Oleh : Aneisia Khairawati Saputra, S. Pd
Pagi
yang mendung telah membuka pagi hari ini. Kegiatan sekolah dan rutinitas para
warga sekolah sudah di mulai sejak hari masih gelap. Hari ini terasa berbeda
karena bukan sinar mentari yang
menyambut tetapi mendung disertai angin. Keadaan itu tak membuat terganggunya
aktivitas warga sekolah, seperti biasa kegiatan diawali dengan timba air dengan
jerigen. Yaaa, dengan jerigen kami warga sekolah pergi timba air untuk memenuhi
kebutuhan dapur seperti memasak, dan urusan kamar mandi. Musim seharusnya sudah
berganti memasuki musim kemarau yang dapat dipastiak kesulitan air untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Selamat
pagi, ibu su timba air ka belum?” tanya salah seorang muridku dengan logat khas
NTT. Seorang murid yang biasa membantuku dalam memenuhi kebutuhan air.
Perkenalkan nama murid kesayanganku bernama Frengky. Murid kelas VIII yang
tinggal dengan salah seorang guru asli warga Kecamatan Rinhat. Tepatnya aku
bertugas di SMP Negeri Satu Atap Nunfutu Desa Wekeke, Kecamatan Rinhat,
Kabupaten Malaka, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Ini adalah pengalaman pertama
saya sekaligus hal baru buat anak muridku dan umumnya warga sekitar sekolah
karena sebelumnya belum pernah ada SM3T yang bertugas di Kabupaten Malaka.
Setiap
pagi Fe, biasa aku menyebut nama akrabnya datang ke perpustakaan untuk membantu
timba air dan apabila persediaan air masih cukup Fe akan kembali bertanya pada
sore harinya. Kami timba air tidak di sumur atau sumber air, yang tinggal tarik
dengan timba atau pompa air tetapi kami harus pergi ke sungai yang letaknya di
ujung desa dengan jarak kurang lebih 3 km. Timba air kami lakukan dengan
berjalan kaki, ada yang sebagian dengan motor bagi orang yang mampu. Biasanya
kami timba dengan mama-mama dan anaknya. Rutinitas timba air ini sudah menjadi
hal wajib karena setiap rumah tidak memiliki sumber air selain timba air di
sungai.
Timba
air, pertama kali saya mendengar kata itu berpikir kalau sumber airnya dari
sumur atau sumber air yang layak. Sumber air dari sungai ini merupakan sumber
air satu-satunya yang digunakan warga Desa Wekeke untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Masyarakat di Desa Wekeke ini sudah turun temurun menggunakan air
kali, sungai mereka menyebutnya kali. Bila musim hujan datang dapat dipastikan
sumber air dari kali ini hilang. Sumber air kali biasa kami ambil dengan cara
membuat galian sehingga menghasilkan lubang dan air akan keluar dari sela-sela
bebatuan maupun pasir. Lubang galian ini tidak hanya satu karena pada dasarnya
setiap orang dibebaskan untuk membuat “sumur “ dengan catatan tidak merusak
galian yang sudah ada agar tetap dapat diambil airnya oleh orang lain.
Perlengkapan yang biasa kami bawa dalam timba air ialah jerigen bekas minyak
goreng dan sebuah gayung di tambah beberapa buah daun kelapa muda untuk
mengikat jerigen. Lubang galian ini akan hilang bila hujan besar dan
menghasilkan banjir sehingga kami tidak bisa timba air di kali. Banjir yang
biasa datang tidak hanya 1 atau 2 hari bahkan bisa lebih lama tergantung
intensitas hujan pada hari itu dan adanya banjir kiriman dari kabupaten lain.
Bila musim banjir seperti ini kami susah mendapatkan air bersih dan oleh sebab
itu kami memanfaatkan air hujan sebagai pengganti dalam kebutuhan sehari-hari. Air
hujan yang kami pakai juga tergantung pada seberapa besar dan lamanya hujan.
Bila hujan hanya gerimis maka kami tidak bisa tadah air, maka diperlukan
kesabaran untuk tadah air dengan perlengkapan yang ada, seperti ember, periuk,
panci maupun gayung demi mendapatkan air.
Bila
air kali banjir kami gunakan air hujan sebagai gantinya, tetapi air hujan
digunakan untuk mandi hasilnya menjadi licin bila bertemu dengan sabun. Bila
hujan berkepanjangan berarti denga begitu kami aman dalam persediaan air tetapi
ada hal lainnya yaitu anak murid semakin berkurang dan kondisi kelas menjadi
kotor karena lumpur. Sekolah masuk terlambat sudah menjadi hal yang biasa bila
musim penghujan datang, bahkan terkadang ada libur dadakan karena hujan deras
dan jarak rumah yang jauh. Suatu ketika pernah saya pulang dari beribadah di
kota dengan teman menggunakan motor yang kami pinjam dari Kepala sekolah,
setibanya di dekat sungai suara gemuruh angin terdengar sangat deras dan
ternyata setelah kami sampai di pinggir sungai terjadi banjir. Kami sepakat
untuk menunggu air agak surut dengan tujuan kami dapat menyebrang menggunakan
motor karena kami membawa bahan untuk ujian. Setelah beberapa jam kami menunggu
tidak ada tanda-tanga air akan surut tetapi mendung datang dan sudah mulai
gerimis. Mungkin rejeki bagi kami karena ada 2 orang yang datang dengan tujuan
yang sama, selain itu ada pula dari sebrang yang ingin menyebrang ke arah kami.
Setelah itu datanglah seorang bapak yang rumahnya tidak jauh dari bibir sungai
tersebut, dengan cekatannya bapak tersebut membantu kami dengan cara mencari
kayu yang akan digunakan untuk memikul motor. Selang beberapa saat datang pula
kepala puskesmas desa tetangga maka dirasa sudah cukup orang untuk memikul
motor maka perlahan-lahan motor kami telah sampai di sebrang sungai. Tidak
hanya kami dan bapak yang menolong kami tetapi kami merasa terharu karena ada
anak-anak kecil yang ikut membantu menyebrangkan barang bawaan kami dengan
hati-hati dan selamat tanpa basah sedikitpun. Setalah kami sampai di sebrang
kami ucapkan terimakasih kepada bapak tersebut
yang telah menolong kami, kami berniat memberikan uang sekedarnya untuk
membalas kebaikan bapak tersebut yang telah membantu tetapi bapak tersebut
menolak dengan halus.
“maaf
Ibu dan Pak Guru, kami tidak boleh menerima ataupun meminta uang karena kami
membantu menyebrangkan Pak dan Ibu” ucap bapak tersebut. Awalnya kami sedikit
kecewa dengan penolakan bapak tersebut, lalu bapak tersebut memberikan
penjelasan bahwa menerima atau meminta uang dari hasil menyebrangkan di kali
itu hukumnya pamali karena mereka berkeyakinan kan berdampak buruk bagi
keselamatan anggota keluarga, selain itu dapat berakibat pada kematian atau
malapetaka lainnya. Kami hanya termenung mendengar penjelasan dari bapak
tersebut. Bayangkan mereka bertaruh nyawa demi orang yang bahkan mereka tidak
kenal dan hanya tau kalau kami ini Pak dan Ibu Guru dari Jawa yang bertugas di
Desanya. Sungguh mulai hati orang timor dan kami tidak hentinya mengucapkan terima
kasih kepada bapak tersebut. Ketulusan yang sungguh luar biasa yang sudah
jarang sekali kami temui di kota-kota besar. Masyarakat timor tidak akan
mengeluh ataupun marah bila diminta bantuan, apapun akan mereka bantu dan
berikan walaupun mereka sedang susah. Budaya yang dijunjung tinggi ialah
memuliakan tamu dengan cara memberikan segala yang ada dengan sebaik mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar