Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

Ha’u Hadomi Timor







Assalamualaikum warohmatullohiwabarokatuhu.
Salam MBMI.
Sebelum bercerita, perkenalkan nama saya Nurul Aprianingsih alumni Universitas Muhammadiyah Purworejo angkatan 2011 dan lulus pada tahun 2015. Saya adalah salah satu guru SM-3T yang di tempatkan di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 4 September 2016 saya dan teman-teman sepenempatan berangkat dari bandara menuju NTT dengan transit di Surabaya. Tibalah saya di Bandara Kupang. Perjalanan dari Kupang ke Malaka sekitar 8 jam menggunakan travel yang sudah disediakan. Keesokan harinya saya beserta rombongan menuju kantor Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Malaka yang dilanjut ke Kantor Bupati untuk mendengarkan dan mendapatkan SK Bupati mengenai penempatan. Satu persatu nama dipanggil dan akhirnya disebutlah nama saya. Saya ditempatkan di SMP Negeri Fatukoan, Kecamatan Rinhat. Saya menggunakan otto—sejenis mobil bak terbuka yang dimodifikasi dengan atap ditutup terpal dan ada beberapa kayu sebagai tempat duduk-menuju tempat sasaran. Jalan menuju tempat sasaran penuh dengan guncangan karena medan yang mendaki dan belum aspal yangterdiri dari batu lepas. Saya sampai sekarang tinggal dengan keluarga Bapak Fransiskus Seran, S.Ag., yang juga mengajar agama Katholik di sekolah tempat saya mengabdi.
Mayoritas penduduk NTT adalah Katholik dan Protestan. Saya berada di lingkungan Katholik yang kental tetapi tinggi tingkat toleransinya. Hari pertama saya diberi pengalaman menyembelih dua ayam sekaligus, ini adalah pengalaman pertama saya. Setiap rumah memiliki lebih dari satu anjing. Kebetulan di rumah orang tua asuh ada sekitar ±10 ekor anjing. Tentu saja saya harus menyesuaikan to. Bahasa di sini ada 3 yaitu Bahasa Tetun, Bahasa Dawan dan Bahasa Bunaq. Mayoritas penduduk kota menggunakan Bahasa Tetun sedangkan daerah saya menggunakan Bahasa Dawan tetapi untuk bahasa yang digunakan di sekolah tetap Bahasa Indonesia dengan logat orang timur punya. Bahasa Tetun “Ha lai” artinya makan dulu dan “Mai Ha lai” artinya mari makan dulu.
Makanan pokok penduduk di daerah sini adalah jagung, singkong, talas dan beras. Jagung dalam Bahasa Tetun masyarakat menyebut “Batar”. Olahan makanan yang berbahan dasar jagung diantaranya adalah bose. Cara membuat jagung bose adalah dengan menumbuk jagung dalam lumbung agar kulit pada jagung terkelupas kemudian dimasak menggunakan air. Setelah mendidih dicampur dengan kacang tali –kacang hitam- dan kacang tanah. Air yang diperlukan tidak begitu banyak agar jagung bose sedikit padat. Tidak ditambahkan rasa apapun. Garam dan sambal disajikan secara terpisah saat disantap. Selain itu, jagung bisa diluru –biji dilepaskan dari tongkolnya- kemudian dimasak dengan air sampai noe –lembek-. Rasanya manis tanpa gula. Jika haus saat makan, air rebusan jagung muda tadi bisa diminum dan konon katanya dapat menyembuhkan sakit tulang belakang. Untuk penderita diabetes minum rebusan jagung muda ini cocok karena manis tanpa tambahan gula dan baik untuk kesehatan. Olahan jagung yang biasa dinikmati penduduk sini adalah jagung kering yang dimasak dengan air. Terkadang dicampur dengan daun ubi atau daun pepaya. Jagung ditanam sekitar bulan November sampai Desember dan musim panen pada bulan Februari sampai Maret.

Pengalaman yang mengesankan adalah ketika menjadi minoritas ditengah-tengah Nasrani. Pengalaman lain yang tidak kalah mengesankan yaitu ketika saya ditunjuk menjadi notulen dalam rapat dengan orang tua murid. Saya langsung meng-iya-kan. Awal rapat semuanya baik-baik saja. Akhirnya ketika sudah dipertengahan rapat, taraaaaa. Bisa dibayangkan rapat tanya jawab yang terjadi menggunakan Bahasa Dawan karena orang tua murid kebanyakan tidak mengerti Bahasa Indonesia dengan baik. Saya memutuskan menulis yang saya dengar dengan selembar kertas yang lain. Alhasil saat saya menunjukkan hasil rapat ke salah satu guru, guru tersebut menertawakan saya. Aduh, saya juga bingung dan malu.Akhirnya, saya diberitahu hasil rapat tersebut denga Bahasa Indonesia.
Hal menarik lainnya yaitu air yang menjadi kebutuhan utama, lokasi lumayan jauh dan medan jalan yang mendaki dan berlumpur ketika hujan. Awalnya saya kaget tetapi setelah dijalani ternyata menyenangkan juga karena ketika ambil air ditemani masyarakat di tempat yang ramah dan baik hati. Air dibawa dengan jiriken. Air dalam Bahasa Dawan adalah “Oe” dan dalam bahasa tetun “We”. Daerah Malaka banyak yang menggunakan awalan “we” misalnya “Wekmidar” yang artinya air yang manis, “Weliman” yang artinya air dari lima sumber dan lain-lain. Mengapa banyak nama daerah yang menggunakan arti air? Karena air merupakan sesuatu yang vital dalam kehidupan. Tanpa air, makhluk hidup akan mati oleh karenanya air menjadi sumber kehidupan.

Masyarakat lokal masih melestarikan budaya leluhur yaitu budaya menenun. Hasil karya tenun berupa selendang –yang kami sebut selendang Malaka- dan kain tais -kain adat Malaka-. Waktu pengerjaan selendang membutuhkan 3 hari sampai satu minggu. Sedangkan untuk kain tais membutuhkan waktu satu bulan lamanya tergantung motifnya. Kain tais yang terkenal adalah Marobo yang memiliki warna dominan merah menyala. Masyarakat di sini mempunyai tradisi makan sirih dan pinang dari anak usia SMP sampai orang tua. Sehingga dari dinas mencanangkan program Rindang Malaka yaitu tanam pisang, kelapa, mangga, jeruk, nangka, sirih daun, sirih buah, pinang.
           

Di sekolah tempat saya mengabdi yaitu di SMP Negeri Fatukoan, saya diberi kepercayaan mengajar matematika di satu kelas dan mengajar IPA di tiga kelas. Jarak dari rumah ke sekolah kurvvvang lebih 3 km. Waktu tempuh menuju sekolah dengan jalan kaki biasanya sekitar 30 menit, jadi saya mensiasati berangkat dari rumah pukul 06.00 WITA. Sesampainya di sekolah, ternyata saya hanya menemui beberapa orang siswa saja dan belum ada guru satupun.Kegiatan belajar mengajar dimulai pukul 07.15 dan setiap hari ada apel pagi dan apel siang. Apel pagi pukul 07.00-07.15 dan apel siang pukul 12.05-12.20. Saya merasa berangkat pukul 06.00 terlalu pagi sehingga setelah hari itu, saya berangkat pukul 06.30 kalau sudah terlambat saya menggunakan ojek untuk ke sekolah.Semangat belajar peserta didik di sini kurang.Mereka sebenarnya pandai tetapi kebanyakan mereka belum mengerti arti pendidikan bagi mereka di kemudian hari sehingga motivasi belajar kurang. Di sinilah kami para SM-3T harus melakukan perubahan sebagai pelita dalam remang-remang bahkan kegelapan di tanah timor ini. Saya dan teman-temanmerasakan kurangnya sumber ajar dan sumber bacaan bagi anak sehingga ini menjadi kendala bagi kami di sini.Untuk perangkat pembelajaran pun kami harus tulis tangan karena printer hanya ada satu di sekolah. Fotokopi dan kertas mahal, guru di sini juga dianjurkan Kepala Dinas untuk menulis semua perangkat pembelajaran. 

Hubungan antara sekolah dengan orang tua terjalin baik namun orang tua nampaknya belum begitu melekdengan pendidikan. Buktinya, ketika keluarga ada perlu untuk tanam jagung, maka anak alpha untuk membantu orang tuanya di kebun. Demikian pula jika orang tuanya sedang ada patah jagung –panen jagung− maka anak akan alpha atau ijin untuk membantu orang tuanya. Mau bagaimana lagi, inilah realita pendidikan yang mana penduduk di sini bermatapencaharian sebagai petani.Akhirnya, sekolah mengijinkan tetapi tidak boleh berlama-lama karena anak harus kembali lagi ke sekolah untuk menerima pelajaran dari guru.
Minat peserta didik perlu ditingkatkan dengan cara pembelajaran dan pendekatan yang mampu menggugah mereka. Berbagai jenis kegiatan di luar pelajaran dilaksanakan meliputi pramuka, bakti OSIS dan ekstra olahraga. Selain itu, ada mata pelajaran mulok dan keterampilan yang difungsikan untuk melestarikan kebudayaan Malaka. Suatu ketika, saya mendengar peserta didik menyanyi lagu daerah Malaka dengan Bahasa Tetun.

Oras Loro Malirin



Oras Loro malirin
Teu tanis laka teu tanis
Tanis na’ak niak ina
Ro sina sa’e ro sina

Taka sela ba kuda
Lun turu bête lun turu
Bête keta lun turu
Ba kika, ba mai kika

Nakur mota ua tolu
Kiak malu buka kiak malu
Buka nola kiak malu
Tau loro tanis tau loro

Ohin kalam sei rani
Ain ida mutu ain ida
Awan emi ain foho
Aintasi ami ain tasi



Saya terharu mendengarkan lagu tersebut walaupun saya tidak mengerti artinya. Hingga pada akhirnya Bapak Fransiskus Seran, S.Ag menjelaskan kepada saya inti dari lagu tersebut.Rasanya tidak cukup rangkaian kata-kata yang saya buat untuk menceritakan indahnya Timor ini khususnya Malaka.Pada intinya, di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung, di mana kita berada harus menjaga adat istiadat yang ada.Dan akhirnya, harapan sayabudaya setempat harus dijaga dan diberikan di sekolah sebagai lembaga formal agar budaya itu tidak hilang ditelan zaman. Perlu adanya perhatian dari pemerintah agar pemerintah tidak hanya mengusung program pemerataan tenaga guru tetapi juga pemerataan buku ajar untuk daerah-daerah yang jauh dari central dan perlunya kontinuitas dari program ini karena dengan adanya SM-3T setidaknya memberikan warna baru di tanah timor dan memberikan sedikit pengetahuan tentang teknologi komputer khususnya.
Wassalamualaikum  Warahmatullohi Wabarakatuhu.

Editor : Harnum Kurniawati & Agung Santika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar