Oleh : Erika Yunita Puspitasari, S.Pd
Terkadang perjalanan hidup itu tidak
terduga. Seperti yang telah saya alami. Sebuah perjalanan yang mengesankan dan
luar biasa walaupun awalnya saya hanya ikut-ikutan saja. Ya, awalnya saya ragu
untuk mengikuti program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal
atau yang disebut SM-3T ini. Mengikuti program SM-3T dan mengajar di pelosok
negeri ini bukanlah angan-angan utama saya. Tentu jauh dari orang tua dan masuk
ke lingkungan yang berbeda masyarakat, adat dan budayanya bukanlah hal yang
mudah untuk diputuskan. Saya pun harus rela melepas karir di jalur non kependidikan
yang telah saya rintis selama satu tahun lebih. Akan tetapi, saya memberanikan
diri dan membuat keputusan drastis dalam hidup saya. Lalu apa yang saya dapat
ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti program ini? Sebuah kesempatan
dan pengalaman yang luar biasa dalam sejarah hidup saya menilik sisi lain dari
wajah pendidikan di Indonesia.
Pengalaman ini diawali dengan
mengikuti seleksi SM-3T di LPTK UNY. Terdapat beberapa tahap seleksi yaitu
seleksi administrasi, tes tertulis, dan wawancara. Saya sangat optimis dapat
melalui tahapan tersebut. Proses yang dilalui tidak hanya itu saja. Setelah
diumumkan lolos tahap wawancara kami masih harus mengikuti prakondisi di
Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Tujuan prakondisi ini adalah untuk
mempersiapkan mental dan fisik para peserta SM-3T agar tidak kaget ketika sudah
berada di daerah penempatan kelak. Kegiatan prakondisi juga melatih jiwa korsa
antar peserta SM-3T karena tentunya nanti di daerah penempatan para peserta
harus saling peduli satu sama lain ketika jauh dari orang tua, sanak dan
saudara. Kami pun tidak diperbolehkan menggunakan handphone selama proses prakondisi ini. Tentu hal ini untuk
membiasakan diri karena bisa jadi di daerah penempatan belum tersedia jaringan
komunikasi bahkan listrik.
Setelah mengikuti tahap prakondisi
selama 17 hari, hari keberangkatan pun tiba. Saya mendapat tugas penempatan di
Malaka salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur bersama 52 peserta
lainnya. Kabupaten Malaka adalah sebuah
kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Belu yang berbatasan dengan negara
Timor Leste. Ketika mendengar hal itu tentu banyak hal yang ada di dalam benak
saya, mengingat saya akan ditempatkan di daerah timur Indonesia yang notabene
mayoritas penduduknya beragama non-muslim. Apalagi perjalanan ini adalah
pengalaman merantau saya dan jauh dari orang tua untuk yang pertama kalinya.
Muncul pertanyaan dalam diri, apakah saya sanggup mengabdikan diri di sana?
Kami diberangkatkan dari Bandara Adisucipto
Yogyakarta menuju Bandara El Tari Kupang. Ini pengalaman pertama saya naik
pesawat. Sedikit deg-degan juga ternyata. Tapi alangkah leganya saya ketika
sudah mendarat di El Tari Kupang. Udara panas menyambut kami ketika turun dari
atas pesawat. Kondisi alam yang gersang dan panas seakan menantang kami untuk
segera terbiasa. Setelah mengambil koper dan tas, saya melanjutkan perjalanan
darat. Saya dibuat terpesona oleh alam pulau Timor yang sangat menawan, terutama
pantainya dengan air laut berwarna biru dan langitnya yang cerah, serta
hamparan sabananya yang kering di musim kemarau. Setelah perjalanan mulus yang
dilalui, kami pun disambut dengan jalan yang berbatu dan jurang di kanan kiri.
Hingga akhirnya ban mobil yang saya tumpangi pecah sebanyak 3 kali. Setelah
perjalanan darat yang melelahkan selama 6 jam kami pun tiba di Kota Betun,
ibukota Kabupaten Malaka.
Pada pagi harinya, setelah bersiap kami pun bertemu
dengan Kepala Dinas PKPO Kabupaten Malaka. Disana, setelah melakukan perkenalan
kami pun diajak menari Tebe, sebuah
tarian khas daerah Timor dengan diiringi musik khasnya yang rancak dan gembira.
Dalam tarian ini kami berdiri melingkar sambil bergandeng tangan kemudian
melangkah melingkar seirama dengan musik. Sungguh sambutan yang luar biasa dari
bapak Kepala Dinas beserta staffnya. Pada siang harinya, tibalah saat yang
membuat hati semakin deg-degan. Kami disambut oleh bapak Bupati Malaka
sekaligus pembagian SK mengajar di daerah penempatan. Kami yang berjumlah 53
orang ini dibagi ke 12 kecamatan yang ada di Malaka.
Dalam program SM-3T ini, saya bertugas di SMA Swasta
17 Agustus Weoe yang bertempat di Desa Weoe, Kecamatan Wewiku. Di kecamatan
Wewiku ini saya bersama 5 teman lainnya juga dibagi ke 6 sekolah yang berbeda.
Sore harinya saya langsung dijemput oleh bapak kepala sekolah, Bapak Herman
Bere Taek, yang mengantar saya ke lokasi. Saya tidak sendirian, dalam
perjalanan ke sana saya bersama seorang teman SM-3T bernama Novita dan ibu
kepala sekolahnya, Mama Brigitha, yang kebetulan lokasi sekolahnya berdekatan. Saya,
Novita, Bapak Herman, dan Mama Brigitha naik oto (sebutan untuk mobil dalam
bahasa Timor) bak terbuka milik bapak Kepala Desa Weoe. Setelah perjalanan selama
45 menit dari Kota Betun, Mama Brigitha yang duduk di bak belakang bersama kami
pun menunjuk ke sebuah sekolah berdinding putih di pinggir jalan, “Itu kakak
pung sekolah, SMA 17”. Sedikit kelegaan dalam diri saya karena sekolah yang
saya akan tempati tidak terlalu (maaf) udik
seperti yang saya bayangkan selama ini. Letaknya berada di pinggir jalan raya
pula. “Alhamdulillah ya Allah, berilah kemudahan dan kelancaran dalam
pengabdianku ini”, kataku dalam hati.
Lagi-lagi setelah perjalanan mulus yang saya lalui, perjalanan
disambung dengan jalanan berbatu dan menanjak. “Mau kemana lagi ini kita Mama?”
tanyaku kepada Mama Brigitha karena ada rasa was-was dalam hati ketika jalan
semakin terjal menanjak bahkan kami melewati hutan jati yang tidak ada rumah di
kanan kirinya. Namun ternyata setelah beberapa tanjakan kami menemukan sebuah
halaman yang luas dan ada sebuah bangunan di sana. “Selamat datang kakak,
selamat datang kakak, selama datang kami ucapkan, terimalah salam dari kami
yang ingin maju bersama-sama”, seketika terdengar suara anak-anak SD menyanyi
ketika kami turun dari oto. Di halaman tersebut berjajar rapi anak-anak SD
berseragam merah putih dan beberapa guru SD N Oevetnai. Ada seorang guru yang
mengalungkan tais (kain) selendang tenun di leher saya dan teman saya. Beberapa
dari mereka menyambut kami dengan mata berkaca-kaca. Saya pun terharu sekali
melihat pemandangan tersebut. Betapa luar biasa sambutan mereka menyambut kami ‘guru
dari Jawa’ mereka menyebutnya. Kami kemudian duduk di kursi-kursi yang telah
dipersiapkan bersama dengan para guru dan orang tua siswa dan tetua adat dari
Dusun Wetalas. Kebanyakan dari tetua adat tidak bisa berbahasa Indonesia.
Mereka berbicara dengan menggunakan bahasa Dawan dan bahasa Tetun. Saya sama
sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Akan tetapi Mama Brigitha
selalu dengan senang hati menjelaskan kembali dalam Bahasa Indonesia apa yang
tetua adat katakan. Di sini juga saya dibuat kaget karena saya disodori daun
sirih dan buah pinang. “Ibu, kalau disini tamu yang datang harus makan sirih,”
kata Bapak Herman. Jadilah pengalaman makan sirih saya alami di sini. Luar
biasa.
Beberapa hari
kemudian, tiba waktunya saya masuk sekolah dan melakukan perkenalan dengan guru
dan siswa SMA Swasta 17 Agustus Weoe. Jarak tempat tinggal saya dengan sekolah
tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter saja. Untuk sementara saya dan
Novita tinggal bersama Mama Brigitha di Dusun Weoe. Suami Mama Brigitha, Bapak
Laurens, adalah salah seorang guru sekaligus salah seorang pendiri Yayasan 17
Agustus, sekolah yang akan menjadi tempat pengabdian saya. Selain itu, pertimbangan
jarak ke sekolah dan keamanan juga menjadi alasan saya tinggal di sana. Pada
pagi hari saya berangkat ke sekolah bersama Bapak Laurens dengan berjalan kaki
melewati jalanan berbatu yang membelah perkampungan Weoe. “Ibu, beruntung ini
bukan musim hujan, kalau hujan jalan ini lumpur semua, kita setengah mati”,
begitu cerita Bapak Laurens dalam perjalanan pertama saya ke sekolah.
Di sekolah, saya mengajar mata pelajaran Bahasa
Inggris. Saya melakukan perkenalan dengan para siswa dari kelas ke kelas. “Good morning everyone,” saya menyapa
siswa-siswi kelas XA dengan menggunakan Bahasa Inggris. Beberapa dari mereka
menjawab kembali dengan Bahasa Inggris namun masih malu-malu, sementara
beberapa anak yang lain diam dan tersenyum saja melihat saya. Saya satu-satunya
perempuan yang menggunakan jilbab di sekolah itu, jadi mereka masih merasa
asing dengan kehadiran dan penampilan saya. Apalagi ditambah dengan logat
bicara yang juga berbeda. Akan tetapi rasa penasaran membuat mereka ingin tahu
tentang saya dan juga Jawa. Di awal kedatangan saya di kelas, saya dan para
siswa banyak mengobrol dan bertanya jawab terutama seputar bahasa. Selama tinggal dengan keluarga Bapak Laurens
dan Mama Brigitha saya juga sudah belajar beberapa kosakata dalam bahasa Tetun
seperti katene tian? (sudah
mengerti?), anliun (kami terus) dan
lainnya. Bahkan saya mendapat nama panggilan Bete Dobe, yang dalam bahasa Tetun artinya nona yang berkepribadian
halus dan disayang namun sedikit manja. Mama Brigitha memberi nama tersebut
karena tahu saya adalah anak bungsu di keluarga saya. Di kelas, para siswa pun tertawa
ketika saya berhasil berhitung satu sampai sepuluh dalam Bahasa Tetun. Mereka
pun juga meminta saya mengajari mereka beberapa kosakata Bahasa Jawa. Rasa
canggung pun mulai mencair. Melalui bahasa kita bisa mendekatkan diri dan
bersosialisasi dengan baik.
Di sekolah, rutinitas setiap pagi para siswa adalah menyapu
dedaunan pohon angsana yang berguguran. Biasanya para siswa perempuan menyapu
dan siswa laki-laki meraupnya ke dalam kotak sampah lalu membuangnya. Disini
tidak ada petugas kebersihan yang bertugas membersihkan sekolah. Oleh karena
itu para siswa dan guru saling bahu membahu untuk membersihkan lingkungan
sekolah. Kegiatan setelah pembersihan adalah apel pagi kemudian dilanjutkan
dengan pembelajaran di dalam kelas. Untuk menjaga kebersihan lingkungan, di
sekolah juga terdapat program Jumat bersih, dimana para siswa melakukan
pembersihan lingkungan, memperbaiki pagar sekolah, serta melakukan penanaman
pohon pisang, kelapa, jeruk, mangga, nangka, sirih daun, sirih buah, dan
pinang. Tujuan dari penanaman ini adalah untuk membuat lingkungan sekolah
menjadi asri serta para siswa dan guru juga dapat menuai hasilnya.
Di SMA 17 Agustus Weoe, terdapat 12 rombel yaitu XA,
XB, XC, XD, XI IPS I, XI IPS II, XI Bahasa, XI IPA, XII IPS I, XII IPS II, XII
Bahasa, serta XII IPA. Saya diberikan tugas mengajar 3 kelas yaitu XA, XB dan
XI Bahasa. Tidak mudah memang mengajar bahasa Inggris di wilayah Timor ini. Hal
ini dikarenakan kebanyakan mereka masih kesulitan menggunakan Bahasa Indonesia,
dan juga pengaruh bahasa daerah serta penggunaan struktur tata bahasa, misalnya
dalam kalimat ‘Saya tulis ambil dulu Ibu’ atau ‘Saya makan tahan dulu’. Hal ini
membuat mereka ragu-ragu ketika ingin mengungkapkan kalimat dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Apalagi input yang para siswa
dapatkan juga kurang. Mereka baru mulai belajar bahasa Inggris dari jenjang SMP
dan SMA saja. Minat, keaktifan bahkan kehadiran siswa juga rendah. Namun, hal
ini bukanlah suatu halangan. Saya bertekad untuk membuat para siswa setidaknya
harus tertarik dulu dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Inggris.
Pada proses pembelajaran, saya berusaha menerapkan
strategi pembelajaran yang telah saya pelajari semasa perkuliahan. Di sini,
saya merasa tertantang untuk mengemas suatu pembelajaran yang menarik. Didukung
dengan ketersediaan listrik dan jaringan yang ada, saya berusaha memanfaatkan
teknologi yang ada untuk menunjang proses pembelajaran. Hanya saja, selama ini
karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru untuk memanfaatkan teknologi
serta ketersediaan sarana-prasarana seperti ketersediaan laptop dan komputer
membuat pembelajaran sehari-hari di daerah perbatasan menjadi terasa monoton
dan kurang menarik minat belajar siswa. Pada awalnya, selalu saja ada lebih
dari 5 siswa yang tidak hadir tanpa keterangan di kelas saya. Namun suatu hari,
dalam proses pembelajaran saya mengajak para siswa untuk bermain game kosakata Scrabble dan juga flip and match. Saya juga menggunakan laptop dan speaker untuk
memutar lagu berbahasa Inggris ketika mengajar listening. Hasilnya, para siswa sangat antusias dalam mengikuti
pelajaran. Bahkan, mereka menjadi rajin untuk berangkat sekolah hingga tidak
ada yang alpha lagi. Rasa percaya diri mereka pun mulai terbangun apalagi adanya
program English Day setiap hari
Jumat, dimana para siswa harus menggunakan bahasa Inggris ketika berkomunikasi
baik dengan sesama teman atau guru. Memang mereka belum bisa bercakap-cakap
dalam bahasa Inggris tetapi mereka sudah cukup percaya diri ketika menyapa guru
dan temannya dan saling bertanya kabar dalam bahasa Inggris. Kemauan serta
ketertarikan inilah sebenarnya yang akan menjadi bekal awal mereka untuk bisa
belajar dengan sungguh-sungguh.
Menjelang akhir pengabdian saya selama satu tahun di
Malaka ini, saya selalu berharap para siswa bisa terbangun rasa percaya dirinya
dan bisa memotivasi diri sendiri untuk lebih berkembang serta terbuka
pikirannnya walaupun berada ditengah keterbatasan. Harapannya adalah setidaknya
mereka pernah merasakan pengalaman pembelajaran yang cukup sebagai bekal mereka
untuk memajukan kesejahteraan dan membantu pembangunan serta pengembangan
daerah mereka ini. Saya juga selalu berpesan kepada mereka untuk bisa menguasai
bahasa asing agar selalu mampu bersaing di era globalisasi. Saya tidak pernah
bosan untuk berpesan dan memberi pengertian kepada para siswa bahwa suatu saat
nanti Malaka ini pasti menjadi sangat maju sehingga kita sebagai masyarakat lokal
harus siap untuk bersaing salah satunya adalah dengan bekal ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar