Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

BERAWAL DARI “TENDES”




Kita yang hidup di rumah dan sudah mendapat aliran listrik sejak kecil mesti bersyukur, karena di sini, semua tempat belum tentu sudah mendapat aliran listrik. Jika PLN mulai memadamkan listrik bergilir untuk beberapa jam saja, maka itu pasti membuat kita sebal dan protes. Padahal, di Indonesia, banyak daerah belum mendapat aliran listrik dan mereka tidak protes.
SM3T penempatan Pulau Timor, Kabupaten Malaka ini membuat saya belajar bersyukur akan hidup dan tidak banyak mengeluh. Saat pertama kali melakukan perjalanan menuju tempat pengabdian, yang saya pikirkan ialah kenapa dari tadi saya melewati hutan dengan jalan yang aduhai luar biasa. Batu-batu besar banyak yang lepas dan aspal sepotong – sepotong sudah hancur dibagian kanan-kiri. Lalu, bagaimana orang bisa hidup di sini? Jika, mereka bisa bertahan hidup dan baik-baik saja, maka saya juga bisa.
Sampai di sekolah tempat saya mengabdi, hari sudah petang dan gelap. Dua guru dan anak-anaknya menanti saya di sana. Saya berpikir tidak ada listrik di sana, tetapi ya sudah memang konsekuensi di daerah yang 3T ‘terdepan, terluar dan tertinggal’. Kemudian, saya diantar di sebuah rumah yang berjarak kurang lebih 100 meter dari sekolah. Tiba-tiba, lampu menyala. Ternyata, aliran listrik ada di tempat saya. Saya cukup bersyukur. Walaupun harus tinggal sendiri di sebuah rumah sewa, tetapi di sana cukup listrik, air, dan sinyal. Kalau listrik padam, maka itu berarti siap-siap kehilangan sinyal. Itu tidak masalah, karena masih ada daerah yang lebih parah daripada daerah saya.
Pada saat saya masuk sekolah di SMP Katolik Liurai Fatubesi Kaputu, Kecamatan Sasitamean, jadwal mata pelajaran sudah selesai dibuat sehingga harus diperbaiki ulang lagi dengan adanya kehadiran saya. Setelah perombakan roster, mama kepala sekolah bicara kepada saya bahwa saya akan mengajar TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) kelas VII, IPS Ekonomi, dan Geografi kelas VIII, dan keterampilan kelas IX. Kalau ekonomi memang jurusan saya, tetapi kalau yang lain, saya jujur belum pernah mengajar mata pelajaran selain Ekonomi/Akuntansi. Pertama, saya kaget juga. Apalagi, kalau mengajar keterampilan, maka saya berpikir keterampilan apa yang saya kuasai. Jika mengajar TIK, maka saya masih bisa sanggupi. Saya tidak bisa menolak, karena di sini tugas saya memang mengabdi dan guru-guru menganggap saya bisa. Untuk itu, saya putuskan untuk menyanggupi amanah untuk mengampu 4 mata pelajaran tersebut.


Selain mengampu mata pelajaran TIK, saya juga memberikan ekstrakurikuler TIK pada sore hari. Untuk anak-anak di kota, barang seperti komputer, laptop dan smartphone adalah hal yang biasa mereka operasikan. Bahkan, siswa-siswa SMP dan SMA di kota dan khususnya di Pulau Jawa sudah memakai laptop di sekolah untuk mengerjakan tugas dan presentasi. Untuk siswa-siswi di daerah 3T, barang tersebut masih menjadi barang yang langka. Sekolah saya dekat dengan pusat kecamatan dan berada di desa yang menurut saya sudah agak maju dalam kategori 3T, karena sudah ada listrik dan sinyal. Air juga tidak terlalu susah untuk didapatkan.
Pertama kali saya masuk untuk mengisi ekstrakurikuler TIK, murid-murid banyak yang antusias, bahkan sampai sekarangpun mereka selalu antusias jika praktik TIK. Sekolah kami memiliki 4 laptop. Operator sekolah membawa satu laptop dan satu laptop dibawa oleh guru TIK. Jadi, 2 laptop tersimpan di sekolah. Saya juga membawa 1 laptop milik saya untuk praktik pada ekstrakurikuler TIK.

Di sini, pertama kalinya, saya mendengar kata “tendes”. Hal tersebut berawal ketika saya mengisi ekstrakurikuler TIK. Pada saat ekstra, saya menyuruh anak-anak untuk mengetik sebuah kalimat tetapi mereka masih kesulitan untuk mengetik. Tangan mereka kaku sekali. Untuk menekan satu huruf, mereka membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, mereka menekan tombol di keyboard dengan keras sekali. Di situ, saya terkadang merasa gregetan akan hal itu. Apa boleh buat, hal ini baru untuk mereka. Jadi, saya harus sabar. Pada saat mengetik, satu anak salah ketik huruf, lalu saya bilang “tekan backspace untuk menghapus huruf,” tetapi dia hanya melihat tombol-tombol pada keyboard dengan bingung. Lalu, saya menunjuk tombol backspace yang berada dibagian kanan keyboard. Anak tersebut mengikuti perintah saya, tetapi beberapa saat kemudian dia salah mengetik huruf lagi dan kebingungan. Salah satu temannya bilang “tendes itu”, sedang yang lain bilang “tendes backpase”. Dalam batin saya berkata, “Hah, tendes itu apa? Baru dengar kata seperti itu.” Saya hanya menyimpan pertanyaan saya dalam hati saja. Saya duduk di antara ketiga murid saya yang belajar mengetik itu lalu berkata “tekan backspace, tekan yang itu.” sambil menunjuk tombol backspace. Lalu, saya berkata, “bacanya baekspes bukan baekpes”. Murid-murid saya yang berkerubung dibelakang menirukan ucapan saya “baekspeeees”. Selama saya mengajari ekstrakurikuler TIK, murid-murid saya mengatakan kata tendes. Saya berpikir, ternyata, kata tendes berarti tekan. Itu adalah kata pertama yang saya dengar dan pelajari di sini. Penggunaan bahasa Indonesia di sini memang baku, tetapi terdapat beberapa kata yang berbeda penggunaanya, dan terkadang jarang kita gunakan dalam bahasa sehari-hari, sehingga membuat bingung bagi orang awam yang bukan asli dari NTT. 

Pada semester satu, saya mengajari anak-anak untuk fokus pada mengetik saja terutama pada kelas VII yang belum mendapat dasar komputer sama sekali dari bangku SD. Semester satu berlalu begitu cepat, karena suatu hal, saya memutuskan untuk pindah dan tinggal bersama teman SM3T yang berada di kecamatan sebelah.
Teman saya tinggal di perpustakaan sekolahnya. Di sana, daerah tempat tema saya tinggal lebih tertinggal, karena tidak teraliri listrik. Untuk mendapatkan air, kami harus menimba air dari bak tampung dengan jeriken. Jarak sekolah dengan SD teman saya, jika ditempuh dengan jalan kaki maka dapat membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Akan tetapi, kalau menggunakan kendaraan seperti sepeda motor atau oto[1], maka hanya sekitar 5-10 menit. Dengan kepindahan tersebut, maka saya tidak bisa bolak-balik ke sekolah dan ke rumah dengan mudah. Ketika saya tinggal di rumah sewa terdahulu, saya dapat pulang ke rumah setelah pulang sekolah dan kembali ke sekolah lagi sekitar jam 3 sore untuk memberikan ekstrakurikuler. Saya membutuhkan bantuan teman saya untuk mengantar jemput saya dengan kendaraan bermotor, karena saya hanya bisa mengendari sepeda motor matic sedangkan sepeda motor yang ada adalah motor perseneling. Keadaan tersebut membuat saya tetap tinggal di sekolah sembari menunggu murid-murid datang untuk ektrakurikuler.
Pada semester dua, saya masih fokus mengajar materi Microsoft Word bagi murid kelas VII. Walaupun sesekali, saya juga mengajarkan tentang Microsoft Excel. Bagi saya, yang terpenting dalam ekstrakurikuler ini adalah anak-anak menjadi tidak terlalu kaku dalam mengetik dan familiar dengan laptop. Pada semester satu, saya sudah mengajarkan anak-anak menyimpan dokumen melalui menu file. Setelah liburan semester satu, beberapa murid sudah lupa cara menyimpan file. Bahkan terkadang, mereka tidak sengaja menge-klik ‘menekan’ di sembarang menu, menggeser scroll bar, menge-klik minimize atau restore down tampilan Microsoft Word ketika menggerakkan pointer. Jika hal tersebut terjadi, beberapa anak akan panik dan berkata “Ibu, ibu lihat ini dulu, tulisan saya hilang.” Lalu saya bertanya “Hah, hilang bagaimana?” ternyata anak tersebut menggeser scroll bar ke bawah dan jelas saja tulisannya hilang. Hal tersebut membuat saya tersenyum dan berkata “Tendes ini” sambil menggeser scroll bar ke atas. Tiba pada saat menyimpan dokumen, saya berkata “Tendes tahan ctrl lalu tendes huruf S”. Saya berusaha menjelaskan dengan kata yang biasa digunakan mereka yaitu “tendes” dan “tahan” tetapi tetap saja mereka menekan ctrl dengan huruf S bersamaan. Lalu saya berkata “Lihat tangan Ibu dulu, pertama, kamu tendes tahan ctrl lalu tendes huruf S tetapi jangan lepas ctrl. Jadi tahan ctrl habis itu tendes huruf S.” Saya berusaha menjelaskan sejelas mungkin kepada murid-murid saya. Rasanya senang sekali, jika yang saya jelaskan dapat langsung dipahami dan dapat dipraktikkan dengan benar oleh murid-murid saya.

Saya merasa senang dapat memberikan pengalaman baru dan saya merasa bangga dapat menyalurkan ilmu kepada murid-murid saya. Suatu hari, teman guru saya yang memiliki anak yang duduk di bangku kelas VII bercerita kepada saya dan guru-guru lain di kantor. Teman guru saya berkata “Kemarin Cha disuruh dia pung[2] tanta[3] untuk belajar membuat tabel di laptop, tetapi Cha berkata, ‘Ooouh itu kecil, saya sudah belajar di sekolah, biar saya saja yang bikin untuk tanta,’ ‘Si Tanta lalu bertanya kepada Cha ‘siapa yang ajar dia’ Chandra menjawab ‘Ibu guru kami di sekolah’.” tutur teman guru saya sambil tertawa dan melanjutkan cerita. Mendengar cerita dari teman guru saya tersebut, saya merasa senang dan bangga kepada murid saya, karena yang saya ajarkan memberikan kesan dan ilmu bagi mereka.
Yang membuat saya penasaran adalah apakah kata tendes ada di KBBI? Saya mencoba mencari kata tersebut lewat KBBI di google dan mengetik kata tendes. Ternyata, kata tersebut tidak ada di KBBI. Bisa jadi, kata itu adalah bahasa daerah yang penggunaannya umum dan seolah- olah seperti bahasa Indonesia yang baku. Sampai sekarang, setiap ekstrakuriler maupun praktik TIK, saya akan menggunakan kata “tendes” untuk menjelaskan tombol yang harus ditekan oleh murid-murid saya.
Kata “tendes” ini memberikan cerita yang beragam di setiap ekstrakurikuler TIK bersama murid-murid saya dan bahkan sampai ada yang bercita-cita menjadi guru TIK. Terkadang saya sedih, jika nanti, saya harus meninggalkan murid-murid saya. Memang ada guru yang dapat memberikan ekstrakurikuler TIK, namun, intensitas kehadiran mereka sedikit berbeda. Seperti yang Bill Gates katakana, teknologi hanya sebuah alat, untuk membuat anak dapat bekerja sama dan memotivasi mereka, kehadiran guru lah yang paling penting. Semoga suatu saat nanti, pemerataan pendidikan, pembangunan dan teknologi di Indonesia semakin lebih baik dan maju, sehingga komputer dan laptop menjadi barang yang tidak asing dalam pendidikan di Indonesia terutama untuk pendidikan bagi anak-anak di Pulau Timor ini. 



Editor : Harnum Kurniawati & Bangkit Bagas Widodo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar