Kita yang hidup
di rumah dan sudah mendapat aliran listrik sejak kecil mesti bersyukur, karena
di sini, semua tempat belum tentu sudah mendapat aliran listrik. Jika PLN mulai
memadamkan listrik bergilir untuk beberapa jam saja, maka itu pasti membuat
kita sebal dan protes. Padahal, di Indonesia, banyak daerah belum mendapat
aliran listrik dan mereka tidak protes.
SM3T penempatan
Pulau Timor, Kabupaten Malaka ini membuat saya belajar bersyukur akan hidup dan
tidak banyak mengeluh. Saat pertama kali melakukan perjalanan menuju tempat
pengabdian, yang saya pikirkan ialah kenapa dari tadi saya melewati hutan
dengan jalan yang aduhai luar biasa. Batu-batu besar banyak yang lepas dan
aspal sepotong – sepotong sudah hancur dibagian kanan-kiri. Lalu, bagaimana
orang bisa hidup di sini? Jika, mereka bisa bertahan hidup dan baik-baik saja,
maka saya juga bisa.
Sampai di
sekolah tempat saya mengabdi, hari sudah petang dan gelap. Dua guru dan
anak-anaknya menanti saya di sana. Saya berpikir tidak ada listrik di sana, tetapi
ya sudah memang konsekuensi di daerah yang 3T ‘terdepan, terluar dan
tertinggal’. Kemudian, saya diantar di sebuah rumah yang berjarak kurang lebih
100 meter dari sekolah. Tiba-tiba, lampu menyala. Ternyata, aliran listrik ada di
tempat saya. Saya cukup bersyukur. Walaupun harus tinggal sendiri di sebuah
rumah sewa, tetapi di sana cukup listrik, air, dan sinyal. Kalau listrik padam,
maka itu berarti siap-siap kehilangan sinyal. Itu tidak masalah, karena masih
ada daerah yang lebih parah daripada daerah saya.
Pada saat saya masuk
sekolah di SMP Katolik Liurai Fatubesi Kaputu, Kecamatan Sasitamean, jadwal
mata pelajaran sudah selesai dibuat sehingga harus diperbaiki ulang lagi dengan
adanya kehadiran saya. Setelah perombakan roster,
mama kepala sekolah bicara kepada saya bahwa saya akan mengajar TIK (Teknologi
Informasi dan Komunikasi) kelas VII, IPS Ekonomi, dan Geografi kelas VIII, dan
keterampilan kelas IX. Kalau ekonomi memang jurusan saya, tetapi kalau yang
lain, saya jujur belum pernah mengajar mata pelajaran selain Ekonomi/Akuntansi.
Pertama, saya kaget juga. Apalagi, kalau mengajar keterampilan, maka saya
berpikir keterampilan apa yang saya kuasai. Jika mengajar TIK, maka saya masih
bisa sanggupi. Saya tidak bisa menolak, karena di sini tugas saya memang
mengabdi dan guru-guru menganggap saya bisa. Untuk itu, saya putuskan untuk menyanggupi
amanah untuk mengampu 4 mata pelajaran tersebut.
Selain mengampu
mata pelajaran TIK, saya juga memberikan ekstrakurikuler TIK pada sore hari. Untuk
anak-anak di kota, barang seperti komputer, laptop dan smartphone adalah hal yang biasa mereka operasikan. Bahkan,
siswa-siswa SMP dan SMA di kota dan khususnya di Pulau Jawa sudah memakai
laptop di sekolah untuk mengerjakan tugas dan presentasi. Untuk siswa-siswi di daerah
3T, barang tersebut masih menjadi barang yang langka. Sekolah saya dekat dengan
pusat kecamatan dan berada di desa yang menurut saya sudah agak maju dalam
kategori 3T, karena sudah ada listrik dan sinyal. Air juga tidak terlalu susah
untuk didapatkan.
Pertama kali
saya masuk untuk mengisi ekstrakurikuler TIK, murid-murid banyak yang antusias,
bahkan sampai sekarangpun mereka selalu antusias jika praktik TIK. Sekolah kami
memiliki 4 laptop. Operator sekolah membawa satu laptop dan satu laptop dibawa
oleh guru TIK. Jadi, 2 laptop tersimpan di sekolah. Saya juga membawa 1 laptop milik
saya untuk praktik pada ekstrakurikuler TIK.
Di sini, pertama
kalinya, saya mendengar kata “tendes”. Hal tersebut berawal ketika saya mengisi
ekstrakurikuler TIK. Pada saat ekstra, saya menyuruh anak-anak untuk mengetik
sebuah kalimat tetapi mereka masih kesulitan untuk mengetik. Tangan mereka kaku
sekali. Untuk menekan satu huruf, mereka membutuhkan waktu yang lama. Selain
itu, mereka menekan tombol di keyboard
dengan keras sekali. Di situ, saya terkadang merasa gregetan akan hal itu. Apa boleh buat, hal ini baru untuk mereka. Jadi,
saya harus sabar. Pada saat mengetik, satu anak salah ketik huruf, lalu saya
bilang “tekan backspace untuk
menghapus huruf,” tetapi dia hanya melihat tombol-tombol pada keyboard dengan bingung. Lalu, saya menunjuk
tombol backspace yang berada dibagian
kanan keyboard. Anak tersebut
mengikuti perintah saya, tetapi beberapa saat kemudian dia salah mengetik huruf
lagi dan kebingungan. Salah satu temannya bilang “tendes itu”, sedang yang lain
bilang “tendes backpase”. Dalam batin saya berkata, “Hah, tendes itu apa? Baru
dengar kata seperti itu.” Saya hanya menyimpan pertanyaan saya dalam hati saja.
Saya duduk di antara ketiga murid saya yang belajar mengetik itu lalu berkata “tekan
backspace, tekan yang itu.” sambil
menunjuk tombol backspace. Lalu, saya
berkata, “bacanya baekspes bukan baekpes”. Murid-murid saya yang
berkerubung dibelakang menirukan ucapan saya “baekspeeees”. Selama saya mengajari ekstrakurikuler TIK, murid-murid
saya mengatakan kata tendes. Saya
berpikir, ternyata, kata tendes berarti tekan. Itu adalah kata pertama yang
saya dengar dan pelajari di sini. Penggunaan bahasa Indonesia di sini memang
baku, tetapi terdapat beberapa kata yang berbeda penggunaanya, dan terkadang
jarang kita gunakan dalam bahasa sehari-hari, sehingga membuat bingung bagi
orang awam yang bukan asli dari NTT.
Pada semester
satu, saya mengajari anak-anak untuk fokus pada mengetik saja terutama pada
kelas VII yang belum mendapat dasar komputer sama sekali dari bangku SD. Semester
satu berlalu begitu cepat, karena suatu hal, saya memutuskan untuk pindah dan tinggal
bersama teman SM3T yang berada di kecamatan sebelah.
Teman saya tinggal
di perpustakaan sekolahnya. Di sana, daerah tempat tema saya tinggal lebih
tertinggal, karena tidak teraliri listrik. Untuk mendapatkan air, kami harus
menimba air dari bak tampung dengan jeriken. Jarak sekolah dengan SD teman
saya, jika ditempuh dengan jalan kaki maka dapat membutuhkan waktu sekitar 1
jam. Akan tetapi, kalau menggunakan kendaraan seperti sepeda motor atau oto[1], maka hanya sekitar 5-10
menit. Dengan kepindahan tersebut, maka saya tidak bisa bolak-balik ke sekolah
dan ke rumah dengan mudah. Ketika saya tinggal di rumah sewa terdahulu, saya
dapat pulang ke rumah setelah pulang sekolah dan kembali ke sekolah lagi
sekitar jam 3 sore untuk memberikan ekstrakurikuler. Saya membutuhkan bantuan
teman saya untuk mengantar jemput saya dengan kendaraan bermotor, karena saya
hanya bisa mengendari sepeda motor matic
sedangkan sepeda motor yang ada adalah motor perseneling. Keadaan tersebut membuat saya tetap tinggal di sekolah
sembari menunggu murid-murid datang untuk ektrakurikuler.
Pada semester
dua, saya masih fokus mengajar materi Microsoft
Word bagi murid kelas VII. Walaupun sesekali, saya juga mengajarkan tentang
Microsoft Excel. Bagi saya, yang
terpenting dalam ekstrakurikuler ini adalah anak-anak menjadi tidak terlalu
kaku dalam mengetik dan familiar
dengan laptop. Pada semester satu, saya sudah mengajarkan anak-anak menyimpan
dokumen melalui menu file. Setelah
liburan semester satu, beberapa murid sudah lupa cara menyimpan file. Bahkan terkadang, mereka tidak
sengaja menge-klik ‘menekan’ di
sembarang menu, menggeser scroll bar,
menge-klik minimize atau restore down
tampilan Microsoft Word ketika
menggerakkan pointer. Jika hal
tersebut terjadi, beberapa anak akan panik dan berkata “Ibu, ibu lihat ini dulu,
tulisan saya hilang.” Lalu saya bertanya “Hah, hilang bagaimana?” ternyata anak
tersebut menggeser scroll bar ke bawah
dan jelas saja tulisannya hilang. Hal tersebut membuat saya tersenyum dan
berkata “Tendes ini” sambil menggeser scroll
bar ke atas. Tiba pada saat menyimpan dokumen, saya berkata “Tendes tahan ctrl lalu tendes huruf S”. Saya berusaha menjelaskan dengan
kata yang biasa digunakan mereka yaitu “tendes” dan “tahan” tetapi tetap saja mereka
menekan ctrl dengan huruf S bersamaan. Lalu saya berkata “Lihat tangan Ibu
dulu, pertama, kamu tendes tahan ctrl lalu tendes huruf S tetapi
jangan lepas ctrl. Jadi tahan ctrl habis itu tendes huruf S.” Saya berusaha
menjelaskan sejelas mungkin kepada murid-murid saya. Rasanya senang sekali, jika
yang saya jelaskan dapat langsung dipahami dan dapat dipraktikkan dengan benar
oleh murid-murid saya.
Saya merasa
senang dapat memberikan pengalaman baru dan saya merasa bangga dapat
menyalurkan ilmu kepada murid-murid saya. Suatu hari, teman guru saya yang
memiliki anak yang duduk di bangku kelas VII bercerita kepada saya dan
guru-guru lain di kantor. Teman guru saya berkata “Kemarin Cha disuruh dia pung[2] tanta[3] untuk belajar membuat
tabel di laptop, tetapi Cha berkata, ‘Ooouh itu kecil, saya sudah belajar di
sekolah, biar saya saja yang bikin untuk tanta,’ ‘Si Tanta lalu bertanya kepada
Cha ‘siapa yang ajar dia’ Chandra menjawab ‘Ibu guru kami di sekolah’.” tutur
teman guru saya sambil tertawa dan melanjutkan cerita. Mendengar cerita dari
teman guru saya tersebut, saya merasa senang dan bangga kepada murid saya, karena
yang saya ajarkan memberikan kesan dan ilmu bagi mereka.
Yang membuat
saya penasaran adalah apakah kata tendes
ada di KBBI? Saya mencoba mencari kata tersebut lewat KBBI di google dan mengetik kata tendes. Ternyata, kata tersebut tidak
ada di KBBI. Bisa jadi, kata itu adalah bahasa daerah yang penggunaannya umum
dan seolah- olah seperti bahasa Indonesia yang baku. Sampai sekarang, setiap
ekstrakuriler maupun praktik TIK, saya akan menggunakan kata “tendes” untuk
menjelaskan tombol yang harus ditekan oleh murid-murid saya.
Kata “tendes”
ini memberikan cerita yang beragam di setiap ekstrakurikuler TIK bersama
murid-murid saya dan bahkan sampai ada yang bercita-cita menjadi guru TIK. Terkadang
saya sedih, jika nanti, saya harus meninggalkan murid-murid saya. Memang ada
guru yang dapat memberikan ekstrakurikuler TIK, namun, intensitas kehadiran
mereka sedikit berbeda. Seperti yang Bill Gates katakana, teknologi hanya
sebuah alat, untuk membuat anak dapat bekerja sama dan memotivasi mereka,
kehadiran guru lah yang paling penting. Semoga suatu saat nanti, pemerataan
pendidikan, pembangunan dan teknologi di Indonesia semakin lebih baik dan maju,
sehingga komputer dan laptop menjadi barang yang tidak asing dalam pendidikan
di Indonesia terutama untuk pendidikan bagi anak-anak di Pulau Timor ini.
Editor : Harnum Kurniawati & Bangkit Bagas Widodo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar