“Kak
Al!”
Panggilan
itu kini mulai terbiasa terdengar di telinga ketika mama memanggilku. Namaku
Alfianantasari Woro Junanida, namun orang rumah sering memanggilku kak Al. Aku
seorang peserta SM3T yang kini tinggal dengan keluarga dengan marga Bria.
Keluarga initerdiri
dari enam orang. Kepala keluarga yang juga sebagai Kepala Sekolah di mana
tempatku mengajar bernama “Blasius Bria”. Mama Timor yang bermuka Jawa
“Senawati Bria” memang keturunan Jawa asli, namun belum pernah pergikePulau Jawa. Jasver Bria, anak sulung
baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Totti Bria, anak kedua sekarang
duduk di kelas dua SMP dan naik kelas tiga. Rinam Bria, gadis kecil manja yang
senang sekali teriak ‘Kak Al! Oi!
Kak Al!’
kalau aku baru pulang dari mengajar. Yang terakhir yaitu Magdalena Maria Foug.
Dia teman sekamar dan adikku yang paling rajin. Dia keponakan Bapak yang
tinggal di rumah dengan keluarga Bria sejak masih kecil. Dia selalu jadi teman ber-curhat
ataupun becanda kalau sedang bosan.
“Kak
Al! Sebentar makan ambil di meja sa, Mama dong sama Bapa mau pi gereja”.
Itulah
pesan mama sebelum beribadah ke Gereja setiap hari Minggu pagi. Aku seorang
muslim yang tinggal di tengah-tengah lingkungan mayoritas Katolik, namun semua
itu tidak menjadi sebuah masalah, karena keluarga dan lingkunganku sangat
menghargaiku sebagai seorang pendatang dan beragama muslim.
“Iya
Ma.” Jawabku. “Mama dong sebentar pulang jam berapa?”
“Jam
12 eh.” Jawab mama dengan nada khas orang Timur.
Yup!Sekarang, aku sedang mengabdi di Nusa
Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Malaka, Kecamatan Botin Leobele. Tempatinimemang jauh dari
rumahku yang berada di Pulau Jawa, namun inilah yang dinamakan pengabdian.
Pengabdian bukan hanya suatu kegiatan yang dilakukan dengan tenaga, namun
pengabdian adalah suatu usaha dalam menyejahterakan masyarakat dengan tanggung
jawab dan ikhlas.
Detik
berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti bulan. Sudah mulai terbiasa dengan cara
hidup orang timur. Sebagai seorang pendatang, ini bukanlah suatu yang mudah
untuk menjalani kebiasaan di tanah orang. Banyak hal perlu dilakukan agar mudah
beradaptasi dengan lingkungan, dari cara bersikap, berbicara, bertindak, bahkan
beribadah.
Pernah
suatu waktu,
mama memarahi anak bungsunya karena duduk menungguku salat Zuhur. Rinam, nama anak bungsu mamaku
yang berumur 6 tahun dan duduk di kelas I SD.
“Inam,
dong jangan ganggu Kak Al doa eh”.
“Saya
sonde ganggu Mama, saya dong temani Kak Al sa”. Jawaban polos Rinam ketika kami
keluar kamar bersama.
Aku
hanya tersenyum kecil. “Sonde ganggu Mama, inam dong hanya duduk di kasur sa.”
“Tidak
apakah Kak Al?” Tanya mama memastikan.
“Tidak
apa eh mama”. Jawabku meyakinkan.
Semenjak
itu,
keluarga ini jadi lebih memperhatikan ketika aku sedang melaksanakan ibadah.
Terkadang, ketika ada obrolan dan aku akan melaksanakan salat, bapak selalu
mengingatkan yang lain untuk mengecilkan suara ataukadang kala, ketika Toti dan Rinam bermain di
dalam rumah dan aku sudah memasuki kamar untuk salat, Toti langsung menegur
Rinam untuk berhenti sejenak. Begitulah,
mereka
menghargaiku beribadahAkusenang
mendapat keluarga yang ramah seperti mereka.
“Selamat
pagi!
“Pagi!”
“Selamat!”
“Ibu
Guru, jalan sa?”
Begitulah,sapaan masyarakat yang terdengar
setiap pagi ketika aku jalan ke sekolah. Perjalanan yang ditempuh 30-45 menit
dengan jalan kaki versiku ini membuat masyarakat selalu menyapaku dengan senyum
mereka.
“Selamat
pagi! Hau Liun (Saya terus ‘dimaksudkan ketika aku jalan terus dan tidak
berhenti mampir).” Begitulah,
aku menyapa merekakembali
dan tidak hanya satu atau dua orang saja yang menyapa. Kebiasaan masyarakat di
sini, ketika ada orang berjalan,merekapastiakan menyapa dan itulah yangmembuat orang merasa
dihargai.
Menariknya,
bukan hanya manusia yang aku jumpai ketika jalan kaki, tetapisapi, kambing, babi, dan anjingpun
selaluku jumpai. Memang,
di sini,
hewan-hewan itu dilepaskan begitu saja di jalan. Awalnya,akuagak risi dengan keadaan itu.
Kotoran-kotoran di jalan. Babi-babi berkeliaran bahkan lari menyebrang jalan.
Di Jawa, sapi terkadangadadikandang,
namun di sini, sapi dilepas begitu saja. Anjing menggonggong ketika aku lewat
depan rumah salah seorang warga membuat senam jantung. Apalagi, jika anjing itu
tidak terbiasa dengan wajah kita pastikita sudah dikejar, tetapi semua itu menjadi biasa
ketika aku sudah lama dan mulai berbaur dengan masyarakat di sini.
“Ibu!
Sonde pakai selendang kah?” Teriak seorang warga dari depan rumah. Melihatku
tidak memakai selendang di leher.
“Lale!
(Tidak!) dong ditaruh di dalam tas Om”. Teriakku, sembarikembalimengingat selendang
yang ku bawa dan ku taruh di dalam tas, takut lupa kalau ditaruh di rumah
begitu saja.
Selendang
merupakan salah satu pakaian adat dari tenun yang harus dipakai setiap hari
Rabu dan Kamis (peraturan sekolah-sekolah). Selain selendang, pakaianadat yang lain yaitukain
tais. Iaberbentuk
seperti sarung.Bedanya sarung terbuat dari serat kain asli, sedangkan kain tais
dibuat dengan cara tenun. Masyarakat di sini memang dikenal dengan ahli tenun.
Tidak hanya selendang dan kain tais, namun itubisa berbentuk tas. Itulah salah satu
nilai lebih masyarakat Timur.
“Siap
beri salam!” Pimpin salah seorang siswa.
“Selamat
Pagi Ibu Guru!” Sapa seluruh siswa kelas 5.
Begitulah,kebiasaan siswa-siswi SD Inpres
Manubonu ketika seorang guru masuk kelas untuk pelajaran.SD Inpres Manubonu
terletak di pusat kecamatan, namun susah untuk dijangkau karena menyebrang kali
untuk jalan yang paling dekat apalagi jika musim hujan dan kali banjir. Kendaraan
bermotorpun
tidak bisa melewati kali dan harus memutar jalan dengan jarak 1,5 – 2 jam
perjalanan.
Seluruh
siswa SD Inpres Manubonu mayoritas beragama Katholik. Walaupun saya pribadi
beragama muslim, tetapianak-anak
selalu menghargai saya begitujugadengan
guru-guru yang mengajar. Tidak ada kata ‘kamu jalan sendiri’ yang ada ‘Mari
jalan bersama’. Itu membuat satu sama lain selalu bekerja sama dalam berbagai
halbahkanketika
di sekolah ada kegiatan memasak ayam, saya yang menyembelih karena harus
dibacakan doa ketika ayam digoroh.
Bagaimanapun
jalannya,
tidak peduli jalan lurus atau berkelok, sedari awal berkewajiban mengabdi maka
jalani. Jangan hanya menunggu hal baik datang, berupaya dan berdoalah agar hal
baik itu datang. (Alfiananta)
Editor : Harnum Kurniawati &Bangkit Bagas Widodo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar