Translate

Sabtu, 12 Agustus 2017

DUKA YANG TERGANTI SUKA



Oleh : Aneisia Khairawati Saputra, S. Pd




Pagi yang mendung telah membuka pagi hari ini. Kegiatan sekolah dan rutinitas para warga sekolah sudah di mulai sejak hari masih gelap. Hari ini terasa berbeda karena bukan  sinar mentari yang menyambut tetapi mendung disertai angin. Keadaan itu tak membuat terganggunya aktivitas warga sekolah, seperti biasa kegiatan diawali dengan timba air dengan jerigen. Yaaa, dengan jerigen kami warga sekolah pergi timba air untuk memenuhi kebutuhan dapur seperti memasak, dan urusan kamar mandi. Musim seharusnya sudah berganti memasuki musim kemarau yang dapat dipastiak kesulitan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Selamat pagi, ibu su timba air ka belum?” tanya salah seorang muridku dengan logat khas NTT. Seorang murid yang biasa membantuku dalam memenuhi kebutuhan air. Perkenalkan nama murid kesayanganku bernama Frengky. Murid kelas VIII yang tinggal dengan salah seorang guru asli warga Kecamatan Rinhat. Tepatnya aku bertugas di SMP Negeri Satu Atap Nunfutu Desa Wekeke, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Ini adalah pengalaman pertama saya sekaligus hal baru buat anak muridku dan umumnya warga sekitar sekolah karena sebelumnya belum pernah ada SM3T yang bertugas di Kabupaten Malaka.
Setiap pagi Fe, biasa aku menyebut nama akrabnya datang ke perpustakaan untuk membantu timba air dan apabila persediaan air masih cukup Fe akan kembali bertanya pada sore harinya. Kami timba air tidak di sumur atau sumber air, yang tinggal tarik dengan timba atau pompa air tetapi kami harus pergi ke sungai yang letaknya di ujung desa dengan jarak kurang lebih 3 km. Timba air kami lakukan dengan berjalan kaki, ada yang sebagian dengan motor bagi orang yang mampu. Biasanya kami timba dengan mama-mama dan anaknya. Rutinitas timba air ini sudah menjadi hal wajib karena setiap rumah tidak memiliki sumber air selain timba air di sungai.
Timba air, pertama kali saya mendengar kata itu berpikir kalau sumber airnya dari sumur atau sumber air yang layak. Sumber air dari sungai ini merupakan sumber air satu-satunya yang digunakan warga Desa Wekeke untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat di Desa Wekeke ini sudah turun temurun menggunakan air kali, sungai mereka menyebutnya kali. Bila musim hujan datang dapat dipastikan sumber air dari kali ini hilang. Sumber air kali biasa kami ambil dengan cara membuat galian sehingga menghasilkan lubang dan air akan keluar dari sela-sela bebatuan maupun pasir. Lubang galian ini tidak hanya satu karena pada dasarnya setiap orang dibebaskan untuk membuat “sumur “ dengan catatan tidak merusak galian yang sudah ada agar tetap dapat diambil airnya oleh orang lain. Perlengkapan yang biasa kami bawa dalam timba air ialah jerigen bekas minyak goreng dan sebuah gayung di tambah beberapa buah daun kelapa muda untuk mengikat jerigen. Lubang galian ini akan hilang bila hujan besar dan menghasilkan banjir sehingga kami tidak bisa timba air di kali. Banjir yang biasa datang tidak hanya 1 atau 2 hari bahkan bisa lebih lama tergantung intensitas hujan pada hari itu dan adanya banjir kiriman dari kabupaten lain. Bila musim banjir seperti ini kami susah mendapatkan air bersih dan oleh sebab itu kami memanfaatkan air hujan sebagai pengganti dalam kebutuhan sehari-hari. Air hujan yang kami pakai juga tergantung pada seberapa besar dan lamanya hujan. Bila hujan hanya gerimis maka kami tidak bisa tadah air, maka diperlukan kesabaran untuk tadah air dengan perlengkapan yang ada, seperti ember, periuk, panci maupun gayung demi mendapatkan air.

Bila air kali banjir kami gunakan air hujan sebagai gantinya, tetapi air hujan digunakan untuk mandi hasilnya menjadi licin bila bertemu dengan sabun. Bila hujan berkepanjangan berarti denga begitu kami aman dalam persediaan air tetapi ada hal lainnya yaitu anak murid semakin berkurang dan kondisi kelas menjadi kotor karena lumpur. Sekolah masuk terlambat sudah menjadi hal yang biasa bila musim penghujan datang, bahkan terkadang ada libur dadakan karena hujan deras dan jarak rumah yang jauh. Suatu ketika pernah saya pulang dari beribadah di kota dengan teman menggunakan motor yang kami pinjam dari Kepala sekolah, setibanya di dekat sungai suara gemuruh angin terdengar sangat deras dan ternyata setelah kami sampai di pinggir sungai terjadi banjir. Kami sepakat untuk menunggu air agak surut dengan tujuan kami dapat menyebrang menggunakan motor karena kami membawa bahan untuk ujian. Setelah beberapa jam kami menunggu tidak ada tanda-tanga air akan surut tetapi mendung datang dan sudah mulai gerimis. Mungkin rejeki bagi kami karena ada 2 orang yang datang dengan tujuan yang sama, selain itu ada pula dari sebrang yang ingin menyebrang ke arah kami. Setelah itu datanglah seorang bapak yang rumahnya tidak jauh dari bibir sungai tersebut, dengan cekatannya bapak tersebut membantu kami dengan cara mencari kayu yang akan digunakan untuk memikul motor. Selang beberapa saat datang pula kepala puskesmas desa tetangga maka dirasa sudah cukup orang untuk memikul motor maka perlahan-lahan motor kami telah sampai di sebrang sungai. Tidak hanya kami dan bapak yang menolong kami tetapi kami merasa terharu karena ada anak-anak kecil yang ikut membantu menyebrangkan barang bawaan kami dengan hati-hati dan selamat tanpa basah sedikitpun. Setalah kami sampai di sebrang kami ucapkan terimakasih kepada bapak tersebut  yang telah menolong kami, kami berniat memberikan uang sekedarnya untuk membalas kebaikan bapak tersebut yang telah membantu tetapi bapak tersebut menolak dengan halus.
“maaf Ibu dan Pak Guru, kami tidak boleh menerima ataupun meminta uang karena kami membantu menyebrangkan Pak dan Ibu” ucap bapak tersebut. Awalnya kami sedikit kecewa dengan penolakan bapak tersebut, lalu bapak tersebut memberikan penjelasan bahwa menerima atau meminta uang dari hasil menyebrangkan di kali itu hukumnya pamali karena mereka berkeyakinan kan berdampak buruk bagi keselamatan anggota keluarga, selain itu dapat berakibat pada kematian atau malapetaka lainnya. Kami hanya termenung mendengar penjelasan dari bapak tersebut. Bayangkan mereka bertaruh nyawa demi orang yang bahkan mereka tidak kenal dan hanya tau kalau kami ini Pak dan Ibu Guru dari Jawa yang bertugas di Desanya. Sungguh mulai hati orang timor dan kami tidak hentinya mengucapkan terima kasih kepada bapak tersebut. Ketulusan yang sungguh luar biasa yang sudah jarang sekali kami temui di kota-kota besar. Masyarakat timor tidak akan mengeluh ataupun marah bila diminta bantuan, apapun akan mereka bantu dan berikan walaupun mereka sedang susah. Budaya yang dijunjung tinggi ialah memuliakan tamu dengan cara memberikan segala yang ada dengan sebaik mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar