Translate

Minggu, 20 Agustus 2017

SEMANGAT MENGABDI DI BATAS NEGERI




Oleh : Erika Yunita Puspitasari, S.Pd
            Terkadang perjalanan hidup itu tidak terduga. Seperti yang telah saya alami. Sebuah perjalanan yang mengesankan dan luar biasa walaupun awalnya saya hanya ikut-ikutan saja. Ya, awalnya saya ragu untuk mengikuti program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal atau yang disebut SM-3T ini. Mengikuti program SM-3T dan mengajar di pelosok negeri ini bukanlah angan-angan utama saya. Tentu jauh dari orang tua dan masuk ke lingkungan yang berbeda masyarakat, adat dan budayanya bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan. Saya pun harus rela melepas karir di jalur non kependidikan yang telah saya rintis selama satu tahun lebih. Akan tetapi, saya memberanikan diri dan membuat keputusan drastis dalam hidup saya. Lalu apa yang saya dapat ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti program ini? Sebuah kesempatan dan pengalaman yang luar biasa dalam sejarah hidup saya menilik sisi lain dari wajah pendidikan di Indonesia.

            Pengalaman ini diawali dengan mengikuti seleksi SM-3T di LPTK UNY. Terdapat beberapa tahap seleksi yaitu seleksi administrasi, tes tertulis, dan wawancara. Saya sangat optimis dapat melalui tahapan tersebut. Proses yang dilalui tidak hanya itu saja. Setelah diumumkan lolos tahap wawancara kami masih harus mengikuti prakondisi di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Tujuan prakondisi ini adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik para peserta SM-3T agar tidak kaget ketika sudah berada di daerah penempatan kelak. Kegiatan prakondisi juga melatih jiwa korsa antar peserta SM-3T karena tentunya nanti di daerah penempatan para peserta harus saling peduli satu sama lain ketika jauh dari orang tua, sanak dan saudara. Kami pun tidak diperbolehkan menggunakan handphone selama proses prakondisi ini. Tentu hal ini untuk membiasakan diri karena bisa jadi di daerah penempatan belum tersedia jaringan komunikasi bahkan listrik.
            Setelah mengikuti tahap prakondisi selama 17 hari, hari keberangkatan pun tiba. Saya mendapat tugas penempatan di Malaka salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur bersama 52 peserta lainnya.  Kabupaten Malaka adalah sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Belu yang berbatasan dengan negara Timor Leste. Ketika mendengar hal itu tentu banyak hal yang ada di dalam benak saya, mengingat saya akan ditempatkan di daerah timur Indonesia yang notabene mayoritas penduduknya beragama non-muslim. Apalagi perjalanan ini adalah pengalaman merantau saya dan jauh dari orang tua untuk yang pertama kalinya. Muncul pertanyaan dalam diri, apakah saya sanggup mengabdikan diri di sana?
Kami diberangkatkan dari Bandara Adisucipto Yogyakarta menuju Bandara El Tari Kupang. Ini pengalaman pertama saya naik pesawat. Sedikit deg-degan juga ternyata. Tapi alangkah leganya saya ketika sudah mendarat di El Tari Kupang. Udara panas menyambut kami ketika turun dari atas pesawat. Kondisi alam yang gersang dan panas seakan menantang kami untuk segera terbiasa. Setelah mengambil koper dan tas, saya melanjutkan perjalanan darat. Saya dibuat terpesona oleh alam pulau Timor yang sangat menawan, terutama pantainya dengan air laut berwarna biru dan langitnya yang cerah, serta hamparan sabananya yang kering di musim kemarau. Setelah perjalanan mulus yang dilalui, kami pun disambut dengan jalan yang berbatu dan jurang di kanan kiri. Hingga akhirnya ban mobil yang saya tumpangi pecah sebanyak 3 kali. Setelah perjalanan darat yang melelahkan selama 6 jam kami pun tiba di Kota Betun, ibukota Kabupaten Malaka.
Pada pagi harinya, setelah bersiap kami pun bertemu dengan Kepala Dinas PKPO Kabupaten Malaka. Disana, setelah melakukan perkenalan kami pun diajak menari Tebe, sebuah tarian khas daerah Timor dengan diiringi musik khasnya yang rancak dan gembira. Dalam tarian ini kami berdiri melingkar sambil bergandeng tangan kemudian melangkah melingkar seirama dengan musik. Sungguh sambutan yang luar biasa dari bapak Kepala Dinas beserta staffnya. Pada siang harinya, tibalah saat yang membuat hati semakin deg-degan. Kami disambut oleh bapak Bupati Malaka sekaligus pembagian SK mengajar di daerah penempatan. Kami yang berjumlah 53 orang ini dibagi ke 12 kecamatan yang ada di Malaka.
Dalam program SM-3T ini, saya bertugas di SMA Swasta 17 Agustus Weoe yang bertempat di Desa Weoe, Kecamatan Wewiku. Di kecamatan Wewiku ini saya bersama 5 teman lainnya juga dibagi ke 6 sekolah yang berbeda. Sore harinya saya langsung dijemput oleh bapak kepala sekolah, Bapak Herman Bere Taek, yang mengantar saya ke lokasi. Saya tidak sendirian, dalam perjalanan ke sana saya bersama seorang teman SM-3T bernama Novita dan ibu kepala sekolahnya, Mama Brigitha, yang kebetulan lokasi sekolahnya berdekatan. Saya, Novita, Bapak Herman, dan Mama Brigitha naik oto (sebutan untuk mobil dalam bahasa Timor) bak terbuka milik bapak Kepala Desa Weoe. Setelah perjalanan selama 45 menit dari Kota Betun, Mama Brigitha yang duduk di bak belakang bersama kami pun menunjuk ke sebuah sekolah berdinding putih di pinggir jalan, “Itu kakak pung sekolah, SMA 17”. Sedikit kelegaan dalam diri saya karena sekolah yang saya akan tempati tidak terlalu (maaf) udik seperti yang saya bayangkan selama ini. Letaknya berada di pinggir jalan raya pula. “Alhamdulillah ya Allah, berilah kemudahan dan kelancaran dalam pengabdianku ini”, kataku dalam hati.
Lagi-lagi setelah perjalanan mulus yang saya lalui, perjalanan disambung dengan jalanan berbatu dan menanjak. “Mau kemana lagi ini kita Mama?” tanyaku kepada Mama Brigitha karena ada rasa was-was dalam hati ketika jalan semakin terjal menanjak bahkan kami melewati hutan jati yang tidak ada rumah di kanan kirinya. Namun ternyata setelah beberapa tanjakan kami menemukan sebuah halaman yang luas dan ada sebuah bangunan di sana. “Selamat datang kakak, selamat datang kakak, selama datang kami ucapkan, terimalah salam dari kami yang ingin maju bersama-sama”, seketika terdengar suara anak-anak SD menyanyi ketika kami turun dari oto. Di halaman tersebut berjajar rapi anak-anak SD berseragam merah putih dan beberapa guru SD N Oevetnai. Ada seorang guru yang mengalungkan tais (kain) selendang tenun di leher saya dan teman saya. Beberapa dari mereka menyambut kami dengan mata berkaca-kaca. Saya pun terharu sekali melihat pemandangan tersebut. Betapa luar biasa sambutan mereka menyambut kami ‘guru dari Jawa’ mereka menyebutnya. Kami kemudian duduk di kursi-kursi yang telah dipersiapkan bersama dengan para guru dan orang tua siswa dan tetua adat dari Dusun Wetalas. Kebanyakan dari tetua adat tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka berbicara dengan menggunakan bahasa Dawan dan bahasa Tetun. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Akan tetapi Mama Brigitha selalu dengan senang hati menjelaskan kembali dalam Bahasa Indonesia apa yang tetua adat katakan. Di sini juga saya dibuat kaget karena saya disodori daun sirih dan buah pinang. “Ibu, kalau disini tamu yang datang harus makan sirih,” kata Bapak Herman. Jadilah pengalaman makan sirih saya alami di sini. Luar biasa.

 Beberapa hari kemudian, tiba waktunya saya masuk sekolah dan melakukan perkenalan dengan guru dan siswa SMA Swasta 17 Agustus Weoe. Jarak tempat tinggal saya dengan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter saja. Untuk sementara saya dan Novita tinggal bersama Mama Brigitha di Dusun Weoe. Suami Mama Brigitha, Bapak Laurens, adalah salah seorang guru sekaligus salah seorang pendiri Yayasan 17 Agustus, sekolah yang akan menjadi tempat pengabdian saya. Selain itu, pertimbangan jarak ke sekolah dan keamanan juga menjadi alasan saya tinggal di sana. Pada pagi hari saya berangkat ke sekolah bersama Bapak Laurens dengan berjalan kaki melewati jalanan berbatu yang membelah perkampungan Weoe. “Ibu, beruntung ini bukan musim hujan, kalau hujan jalan ini lumpur semua, kita setengah mati”, begitu cerita Bapak Laurens dalam perjalanan pertama saya ke sekolah.
Di sekolah, saya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris. Saya melakukan perkenalan dengan para siswa dari kelas ke kelas. “Good morning everyone,” saya menyapa siswa-siswi kelas XA dengan menggunakan Bahasa Inggris. Beberapa dari mereka menjawab kembali dengan Bahasa Inggris namun masih malu-malu, sementara beberapa anak yang lain diam dan tersenyum saja melihat saya. Saya satu-satunya perempuan yang menggunakan jilbab di sekolah itu, jadi mereka masih merasa asing dengan kehadiran dan penampilan saya. Apalagi ditambah dengan logat bicara yang juga berbeda. Akan tetapi rasa penasaran membuat mereka ingin tahu tentang saya dan juga Jawa. Di awal kedatangan saya di kelas, saya dan para siswa banyak mengobrol dan bertanya jawab terutama seputar bahasa.  Selama tinggal dengan keluarga Bapak Laurens dan Mama Brigitha saya juga sudah belajar beberapa kosakata dalam bahasa Tetun seperti katene tian? (sudah mengerti?), anliun (kami terus) dan lainnya. Bahkan saya mendapat nama panggilan Bete Dobe, yang dalam bahasa Tetun artinya nona yang berkepribadian halus dan disayang namun sedikit manja. Mama Brigitha memberi nama tersebut karena tahu saya adalah anak bungsu di keluarga saya. Di kelas, para siswa pun tertawa ketika saya berhasil berhitung satu sampai sepuluh dalam Bahasa Tetun. Mereka pun juga meminta saya mengajari mereka beberapa kosakata Bahasa Jawa. Rasa canggung pun mulai mencair. Melalui bahasa kita bisa mendekatkan diri dan bersosialisasi dengan baik.

Di sekolah, rutinitas setiap pagi para siswa adalah menyapu dedaunan pohon angsana yang berguguran. Biasanya para siswa perempuan menyapu dan siswa laki-laki meraupnya ke dalam kotak sampah lalu membuangnya. Disini tidak ada petugas kebersihan yang bertugas membersihkan sekolah. Oleh karena itu para siswa dan guru saling bahu membahu untuk membersihkan lingkungan sekolah. Kegiatan setelah pembersihan adalah apel pagi kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran di dalam kelas. Untuk menjaga kebersihan lingkungan, di sekolah juga terdapat program Jumat bersih, dimana para siswa melakukan pembersihan lingkungan, memperbaiki pagar sekolah, serta melakukan penanaman pohon pisang, kelapa, jeruk, mangga, nangka, sirih daun, sirih buah, dan pinang. Tujuan dari penanaman ini adalah untuk membuat lingkungan sekolah menjadi asri serta para siswa dan guru juga dapat menuai hasilnya.
Di SMA 17 Agustus Weoe, terdapat 12 rombel yaitu XA, XB, XC, XD, XI IPS I, XI IPS II, XI Bahasa, XI IPA, XII IPS I, XII IPS II, XII Bahasa, serta XII IPA. Saya diberikan tugas mengajar 3 kelas yaitu XA, XB dan XI Bahasa. Tidak mudah memang mengajar bahasa Inggris di wilayah Timor ini. Hal ini dikarenakan kebanyakan mereka masih kesulitan menggunakan Bahasa Indonesia, dan juga pengaruh bahasa daerah serta penggunaan struktur tata bahasa, misalnya dalam kalimat ‘Saya tulis ambil dulu Ibu’ atau ‘Saya makan tahan dulu’. Hal ini membuat mereka ragu-ragu ketika ingin mengungkapkan kalimat dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Apalagi input yang para siswa dapatkan juga kurang. Mereka baru mulai belajar bahasa Inggris dari jenjang SMP dan SMA saja. Minat, keaktifan bahkan kehadiran siswa juga rendah. Namun, hal ini bukanlah suatu halangan. Saya bertekad untuk membuat para siswa setidaknya harus tertarik dulu dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Inggris.
Pada proses pembelajaran, saya berusaha menerapkan strategi pembelajaran yang telah saya pelajari semasa perkuliahan. Di sini, saya merasa tertantang untuk mengemas suatu pembelajaran yang menarik. Didukung dengan ketersediaan listrik dan jaringan yang ada, saya berusaha memanfaatkan teknologi yang ada untuk menunjang proses pembelajaran. Hanya saja, selama ini karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru untuk memanfaatkan teknologi serta ketersediaan sarana-prasarana seperti ketersediaan laptop dan komputer membuat pembelajaran sehari-hari di daerah perbatasan menjadi terasa monoton dan kurang menarik minat belajar siswa. Pada awalnya, selalu saja ada lebih dari 5 siswa yang tidak hadir tanpa keterangan di kelas saya. Namun suatu hari, dalam proses pembelajaran saya mengajak para siswa untuk bermain game kosakata Scrabble dan juga flip and match. Saya juga menggunakan laptop dan speaker untuk memutar lagu berbahasa Inggris ketika mengajar listening. Hasilnya, para siswa sangat antusias dalam mengikuti pelajaran. Bahkan, mereka menjadi rajin untuk berangkat sekolah hingga tidak ada yang alpha lagi. Rasa percaya diri mereka pun mulai terbangun apalagi adanya program English Day setiap hari Jumat, dimana para siswa harus menggunakan bahasa Inggris ketika berkomunikasi baik dengan sesama teman atau guru. Memang mereka belum bisa bercakap-cakap dalam bahasa Inggris tetapi mereka sudah cukup percaya diri ketika menyapa guru dan temannya dan saling bertanya kabar dalam bahasa Inggris. Kemauan serta ketertarikan inilah sebenarnya yang akan menjadi bekal awal mereka untuk bisa belajar dengan sungguh-sungguh.
Menjelang akhir pengabdian saya selama satu tahun di Malaka ini, saya selalu berharap para siswa bisa terbangun rasa percaya dirinya dan bisa memotivasi diri sendiri untuk lebih berkembang serta terbuka pikirannnya walaupun berada ditengah keterbatasan. Harapannya adalah setidaknya mereka pernah merasakan pengalaman pembelajaran yang cukup sebagai bekal mereka untuk memajukan kesejahteraan dan membantu pembangunan serta pengembangan daerah mereka ini. Saya juga selalu berpesan kepada mereka untuk bisa menguasai bahasa asing agar selalu mampu bersaing di era globalisasi. Saya tidak pernah bosan untuk berpesan dan memberi pengertian kepada para siswa bahwa suatu saat nanti Malaka ini pasti menjadi sangat maju sehingga kita sebagai masyarakat lokal harus siap untuk bersaing salah satunya adalah dengan bekal ilmu pengetahuan.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar