Oleh : Eka Laela, S.Pd
“Jika
keadaan biasa tidak bisa mengubahmu menjadi lebih baik, maka Allah akan menempatkanmu
di posisi lain, keluar dari zona nyaman,” sepertinya itu adalah kalimat yang
cocok untukku.
Sebelumnya,
aku tidak pernah membayangkan terpisah jauh dari orang tua dan hidup di luar
Pulau Jawa. Tetapi suatu hari terbesit di dalam
pikiran dan jiwaku bahwa aku harus berada di sana, diantara anak-anak itu.
Hingga takdir Allah mengantarkanku mengikuti program SM3T.
Pada
awalnya aku berpikir bahwa aku tidak mungkin sendirian di penempatan, karena
aku perempuan. Tetapi setelah sampai Kabupaten, ekspektasiku salah. Baik
laki-laki maupun perempuan peserta SM3T di Kabupaten kami, harus ditempatkan seorang
diri di sekolah masing-masing. Aku menghargai keputusan tersebut. Namun, di
dalam hati aku berpikir apakah aku bisa sendirian? Sedangkan aku seorang
perempuan?
Aku
ditempatkan di SMP Negeri Satu Atap Bubun, Kecamatan Io Kufeu, Kabupaten
Malaka, Nusa Tenggara Timur. Aku datang dengan dijemput Kepala Sekolah di
Kantor Bupati. Kemudian kami menuju penempatan yang memakan waktu sekitar 3 jam
perjalanan dari Betun, Ibukota Kabupaten Malaka. Perjalanan yang kami lalui
sangat baru bagiku. Meskipun naik mobil atau yang masyarakat setempat
menamainya oto, namun kami harus naik gunung kemudian turun gunung kembali
untuk sampai di penempatan. Di kanan kiri jalan benar-benar hutan dengan
jalanan berbatu bukan aspal yang tentunya badan akan tergoyang-goyang jika
melalui jalanan yang cukup ekstrem. Apalagi di kanan kiri tidak terdapat lampu
jalan, kami hanya mengandalkan lampu oto saja.
Sesampainya
di sana aku mendapati lingkungan sekolah tersebut tidak ada listrik dan susah sinyal.
Beruntungnya, genset menyala sejak jam 18.00-21.00 WITA. Ketika genset mati aku
bisa menggunakan pelita yang dibuat dari kaleng bekas dan diberi sumbu, setelah
ditaruh minyak tanah secukupnya maka api mulai dinyalakan. Aku tidur di mess
guru dengan ditemani dua murid asrama.
Dalam
waktu hampir 24 jam aku tidak mendapatkan sinyal ponsel sedikitpun. Kupikir di
sini memang benar-benar tidak ada sinyal sama sekali. Lalu rekan-rekan guru
mengarahkanku bahwa jika ponsel diletakkan di jendela akan dapat jaringan. Lalu
aku mencoba seperti apa yang dikatakan mereka. Dan ajaib sekali, setelah ponsel
kuletakkan di jendela maka sinyal muncul dengan sendirinya, tidak
tanggung-tanggung, bisa sampai tiga balok dari empat balok indikator sinyal.
Kadang naik-turun antara dua atau tiga balok.
Setelah
senang mendapatkan sinyal, lalu aku mulai mengetik sms untuk kukirimkan kepada
ibu di rumah, memberi kabar bahwa anaknya sudah sampai penempatan dengan lancar
dan selamat. Namun apa yang terjadi? Ketika aku ketik sms dengan mengangkat
ponsel, ternyata sinyal hilang kembali. Kemudian aku letakkan lagi di jendela,
maka sinyal muncul kembali. Begitu aku mengetik sms lagi sambil mengangkat
ponsel, sinyal hilang.
Kemudian
aku berpikir bahwa ternyata sinyal akan benar-benar hilang apabila aku
mengangkat ponsel dari jendela, tidak bisa mengangkat ponsel sembarangan bahkan
meletakkan sembarangan. Jadi, setiap hari aku hanya meletakkan ponsel di jendela
saja, maka sms atau telepon bisa masuk.
Jika
di penempatan saya, Bubun, tidak boleh meletakkan ponsel sembarangan. Jika yang
biasanya ponsel lupa diletakkan dimana, maka bisa dimissed call untuk mencari
tapi. Tapi di Bubun tidak bisa. Jika terlupa meletakkan ponsel, maka akan
sangat susah mencarinya, tidak bisa missed call karena tidak ada jaringan.
Pagi
dan sore hari aku harus mengambil air di kali menggunakan jerigen atau orang
Malaka menyebutnya jergen. Menuju kali tidak terlalu jauh tetapi jalannya
menurun. Ketika naik kembali aku hanya bisa membawa dua jergen air. Namun siswa
yang tinggal bersamaku bisa membawa tiga sampai empat jergen air. Dan itu
sangat membantuku untuk keperluan masak, mandi, dan cuci piring.
Meskipun
tidak ada listrik dan susah sinyal, apalagi sinyal internet, namun aku
bersyukur karena dekat dengan sumber air. Bagiku, aku lebih memilih air
dibandingkan lainnya. Bagiku air adalah sumber kehidupan, karena semua
kebutuhan rumah tangga memerlukan air. Aku yang notabene alergi dingin juga
bersyukur karena aku ditempatkan di tempat yang suhunya ramah untuk
kesehatanku. Memang Allah tahu apa yang kita butuhkan dan Allah tahu yang
terbaik dimana kita harus ditempatkan.
Menjelang
sore hari aku juga turun ke kali membawa pakaian-pakaian kotor. Biasanya aku
lakukan dua kali dalam seminggu. Senang sekali mencuci di kali, airnya banyak
dan gemerisik air membuat suasana hati dan pikiran menjadi tenang. Bagiku,
mendengarkan suara air bisa untuk terapi mental.
Di
sekolah aku mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Kesempatan ini aku gunakan juga
untuk mengetahui kebiasaan anak-anak atau kehidupan sosial anak-anak di daerah
ini, karena mereka cukup berbeda dengan anak-anak di sekolah tempat asalku.
Siswa
di sini terbagi menjadi dua, yaitu siswa yang tinggal di asrama dan tinggal di
rumah. Jika siswa yang rumahnya di dekat sekolah maka ia bisa tinggal di rumah
saja. Namun bagi siswa yang rumahnya jauh, maka kurang memungkinkan bagi mereka
untuk pergi pulang dari rumah ke sekolah, dan dari sekolah ke rumah setiap
hati. Untuk itulah disediakan asrama, baik untuk putra
maupun putri. Meskipun begitu, ada saja siswa putra yang rumahnya jauh namun
tidak bersedia tinggal di asrama, karena beberapa alasan. Diantaranya yaitu
karena di rumah membantu orang tua, alasan makanan yang tidak ada sebagai
persediaan selama di asrama, dan lain sebagainya. Sebagin besar penduduknya
adalah petani.
Suatu
hari aku berencana mengunjungi tempat tinggal salah satu teman SM3T yang berada
di atas. Namun sampai sore aku belum mendapatkan ojek. Padahal tidak ada otto
atau angkutan yang lewat depan rumahku. Maka jalan satu-satunya adalah aku ikut
anak-anak jalan kali, karena tempat tinggal temanku harus melewati rumah
tersebut. Namun sebelum sampai sana,
maka aku harus melewati perkampungan para muridku. Maka aku jalan kaki sampai
rumah salah satu murid. ikut merasakan siswa bagaimana rasanya jalan kaki dari
sekolah sampai rumah. Maka suatu hari aku ikut mereka jalan kaki menuju atas,
menuju sekolah teman SM3T saya yang lain. Aku berjalan memakan waktu satu
setengah jam, karena banyak berhenti. Jalanan yang menanjak membuat tubuh cepat
lelah, sehingga harus banyak berhenti dan beristirahat. Tentu saja aku tidak
sendirian, aku bersama anak-anak yang akan pulang ke rumah. Mereka baik sekali
karena sepanjang perjalanan mereka bergantian menggendong tas saya. Jika mereka
berjalan tidak dengan saya, mungkin tidak ada satu jam perjalanan mereka sudah
sampai di rumah masing-masing. Namun kali ini mereka sengaja melambatkan
langkah, menyesuaikan dengan langkahku yang tidak biasa berjalan kaki jauh.
Hari
demi hari aku lalui di Tanah Timor. Suatu hari muncullah lampu sehen atau lampu
tenaga surya. Jadi malam hari setelah genset hidup aku tidak perlu menggunakan
pelita lagi, aku menggunakan lampu sehen untuk menerangi tidur dan mimpiku.
Meskipun kalau hujan aku tetap harus pakai lampu pelita, karena daya lampu
sehen hanya bisa terisi jika ada sinar matahari saja. Lambat laun pun ada
pembangunan bak air di dekat tempat aku tinggal, sehingga bisa memenuhi
kebutuhan air tanpa harus turun ke kali. Hanya saja ambil air di bak terkadang
harus antri karena bak untuk kebutuhan umum masyarakat sekitar.
Hal
yang baru juga aku temui ketika bertamu ke rumah masyarakat, pertama-tama aku
tidak disuguhi teh dan biskuit, tetapi disuguhi sirih dan pinang. Itu adalah
suguhan wajib bagi masyarakat di Pulau Timor. Sesekali aku pernah memakan sirih
dan pinang.
Selama
di pelosok, aku pun mengalami bulan puasa di sana. Sebelumnya aku tidak pernah
menjalankan ibadah puasa di lingkungan nonmuslim. Namun kali ini suatu hal yang
baru ketika aku harus berpuasa sedangkan lingkungan setempat adalah mayoritas
beragama Katolik. Namun itu sama sekali tidak masalah untukku ataupun untuk
mereka. Mereka sesekali tanya bagaimana puasa orang Islam, saya menjawab bahwa
puasa kami tidak makan dan minum dan menahan hawa nafsu.
Kebetulan
tetangga di sebelah mes mempunyai keluarga Muslim di Pulau Flores, sehingga
waktu kecil beliau sudah tahu bagaimana orang Islam berpuasa. Beberapa kali
ketika beliau ada urusan ke kabupaten, aku dibelikan oleh-oleh untuk berbuka
puasa. Terkadang aku juga diberi lauk untuk berbuka. Bahkan aku digorengkan kerupuk
karena beliau tahu bahwa aku orang Jawa yang menyukai kerupuk. Masyarakat
sekitar umumnya ramah, welcome, dan
suka saling membantu. Jadi aku tidak pernah merasa kesusahan selama tinggal di
pelosok. Aku juga belajar agar tidak ketergantungan dengan ponsel, agar lebih
menghargai apa yang ada di samping kita dengan tidak intens bermain-main
handphone karena memang sinyal yang tidak memadai.
Itulah
sedikit cerita dan pengalaman selama berada di daerah Terdepan, Terluar, dan
Tertinggal. Pertanyaanku di awal datang ke daerah 3T apakah aku bisa
ditempatkan sendirian? Ternyata aku bisa. Aku bisa karena di sana aku
mendapatkan teman-teman baru, tetangga baru, dan keluarga baru. Sejatinya kita
tidak pernah benar-benar sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar