Assalamualaikum
warohmatullohiwabarokatuhu.
Salam MBMI.
Sebelum
bercerita, perkenalkan nama saya Nurul Aprianingsih alumni Universitas
Muhammadiyah Purworejo angkatan 2011 dan lulus pada tahun 2015. Saya adalah
salah satu guru SM-3T yang di tempatkan
di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 4 September 2016 saya
dan teman-teman sepenempatan berangkat dari bandara menuju NTT dengan transit
di Surabaya. Tibalah saya di Bandara Kupang. Perjalanan dari Kupang ke Malaka
sekitar 8 jam menggunakan travel yang sudah disediakan. Keesokan harinya saya beserta
rombongan menuju kantor Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Malaka yang dilanjut ke Kantor Bupati untuk mendengarkan dan mendapatkan SK
Bupati mengenai penempatan. Satu persatu nama dipanggil dan akhirnya disebutlah
nama saya. Saya ditempatkan di SMP Negeri Fatukoan, Kecamatan Rinhat. Saya menggunakan otto—sejenis mobil bak terbuka yang
dimodifikasi dengan atap ditutup terpal dan ada beberapa kayu sebagai tempat
duduk-menuju tempat sasaran. Jalan menuju
tempat sasaran penuh dengan guncangan karena medan yang mendaki dan belum aspal
yangterdiri dari batu lepas. Saya sampai sekarang tinggal dengan keluarga Bapak
Fransiskus Seran, S.Ag., yang juga mengajar agama Katholik di sekolah tempat
saya mengabdi.
Mayoritas
penduduk NTT adalah Katholik dan Protestan. Saya berada di
lingkungan Katholik yang kental tetapi tinggi tingkat toleransinya. Hari pertama saya
diberi pengalaman menyembelih dua ayam sekaligus, ini adalah pengalaman pertama
saya. Setiap
rumah memiliki lebih dari satu anjing. Kebetulan di rumah orang tua asuh ada
sekitar ±10 ekor anjing. Tentu
saja saya harus menyesuaikan to. Bahasa di sini ada 3
yaitu Bahasa Tetun, Bahasa Dawan dan Bahasa Bunaq. Mayoritas penduduk kota
menggunakan Bahasa Tetun sedangkan daerah saya menggunakan Bahasa Dawan tetapi
untuk bahasa yang digunakan di sekolah tetap Bahasa Indonesia dengan logat
orang timur punya. Bahasa Tetun “Ha lai” artinya makan dulu dan “Mai Ha lai”
artinya mari makan dulu.
Makanan
pokok penduduk di daerah sini adalah jagung, singkong, talas dan beras. Jagung dalam Bahasa
Tetun masyarakat menyebut “Batar”. Olahan makanan yang berbahan dasar
jagung diantaranya adalah bose. Cara
membuat jagung bose adalah dengan menumbuk jagung dalam lumbung agar kulit pada
jagung terkelupas kemudian dimasak menggunakan air. Setelah mendidih
dicampur dengan kacang tali –kacang hitam- dan kacang tanah. Air yang diperlukan
tidak begitu banyak agar jagung bose sedikit padat. Tidak ditambahkan rasa
apapun. Garam
dan sambal disajikan secara terpisah saat disantap. Selain itu, jagung bisa
diluru –biji dilepaskan dari tongkolnya- kemudian dimasak dengan air sampai noe
–lembek-. Rasanya manis tanpa gula. Jika haus saat makan, air rebusan jagung
muda tadi bisa diminum dan konon katanya dapat menyembuhkan sakit tulang
belakang. Untuk penderita diabetes minum rebusan jagung muda ini cocok karena
manis tanpa tambahan gula dan baik untuk kesehatan. Olahan jagung yang biasa
dinikmati penduduk sini adalah jagung kering yang dimasak dengan air. Terkadang dicampur
dengan daun ubi atau daun pepaya. Jagung
ditanam sekitar bulan November sampai Desember dan musim panen pada bulan
Februari sampai Maret.
Pengalaman
yang mengesankan adalah ketika menjadi minoritas ditengah-tengah Nasrani. Pengalaman lain
yang tidak kalah mengesankan yaitu ketika saya ditunjuk menjadi notulen dalam
rapat dengan orang tua murid. Saya langsung meng-iya-kan. Awal rapat semuanya
baik-baik saja. Akhirnya
ketika sudah dipertengahan rapat, taraaaaa. Bisa dibayangkan rapat tanya jawab
yang terjadi menggunakan Bahasa Dawan karena orang tua murid kebanyakan tidak
mengerti Bahasa Indonesia dengan baik. Saya memutuskan menulis yang saya dengar
dengan selembar kertas yang lain. Alhasil saat saya menunjukkan hasil rapat ke
salah satu guru, guru tersebut menertawakan saya. Aduh, saya juga bingung
dan malu.Akhirnya, saya diberitahu hasil rapat tersebut denga Bahasa Indonesia.
Hal
menarik lainnya yaitu air yang menjadi kebutuhan utama, lokasi lumayan jauh dan
medan jalan yang mendaki dan berlumpur ketika hujan. Awalnya saya kaget tetapi
setelah dijalani ternyata menyenangkan juga karena ketika ambil air ditemani
masyarakat di tempat yang ramah dan baik hati. Air dibawa dengan
jiriken. Air
dalam Bahasa Dawan adalah “Oe” dan dalam bahasa tetun “We”. Daerah Malaka
banyak yang menggunakan awalan “we” misalnya “Wekmidar” yang artinya air yang
manis, “Weliman” yang artinya air dari lima sumber dan lain-lain. Mengapa
banyak nama daerah yang menggunakan arti air? Karena air merupakan sesuatu yang
vital dalam kehidupan. Tanpa air, makhluk hidup akan mati oleh karenanya air
menjadi sumber kehidupan.
Masyarakat
lokal masih melestarikan budaya leluhur yaitu budaya menenun. Hasil karya tenun
berupa selendang –yang kami sebut selendang Malaka- dan kain tais -kain adat
Malaka-. Waktu pengerjaan selendang membutuhkan 3 hari sampai satu minggu.
Sedangkan untuk kain tais membutuhkan waktu satu bulan lamanya tergantung
motifnya. Kain tais yang terkenal adalah Marobo
yang memiliki warna dominan merah menyala. Masyarakat di sini mempunyai tradisi
makan sirih dan pinang dari anak usia SMP sampai orang tua. Sehingga dari dinas
mencanangkan program Rindang Malaka yaitu tanam pisang, kelapa, mangga, jeruk,
nangka, sirih daun, sirih buah, pinang.
Di
sekolah tempat saya mengabdi yaitu di SMP Negeri Fatukoan, saya diberi
kepercayaan mengajar matematika di satu kelas dan mengajar IPA di tiga kelas.
Jarak dari rumah ke sekolah kurvvvang lebih 3 km. Waktu tempuh menuju sekolah
dengan jalan kaki biasanya sekitar 30 menit, jadi saya mensiasati berangkat
dari rumah pukul 06.00 WITA. Sesampainya di sekolah, ternyata saya hanya
menemui beberapa orang siswa saja dan belum ada guru satupun.Kegiatan belajar
mengajar dimulai pukul 07.15 dan setiap hari ada apel pagi dan apel siang. Apel pagi pukul
07.00-07.15 dan apel siang pukul 12.05-12.20. Saya merasa berangkat
pukul 06.00 terlalu pagi sehingga setelah hari itu, saya berangkat pukul 06.30
kalau sudah terlambat saya menggunakan ojek untuk ke sekolah.Semangat belajar
peserta didik di sini kurang.Mereka sebenarnya pandai tetapi kebanyakan mereka
belum mengerti arti pendidikan bagi mereka di kemudian hari sehingga motivasi
belajar kurang. Di sinilah kami para SM-3T harus melakukan perubahan sebagai
pelita dalam remang-remang bahkan kegelapan di tanah timor ini. Saya dan
teman-temanmerasakan kurangnya sumber ajar dan sumber bacaan bagi anak sehingga
ini menjadi kendala bagi kami di sini.Untuk perangkat pembelajaran pun kami
harus tulis tangan karena printer hanya ada satu di sekolah. Fotokopi dan
kertas mahal, guru di sini juga dianjurkan Kepala Dinas untuk menulis semua
perangkat pembelajaran.
Hubungan
antara sekolah dengan orang tua terjalin baik namun orang tua nampaknya belum
begitu melekdengan pendidikan. Buktinya, ketika
keluarga ada perlu untuk tanam jagung, maka anak alpha untuk membantu orang
tuanya di kebun. Demikian pula jika orang tuanya sedang ada patah jagung –panen
jagung− maka anak akan alpha atau ijin untuk membantu orang tuanya. Mau
bagaimana lagi, inilah realita pendidikan yang mana penduduk di sini
bermatapencaharian sebagai petani.Akhirnya, sekolah mengijinkan tetapi tidak
boleh berlama-lama karena anak harus kembali lagi ke sekolah untuk menerima
pelajaran dari guru.
Minat
peserta didik perlu ditingkatkan dengan cara pembelajaran dan pendekatan yang
mampu menggugah mereka. Berbagai jenis kegiatan di luar pelajaran dilaksanakan
meliputi pramuka, bakti OSIS dan ekstra olahraga. Selain itu, ada mata
pelajaran mulok dan keterampilan yang difungsikan untuk melestarikan kebudayaan
Malaka. Suatu
ketika, saya mendengar peserta didik menyanyi lagu daerah Malaka dengan Bahasa
Tetun.
Oras Loro Malirin
Oras Loro malirin
Teu tanis laka teu tanis
Tanis na’ak niak ina
Ro sina sa’e ro sina
Taka sela ba kuda
Lun turu bête lun turu
Bête keta lun turu
Ba kika, ba mai kika
Nakur mota ua tolu
Kiak malu buka kiak malu
Buka nola kiak malu
Tau loro tanis tau loro
Ohin kalam sei rani
Ain ida mutu ain ida
Awan emi ain foho
Aintasi ami ain tasi
Saya
terharu mendengarkan lagu tersebut walaupun saya tidak mengerti artinya. Hingga pada akhirnya
Bapak Fransiskus Seran, S.Ag menjelaskan kepada saya inti dari lagu tersebut.Rasanya
tidak cukup rangkaian kata-kata yang saya buat untuk menceritakan indahnya
Timor ini khususnya Malaka.Pada intinya, di mana bumi berpijak, di situ langit
dijunjung, di mana kita berada harus menjaga adat istiadat yang ada.Dan
akhirnya, harapan sayabudaya setempat harus dijaga dan diberikan di sekolah
sebagai lembaga formal agar budaya itu tidak hilang ditelan zaman. Perlu adanya
perhatian dari pemerintah agar pemerintah tidak hanya mengusung program pemerataan
tenaga guru tetapi juga pemerataan buku ajar untuk daerah-daerah yang jauh dari
central dan perlunya kontinuitas dari
program ini karena dengan adanya SM-3T setidaknya memberikan warna baru di
tanah timor dan memberikan sedikit pengetahuan tentang teknologi komputer
khususnya.
Wassalamualaikum
Warahmatullohi Wabarakatuhu.
Editor : Harnum Kurniawati & Agung Santika
Editor : Harnum Kurniawati & Agung Santika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar