salah satu gerbang yang menghubungkan antara Indonesia dan Timor Leste (di NTT ada 3 gerbang perbatasan).

Banyak orang mengenal saudara-saudara kita di Indonesia bagian timur dengan ciri khas kulitnya yang gelap, namun di Kabupaten Malaka sebagai salah satu daerah timur, masyarakatnya juga banyak yang berkulit putih seperti di Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Salah satu yang mengesankan saya disini, adalah budaya tegur sapanya yang sangat baik, yang saya rindukan karena mulai jarang saya temui di kota-kota di daerah asal saya. Yang tua maupun muda selalu tegur sapa sembari tersenyum bila bertemu di jalan, selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, minimal kata “selamat” saja juga sudah cukup. Kearifan lokal yang luar biasa


Hidup bermasyarakat di NTT memang cukup mengejutkan. Saya yang sebelumnya hanya menyaksikan lewat televisi bagaimana kehidupan di NTT, belum cukup membuat saya terbiasa saat beberepa bulan merasakan langsung bersentuhan dengan kehidupan di sini. Sebagai satu-satunya Muslim yang tinggal di desa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Katholik, saya perlu waktu adaptasi yang cukup lama. Namun bukan berarti menghindar, justru inilah tantangannya. Dan Alhamdulillah warga sekitar memiliki toleransi yang tinggi dan kasih sayang kepada saya sebagai warga baru. Tidak sedikit undangan acara yang saya terima dan yang mampu saya hadiri sejak pertama kali tiba di penempatan. Hampir tiap minggu saya ikut menghadiri pesta syukuran warga hingga ke desa-desa sebelah yang waktu penyelenggaraan pestanya selalu malam hari. Untunglah saya selalu didampingi oleh rekan guru lokal di penempatan yang tidak bosan selalu mengingatkan saya perihal hidangan pesta yang harus saya hindari, daging babi dan daging anjing misalnya. Pada beberapa acara warga, bila tiba waktu makan bersama saya hanya mengambil nasi, mie dan kerupuk sebagai lauknya. Namun ada juga warga yang menyediakan hidangan khusus warga Muslim di acaranya, yang biasanya di tandai dengan tirai hijau untuk tempatnya, tergangtung dari pemandu acara yang juga biasanya memberikan instruksi saat acara makan bersama.

Di lingkungan sekolah, saya pun mendapat kejutan yang luar biasa, salah satunya adalah aktivitas pendisiplinan siswa oleh guru-guru piket dengan menggunakan metode hukumkan fisik. Memang bukan hal baru bila di Indonesia bagian timur terkenal dengan wataknya yang keras dari segala aspek, termasuk dunia pendidikan. Oleh karena itu, saya mendapat penjelasan dari kepala sekolah dan guru-guru serta permintaan mereka agar saya maklum perihal kebiasaan pendisiplinan siswa disini yang menggunakan hukuman fisik. Sekitar tiga bulan pertama saya sangat iba bila setiap kali menyaksikan siswa-siswi yang pipi dan pantatnya merah terkena “sentuhan kasih sayang” dari guru-guru, belum lagi bila bunyinya cukup keras hingga memecah keheningan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, sayapun mulai terbiasa menyaksikannya. Dan satu hal yang juga mengesankan saya, setiap siswa-siswi yang telah mendapatkan sentuhan kasih sayang tersebut tidak ada yang saya temui menangis, mereka justru menahan rasa sakit dengan wajah tertawa, seola-olah itu semua hanya candaan bagi mereka, padahal saya yang melihat dan mendengar bunyinya ikut membayangkan sakitnya sentuhan tersebut J. Seperti apa yang pak kepala sekolah pernah sampaikan kepada saya, “Pak David, kami Anak Timor ini memang batu karang semua. Keras. Kami tidak bisa kalau tidak kena pukul. Harus pukul dulu supaya mau ikut apa kata guru”, beliau menyampaikan dengan nada yang cukup lucu untuk didengar. Sayapun tertawa kecil mendengarkan penjelasan beliau sambil meng-iya-kan saja apa yang beliau sampaikan J

Walau berada dalam lingkungan pendidikan yang menerapkan hukuman fisik di dalamnya, saya bertekad tidak akan mengikuti metode tersebut. Saya masih memiliki pilihan cara untuk mendisiplinkan siswa yang melanggar aturan. Salah satunya mengambil air untuk membersihkan WC sekolah dan mengisi bak airnya hingga penuh. Cukup memberi efek jera dan bermanfaat bagi warga sekolah tentunya. Memang ada kalanya diri ini tergoda untuk menyentuh mereka saat emosi sudah sangat tinggi, sampai-sampai ada siswa yang langsung meminta untuk di pukul. “Pak.. Pak David kalau mau pukul, pukul saja tidak apa-apa Pak. Kami ini harus di pukul dulu baru bisa ikut. Bapak harus tegas. Tidak apa-apa Pak”, kata salah seorang murid. Mendengar kalimat seperti itu saya merasa lirih, bingung, apakah harus, dan akhirnya saya putuskan untuk mendiamkannya sesaat.

Sepenggal tulisan ini hanyalah sedikit dari banyaknya pengalaman yang bisa saya ceritakan. Terlalu banyak cerita perjuangan di penempatan sebagai SM-3T yang mungkin akan saya lanjutkan pada lembaran-lembaran berikutnya. Namun satu hal yang saya pastikan, perasaan suka dan senang jauh mendominasi dari pada duka di penempatan sebagai SM-3T. Kita semua adalah pendidik, maju mundurnya pendidikan di negara ini ada pada tanggung jawab kita. Memang ada ratusan sebab untuk pesimis, namun masih ada ribuan bahkan jutaan alasan untuk tetap optimis. Semangat berjuang. Salam MBMI. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar