Translate

Minggu, 20 Agustus 2017

Tentang Perjalanan yang Tidak Pernah Terlupakan





Oleh : Eka Laela, S.Pd

“Jika keadaan biasa tidak bisa mengubahmu menjadi lebih baik, maka Allah akan menempatkanmu di posisi lain, keluar dari zona nyaman,” sepertinya itu adalah kalimat yang cocok untukku.
Sebelumnya, aku tidak pernah membayangkan terpisah jauh dari orang tua dan hidup di luar Pulau Jawa. Tetapi suatu hari terbesit di dalam pikiran dan jiwaku bahwa aku harus berada di sana, diantara anak-anak itu. Hingga takdir Allah mengantarkanku mengikuti program SM3T.
Pada awalnya aku berpikir bahwa aku tidak mungkin sendirian di penempatan, karena aku perempuan. Tetapi setelah sampai Kabupaten, ekspektasiku salah. Baik laki-laki maupun perempuan peserta SM3T di Kabupaten kami, harus ditempatkan seorang diri di sekolah masing-masing. Aku menghargai keputusan tersebut. Namun, di dalam hati aku berpikir apakah aku bisa sendirian? Sedangkan aku seorang perempuan?
Aku ditempatkan di SMP Negeri Satu Atap Bubun, Kecamatan Io Kufeu, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Aku datang dengan dijemput Kepala Sekolah di Kantor Bupati. Kemudian kami menuju penempatan yang memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan dari Betun, Ibukota Kabupaten Malaka. Perjalanan yang kami lalui sangat baru bagiku. Meskipun naik mobil atau yang masyarakat setempat menamainya oto, namun kami harus naik gunung kemudian turun gunung kembali untuk sampai di penempatan. Di kanan kiri jalan benar-benar hutan dengan jalanan berbatu bukan aspal yang tentunya badan akan tergoyang-goyang jika melalui jalanan yang cukup ekstrem. Apalagi di kanan kiri tidak terdapat lampu jalan, kami hanya mengandalkan lampu oto saja.
Sesampainya di sana aku mendapati lingkungan sekolah tersebut tidak ada listrik dan susah sinyal. Beruntungnya, genset menyala sejak jam 18.00-21.00 WITA. Ketika genset mati aku bisa menggunakan pelita yang dibuat dari kaleng bekas dan diberi sumbu, setelah ditaruh minyak tanah secukupnya maka api mulai dinyalakan. Aku tidur di mess guru dengan ditemani dua murid asrama.
Dalam waktu hampir 24 jam aku tidak mendapatkan sinyal ponsel sedikitpun. Kupikir di sini memang benar-benar tidak ada sinyal sama sekali. Lalu rekan-rekan guru mengarahkanku bahwa jika ponsel diletakkan di jendela akan dapat jaringan. Lalu aku mencoba seperti apa yang dikatakan mereka. Dan ajaib sekali, setelah ponsel kuletakkan di jendela maka sinyal muncul dengan sendirinya, tidak tanggung-tanggung, bisa sampai tiga balok dari empat balok indikator sinyal. Kadang naik-turun antara dua atau tiga balok.
Setelah senang mendapatkan sinyal, lalu aku mulai mengetik sms untuk kukirimkan kepada ibu di rumah, memberi kabar bahwa anaknya sudah sampai penempatan dengan lancar dan selamat. Namun apa yang terjadi? Ketika aku ketik sms dengan mengangkat ponsel, ternyata sinyal hilang kembali. Kemudian aku letakkan lagi di jendela, maka sinyal muncul kembali. Begitu aku mengetik sms lagi sambil mengangkat ponsel, sinyal hilang.
Kemudian aku berpikir bahwa ternyata sinyal akan benar-benar hilang apabila aku mengangkat ponsel dari jendela, tidak bisa mengangkat ponsel sembarangan bahkan meletakkan sembarangan. Jadi, setiap hari aku hanya meletakkan ponsel di jendela saja, maka sms atau telepon bisa masuk.
Jika di penempatan saya, Bubun, tidak boleh meletakkan ponsel sembarangan. Jika yang biasanya ponsel lupa diletakkan dimana, maka bisa dimissed call untuk mencari tapi. Tapi di Bubun tidak bisa. Jika terlupa meletakkan ponsel, maka akan sangat susah mencarinya, tidak bisa missed call karena tidak ada jaringan.
Pagi dan sore hari aku harus mengambil air di kali menggunakan jerigen atau orang Malaka menyebutnya jergen. Menuju kali tidak terlalu jauh tetapi jalannya menurun. Ketika naik kembali aku hanya bisa membawa dua jergen air. Namun siswa yang tinggal bersamaku bisa membawa tiga sampai empat jergen air. Dan itu sangat membantuku untuk keperluan masak, mandi, dan cuci piring.
Meskipun tidak ada listrik dan susah sinyal, apalagi sinyal internet, namun aku bersyukur karena dekat dengan sumber air. Bagiku, aku lebih memilih air dibandingkan lainnya. Bagiku air adalah sumber kehidupan, karena semua kebutuhan rumah tangga memerlukan air. Aku yang notabene alergi dingin juga bersyukur karena aku ditempatkan di tempat yang suhunya ramah untuk kesehatanku. Memang Allah tahu apa yang kita butuhkan dan Allah tahu yang terbaik dimana kita harus ditempatkan.
Menjelang sore hari aku juga turun ke kali membawa pakaian-pakaian kotor. Biasanya aku lakukan dua kali dalam seminggu. Senang sekali mencuci di kali, airnya banyak dan gemerisik air membuat suasana hati dan pikiran menjadi tenang. Bagiku, mendengarkan suara air bisa untuk terapi mental.
Di sekolah aku mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Kesempatan ini aku gunakan juga untuk mengetahui kebiasaan anak-anak atau kehidupan sosial anak-anak di daerah ini, karena mereka cukup berbeda dengan anak-anak di sekolah tempat asalku.
Siswa di sini terbagi menjadi dua, yaitu siswa yang tinggal di asrama dan tinggal di rumah. Jika siswa yang rumahnya di dekat sekolah maka ia bisa tinggal di rumah saja. Namun bagi siswa yang rumahnya jauh, maka kurang memungkinkan bagi mereka untuk pergi pulang dari rumah ke sekolah, dan dari sekolah ke rumah setiap hati. Untuk itulah disediakan asrama, baik untuk putra maupun putri. Meskipun begitu, ada saja siswa putra yang rumahnya jauh namun tidak bersedia tinggal di asrama, karena beberapa alasan. Diantaranya yaitu karena di rumah membantu orang tua, alasan makanan yang tidak ada sebagai persediaan selama di asrama, dan lain sebagainya. Sebagin besar penduduknya adalah petani.
Suatu hari aku berencana mengunjungi tempat tinggal salah satu teman SM3T yang berada di atas. Namun sampai sore aku belum mendapatkan ojek. Padahal tidak ada otto atau angkutan yang lewat depan rumahku. Maka jalan satu-satunya adalah aku ikut anak-anak jalan kali, karena tempat tinggal temanku harus melewati rumah tersebut.  Namun sebelum sampai sana, maka aku harus melewati perkampungan para muridku. Maka aku jalan kaki sampai rumah salah satu murid. ikut merasakan siswa bagaimana rasanya jalan kaki dari sekolah sampai rumah. Maka suatu hari aku ikut mereka jalan kaki menuju atas, menuju sekolah teman SM3T saya yang lain. Aku berjalan memakan waktu satu setengah jam, karena banyak berhenti. Jalanan yang menanjak membuat tubuh cepat lelah, sehingga harus banyak berhenti dan beristirahat. Tentu saja aku tidak sendirian, aku bersama anak-anak yang akan pulang ke rumah. Mereka baik sekali karena sepanjang perjalanan mereka bergantian menggendong tas saya. Jika mereka berjalan tidak dengan saya, mungkin tidak ada satu jam perjalanan mereka sudah sampai di rumah masing-masing. Namun kali ini mereka sengaja melambatkan langkah, menyesuaikan dengan langkahku yang tidak biasa berjalan kaki jauh.
Hari demi hari aku lalui di Tanah Timor. Suatu hari muncullah lampu sehen atau lampu tenaga surya. Jadi malam hari setelah genset hidup aku tidak perlu menggunakan pelita lagi, aku menggunakan lampu sehen untuk menerangi tidur dan mimpiku. Meskipun kalau hujan aku tetap harus pakai lampu pelita, karena daya lampu sehen hanya bisa terisi jika ada sinar matahari saja. Lambat laun pun ada pembangunan bak air di dekat tempat aku tinggal, sehingga bisa memenuhi kebutuhan air tanpa harus turun ke kali. Hanya saja ambil air di bak terkadang harus antri karena bak untuk kebutuhan umum masyarakat sekitar.
Hal yang baru juga aku temui ketika bertamu ke rumah masyarakat, pertama-tama aku tidak disuguhi teh dan biskuit, tetapi disuguhi sirih dan pinang. Itu adalah suguhan wajib bagi masyarakat di Pulau Timor. Sesekali aku pernah memakan sirih dan pinang.
Selama di pelosok, aku pun mengalami bulan puasa di sana. Sebelumnya aku tidak pernah menjalankan ibadah puasa di lingkungan nonmuslim. Namun kali ini suatu hal yang baru ketika aku harus berpuasa sedangkan lingkungan setempat adalah mayoritas beragama Katolik. Namun itu sama sekali tidak masalah untukku ataupun untuk mereka. Mereka sesekali tanya bagaimana puasa orang Islam, saya menjawab bahwa puasa kami tidak makan dan minum dan menahan hawa nafsu.
Kebetulan tetangga di sebelah mes mempunyai keluarga Muslim di Pulau Flores, sehingga waktu kecil beliau sudah tahu bagaimana orang Islam berpuasa. Beberapa kali ketika beliau ada urusan ke kabupaten, aku dibelikan oleh-oleh untuk berbuka puasa. Terkadang aku juga diberi lauk untuk berbuka. Bahkan aku digorengkan kerupuk karena beliau tahu bahwa aku orang Jawa yang menyukai kerupuk. Masyarakat sekitar umumnya ramah, welcome, dan suka saling membantu. Jadi aku tidak pernah merasa kesusahan selama tinggal di pelosok. Aku juga belajar agar tidak ketergantungan dengan ponsel, agar lebih menghargai apa yang ada di samping kita dengan tidak intens bermain-main handphone karena memang sinyal yang tidak memadai.
Itulah sedikit cerita dan pengalaman selama berada di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Pertanyaanku di awal datang ke daerah 3T apakah aku bisa ditempatkan sendirian? Ternyata aku bisa. Aku bisa karena di sana aku mendapatkan teman-teman baru, tetangga baru, dan keluarga baru. Sejatinya kita tidak pernah benar-benar sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar