Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

“TIMOR MENYAPA”





“Kak Al!”
Panggilan itu kini mulai terbiasa terdengar di telinga ketika mama memanggilku. Namaku Alfianantasari Woro Junanida, namun orang rumah sering memanggilku kak Al. Aku seorang peserta SM3T yang kini tinggal dengan keluarga dengan marga Bria. Keluarga initerdiri dari enam orang. Kepala keluarga yang juga sebagai Kepala Sekolah di mana tempatku mengajar bernama “Blasius Bria”. Mama Timor yang bermuka Jawa “Senawati Bria” memang keturunan Jawa asli, namun belum pernah pergikePulau Jawa. Jasver Bria, anak sulung baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Totti Bria, anak kedua sekarang duduk di kelas dua SMP dan naik kelas tiga. Rinam Bria, gadis kecil manja yang senang sekali teriak ‘Kak Al! Oi! Kak Al! kalau aku baru pulang dari mengajar. Yang terakhir yaitu Magdalena Maria Foug. Dia teman sekamar dan adikku yang paling rajin. Dia keponakan Bapak yang tinggal di rumah dengan keluarga Bria sejak masih kecil. Dia selalu jadi teman ber-curhat ataupun becanda kalau sedang bosan.
 
“Kak Al! Sebentar makan ambil di meja sa, Mama dong sama Bapa mau pi gereja”.
Itulah pesan mama sebelum beribadah ke Gereja setiap hari Minggu pagi. Aku seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah lingkungan mayoritas Katolik, namun semua itu tidak menjadi sebuah masalah, karena keluarga dan lingkunganku sangat menghargaiku sebagai seorang pendatang dan beragama muslim.
“Iya Ma.” Jawabku. “Mama dong sebentar pulang jam berapa?”
“Jam 12 eh.” Jawab mama dengan nada khas orang Timur.

Yup!Sekarang, aku sedang mengabdi di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Malaka, Kecamatan Botin Leobele. Tempatinimemang jauh dari rumahku yang berada di Pulau Jawa, namun inilah yang dinamakan pengabdian. Pengabdian bukan hanya suatu kegiatan yang dilakukan dengan tenaga, namun pengabdian adalah suatu usaha dalam menyejahterakan masyarakat dengan tanggung jawab dan ikhlas.
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti bulan. Sudah mulai terbiasa dengan cara hidup orang timur. Sebagai seorang pendatang, ini bukanlah suatu yang mudah untuk menjalani kebiasaan di tanah orang. Banyak hal perlu dilakukan agar mudah beradaptasi dengan lingkungan, dari cara bersikap, berbicara, bertindak, bahkan beribadah.
Pernah suatu waktu, mama memarahi anak bungsunya karena duduk menungguku salat Zuhur. Rinam, nama anak bungsu mamaku yang berumur 6 tahun dan duduk di kelas I SD.
“Inam, dong jangan ganggu Kak Al doa eh”.
“Saya sonde ganggu Mama, saya dong temani Kak Al sa”. Jawaban polos Rinam ketika kami keluar kamar bersama.
Aku hanya tersenyum kecil. “Sonde ganggu Mama, inam dong hanya duduk di kasur sa.”
“Tidak apakah Kak Al?” Tanya mama memastikan.
“Tidak apa eh mama”. Jawabku meyakinkan.
Semenjak itu, keluarga ini jadi lebih memperhatikan ketika aku sedang melaksanakan ibadah. Terkadang, ketika ada obrolan dan aku akan melaksanakan salat, bapak selalu mengingatkan yang lain untuk mengecilkan suara ataukadang kala, ketika Toti dan Rinam bermain di dalam rumah dan aku sudah memasuki kamar untuk salat, Toti langsung menegur Rinam untuk berhenti sejenak. Begitulah, mereka menghargaiku beribadahAkusenang mendapat keluarga yang ramah seperti mereka.
“Selamat pagi!
“Pagi!”
“Selamat!”
“Ibu Guru, jalan sa?”
Begitulah,sapaan masyarakat yang terdengar setiap pagi ketika aku jalan ke sekolah. Perjalanan yang ditempuh 30-45 menit dengan jalan kaki versiku ini membuat masyarakat selalu menyapaku dengan senyum mereka.
“Selamat pagi! Hau Liun (Saya terus ‘dimaksudkan ketika aku jalan terus dan tidak berhenti mampir).” Begitulah, aku menyapa merekakembali dan tidak hanya satu atau dua orang saja yang menyapa. Kebiasaan masyarakat di sini, ketika ada orang berjalan,merekapastiakan menyapa dan itulah yangmembuat orang merasa dihargai.
Menariknya, bukan hanya manusia yang aku jumpai ketika jalan kaki, tetapisapi, kambing, babi, dan anjingpun selaluku jumpai. Memang, di sini, hewan-hewan itu dilepaskan begitu saja di jalan. Awalnya,akuagak risi dengan keadaan itu. Kotoran-kotoran di jalan. Babi-babi berkeliaran bahkan lari menyebrang jalan. Di Jawa, sapi terkadangadadikandang, namun di sini, sapi dilepas begitu saja. Anjing menggonggong ketika aku lewat depan rumah salah seorang warga membuat senam jantung. Apalagi, jika anjing itu tidak terbiasa dengan wajah kita pastikita sudah dikejar, tetapi semua itu menjadi biasa ketika aku sudah lama dan mulai berbaur dengan masyarakat di sini.
“Ibu! Sonde pakai selendang kah?” Teriak seorang warga dari depan rumah. Melihatku tidak memakai selendang di leher.
“Lale! (Tidak!) dong ditaruh di dalam tas Om”. Teriakku, sembarikembalimengingat selendang yang ku bawa dan ku taruh di dalam tas, takut lupa kalau ditaruh di rumah begitu saja.
Selendang merupakan salah satu pakaian adat dari tenun yang harus dipakai setiap hari Rabu dan Kamis (peraturan sekolah-sekolah). Selain selendang, pakaianadat yang lain yaitukain tais. Iaberbentuk seperti sarung.Bedanya sarung terbuat dari serat kain asli, sedangkan kain tais dibuat dengan cara tenun. Masyarakat di sini memang dikenal dengan ahli tenun. Tidak hanya selendang dan kain tais, namun itubisa berbentuk tas. Itulah salah satu nilai lebih masyarakat Timur.
“Siap beri salam!” Pimpin salah seorang siswa.
“Selamat Pagi Ibu Guru!” Sapa seluruh siswa kelas 5.
Begitulah,kebiasaan siswa-siswi SD Inpres Manubonu ketika seorang guru masuk kelas untuk pelajaran.SD Inpres Manubonu terletak di pusat kecamatan, namun susah untuk dijangkau karena menyebrang kali untuk jalan yang paling dekat apalagi jika musim hujan dan kali banjir. Kendaraan bermotorpun tidak bisa melewati kali dan harus memutar jalan dengan jarak 1,5 – 2 jam perjalanan.
Seluruh siswa SD Inpres Manubonu mayoritas beragama Katholik. Walaupun saya pribadi beragama muslim, tetapianak-anak selalu menghargai saya begitujugadengan guru-guru yang mengajar. Tidak ada kata ‘kamu jalan sendiri’ yang ada ‘Mari jalan bersama’. Itu membuat satu sama lain selalu bekerja sama dalam berbagai halbahkanketika di sekolah ada kegiatan memasak ayam, saya yang menyembelih karena harus dibacakan doa ketika ayam digoroh.

Bagaimanapun jalannya, tidak peduli jalan lurus atau berkelok, sedari awal berkewajiban mengabdi maka jalani. Jangan hanya menunggu hal baik datang, berupaya dan berdoalah agar hal baik itu datang. (Alfiananta)

 Editor : Harnum Kurniawati &Bangkit Bagas Widodo









Tidak ada komentar:

Posting Komentar