Setiap
manusia pada dasarnya memiliki sebuah pilihan. Bahkan ketika manusia tidak
memilih sebenarnya dia telah memilih sebuah keputusan yaitu tidak memilih.
Sebagai manusia pada umumnya saya memilih pilihan yang sulit dimengerti oleh
beberapa orang terutama orangtua dan keluarga. Berbekal sebuah kata ajaib yang membuat pilihan itu sampai
sekarang menjadi jalan hidup, takdir, atau garis Tuhan. “Kepercayaan” adalah
kata mujarab bagi saya. Berkat kepercayaan orang tua
dan keluarga, saya bisa mendapatkan sebuah pengalaman yang tidak akan
didapatkan darimanapun.
Sarjana
Mengajar di Daerah 3T (Terluar, terdepan, dan tertinggal) atau masyarakat
menyebutnya SM-3T adalah sebuah program yang dibuat oleh pemerintah untuk
tujuan proses pemerataan pendidikan di Indonesia khususnya daerah 3T tadi.
Masyarakat tahu kalau Indonesia
adalah negara dengan taraf pendidikan yang masih jauh dari kata maju. Banyak
putra-putri bangsa yang masih belum bisa mendapatkan pendidikan secara layak
baik ditingkat sekolah dasar maupun mengenah. Karena hal itulah SM-3T itu diadakan.
Mendapatkan
kesempatan untuk merantau adalah tantangan bagi saya. Merantau pertama kalinya
di umur 23 tahun. Apalagi garis Tuhan ternyata menempatkan saya di daerah timur
Indonesia tepatnya di SMA Negeri Alkani Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka,
Nusa Tenggara Timur. Hal yang saya pikirkan pertama kali “Apakah itu masih
menjadi bagian dari Indonesia dan planet bumi?”.
Tiba
di Bandara El Tari Kupang, atmosfer berbeda mulai terasa. Atmosfer rasa Jawa di
Kupang tampaknya sudah jauh untuk saya jangkau lagi. Begitu menginjakkan kaki
di Pulau Timor ini, mobil langsung membawa kami ke daerah yang berbeda lagi
yaitu Kabupaten Malaka. Jarak Kupang-Malaka bisa dijangkau dengan jalur darat
selama 6 jam perjalanan dengan mobil. Infrastuktur yang belum baik seperti
jalan aspal, lampu penerangan jalan, jembatan, dan traffic light adalah hal yang sulit ditemui sepanjang perjalanan
Kupang-Malaka.
Tiba
dengan sambutan pemerintah Dinas PKPO Kabupaten Malaka, kami semua menari Tebe.
Tarian khas masyarakat Belu selatan. Sedikit cerita Kabupaten Malaka merupakan
pemekaran wilayah dari Kabupaten Belu dan berdiri pada tahun 2013. Kabupaten
Malaka terletak di sebelah ujung timur dari Pulau Timor atau berbatasan
langsung dengan Republic Demokratic Timor Leste (RDTL), negara yang awalnya
menjadi wilayah kita Indonesia.
Tari
Tebe sendiri dilakukan oleh banyak orang dengan formasi melingkar dengan
bergandengan tangan kemudian kaki saling bergerak secara bersamaan. Ketika
menari akan ada musik Tebe yang mengiringi, tarian yang menurut saya tarian
yang ceria karena gerakan dan iringan musik yang cepat. Tarian ini sangat
digemari oleh masyarakat di Kabupaten Malaka. Setiap ada acara seperti pernikahan,
acara kelulusan, bahkan kematian pun akan ada Tebe bersama di sana.
Tebe
bersama kami di Dinas PKPO menjadi awal kami di daerah penempatan SM-3T. Hari
kedua saya di Kabupaten Malaka adalah SMA Negeri Alkani. Menempuh jalan kaki
selama 15 menit menjadi hal baru bagi saya terlebih SMA Negeri Alkani merupakan
salah satu sekolah siang. SMA Alkani terletak di Hanemasin kecamatan Wewiku.
Hanemasin merupakan daerah pesisir pantai, dengan waktu 10 menit menggunakan
motor maka kita dapat melihat birunya pantai. Sehingga wajar jika Hanemasin
memiliki suhu udara yang lebih panas dari
pada
daerah lainnya. Cerita konyol yang pernah saya alami karena panasnya daerah Hanemasin
adalah mencuci pakaian. Pakaian basah yang saya cuci pada pukul 07.00 pagi bisa
benar-benar kering sebelum tengah siang tepatnya pukul 11.00. Bagaimana dengan
manusia yang berjemur selama 1 jam saja ditengah teriknya matahari Hanemasin.
SMA
Negeri Alkani dimulai pukul 12.20 hingga 17.20 WITA. Karena masalah sekolah
yang belum memiliki gedung sendiri membuat SMA Negeri Alkani masih menumpang di
gedung SD Katolik Hanemasin. Adapun proses pembangunan masih berjalan hingga
sekarang dengan swadaya dari pihak sekolah maupun orang tua untuk memperjuangkan sekolah
pagi. Dari ini saya belajar bahwa betapa
berharganya sekolah pagi, mentari pagi menyambut siswa yang berangkat ke
sekolah. Suasana sejuk memberi semangat setiap siswa untuk belajar hingga terik
matahari siang menyambut mereka untuk pulang ke rumah. Berbeda dengan siswa SMA
Negeri Alkani, mereka ke sekolah disambut
teriknya matahari. Semangat belajar mereka diiringi dengan keringat dan
panasnya matahari siang, kemudian pulang sekolah terkadang kami disambut bulan
yang mulai bersinar. Menandakan waktu malam dimana manusia untuk beristirahat.
Dengan
basic sosiologi, saya mengajar sosiologi dengan
suasana serta struktur masyarakat yang berbeda pula. Masyarakat Malaka
tergolong dalam masyarakat yang masih kesukuan dimana adat dan budaya masih
mereka junjung tinggi. Contoh kecil yang saya temui disini adalah orang sakit
seperti jatuh, patah tulang, atau terkena penyakit mereka akan bawa ke rumah
adat dimana pihak rumah adat akan bertindak sebagai dokter yang memberikan obat
untuk mereka yang mengeluh sakit. Orang Malaka sering menyebutnya dengan istilah
“obat kampung”. Cerita lain lagi adalah sopi,
minuman beralkohol yang disuling
dari pohon nira. Masyarakat Malaka menjadi sopie sebagai air kata-kata.
Sehingga duduk adat, denda adat, ataupun segala macam acara di masyarakat pasti
ada sopie. Saya sebagai guru yang mengajar sosiologi mendapatkan tantangan
tersendiri untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut.
Dua
bulan di penempatan saya mulai belajar berbagai budaya di sini, adat istiadat,
kebiasaan, bahkan rasa makanan yang terkadang “shocking moment”. Cerita ini dimulai saat saya sedang makan malam
bersama dengan bapak dan mama di sini. Saat itu di meja tersedia nasi, daun
ubi, dan bubur kacang hijau. Saya berpikir “Bagaimana jika nasi ini saya campur
dengan kacang hijau, mungkin rasanya seperti permen nanonano”. Begitu saya
mengambil lauk tiba-tiba bapak mengatakan “ambil sudah, disana jarang ada sup
kacang hijau to”, kemudian saya jawab
“ya? Ini dicampur dengan nasi bapak? Dalam hati saya mengatakan bagaiamana rasa
nasi dicampur bubur kacang hijau yang manis” kemudian bapak menyahut kembali
“iya to, makan su (makan!)”. Saya mengambil nasi dengan menyertakan bubur
kacang hijau di piring. Ketika saya makan, saya bertanya-tanya “bagaimana bisa
bubur kacang hijau dimakan dengan nasi dan memiliki rasa asin”. Setelah itu mereka menceritakan bahwa disini kacang hijau digunakan untuk
berbagai macam campuran sup. Seperti sup ayam dengan campuran kacang hijau,
kacang hijau direbus dengan bumbu bawang merah bawang putih, bahkan sup kacang
hijau dengan campuran daun ubi. Cerita makanan yang membuat shocking moment
adalah pisang. Pisang ambon disini dikenal dengan sebutan pisang luan dimana
pisang ambon yang masih mentah direbus kemudian makan dengan sambal. Pertama
kalinya saya ragu-ragu untuk memakannya namun setelah 10 bulan di penempatan
hal itu telah menjadi makanan sehari-hari kami terlebih sebagai hidangan
camilan masyarakat di sini.
Dua
bulan di Kabupaten Malaka saya merasakan apa yang disebut menjadi masyarakat
minor di tanah mayoritas. Ada sebuah kutipan kalimat yang mengatakan bahwa
“sekali dalam seumur hidup jadilah kaum minor di daerah orang”. Apa yang ada
dalam kalimat itu sedang saya lakukan di daerah penempatan. Mayoritas penduduk
masyarakat di Pulau Timor beragama Kriten dan Katholik. Sedangkan Kabupaten Malaka
sendiri mayoritas beragama Katholik.
Kabupeten ini memiliki setidaknya 2 masjid di kota kabupaten. Sedangkan di
kecamatan tidak ada masjid. Saya sendiri tinggal di Kecamatan Wewiku dimana
harus menempuh sekitar 45 menit menggunakan motor untuk sampai ke kota
kabupaten. Ya, tampaknya ini kali pertama saya harus perlu berjuang ketika
manusia sedang merindukan Tuhannya
dalam sebuah rumah ibadah. Sejatinya manusia memang membutuhkan Tuhan dalam setiap langkah hidupnya
dan akan datang saat dimana kita sedang jauh dengan Sang Pencipta. Maka Sang
Pencipta akan menguji manusia apakah engkau akan berusaha mendekatkan diri
kepada-Nya atau sebaliknya diri kita semakin jauh. Kenyataannya di lapangan,
sebanyak 53 guru SM-3T ditempatkan pada 53 sekolah di Kabupten Malaka. Sehingga
dalam 1 sekolah terdapat 1 guru SM-3T saja. Hidup dalam keminoran di penempatan
menjadi ajang bagi saya dan teman-teman untuk saling menghormati dan toleransi
satu sama lain. Seperti acara Natal
tahun lalu, saya dan guru-guru SMA Negeri Alkani kerja bakti membersihakan
gereja. Mendampingi murid-murid dalam rangka perarakan Patung Maria. Terlebih lagi Bulan Ramadhan,
dimana umat muslim sedang menjalankan
ibadah puasa. Ketika di sekolah ada sebuah jamuan makan, teman-teman guru selalu
mengatakan “Aduh
minta maaf e saya sedang makan ini, jangan marah o”, ketika itu pula saya selalu berkata “Iya ibu,
son apa e aman sa (iya ibu, tidak apa-apan).” Karena saking tidak enaknya karena saya sedang puasa mereka pernah
membisiki saya “Ibu, minta maaf e tapi jangan marah, bagaimana kalau ibu bawa
ini makanan karena masih ada supaya nanti ibu makan saat sudah buka puasa”.
Hidup ini akan indah ketika sebuah perbedaan bukan menjadi masalah kita untuk
saling berbuat baik dengan orang. Pelangi indah bukan karena dia hanya memiliki
satu warna saja, namun tujuh warna itulah yang membuatnya cantik di kala
hujan telah usai.
Cerita-cerita
kecil di Pulau Timor Kabupaten Malaka banyak saya dapatkan setiap harinya.
Belajar budaya masyarakat Fehan (Belu Selatan) seperti adat perkawinan yang
dikenal dengan istilah Solok yaitu acara pertunangan dengan memberikan sirih
pinang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Mengingat di sini
masyarakat Fehan tidak mengenal Belis atau mahar, adat masyarakat Fehan
melarang keras untuk meminta belis kepada laki-laki artinya laki-laki tidak
diperbolehkan memberikan belis kepada perempuan karena belis dianggap pamali.
Ketika aturan adat itu mereka langgar,
masyarakat percaya bahwa pernikahan yang mereka lakukan tidak akan dikaruniai
seorang anak atau salah satu dari mempelai akan meninggal. Sehingga sampai
sekarang adat itu masih mereka junjung tinggi, laki-laki hanya akan memberikan
sirih pinang kepada perempuan yang akan dinikahinya. Sirih pinang menjadi makanan
sehari-hari masyarakat Malaka. Sirih pinang menjadi jamuan makanan masyarakat
Malaka. Pernah suatu ketika saya dengan teman berkunjung ke salah satu rumah,
mereka mengatakan “Adat di sini kalau berkunjung suguhan mereka ya ini”. Merasa
tidak enak akhirnya kami makan sirih dimana rasanya nano-nano dan membuat lidah
kebas. Keduakalinya saya makan sirih ketika acara sambut baru di tetangga.
Sampai sekarang saya tidak menginginkan kembali makan sirih.
Bahasa
adalah cara manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Ada sekitar empat bahasa
yang ada dipergunakan oleh masyarakat Kabupaten Malaka yaitu Tetun, Dawan L,
Dawan R, dan Bunak. Keempat bahasa tersebut memiliki dialek serta aksen yang
berbeda-beda. Di daerah saya sendiri masyarakatnya menggunakan bahasa Tetun. Budaya
Timor banyak dipengaruhi oleh budaya Portugal
karena pengaruh penjajahan di masa lalu. Sehingga kata-kata yang ada dalam
bahasa tetun diserap dari bahasa portugal seperti kata “O” yang berarti “kamu”.
Saya sendiri tidak tahu banyak tentang Bahasa Tetun. Pernah ketika saya
baru mengambil air saya menyapa nenek tua yang sedang duduk di samping sumur dengan
mengatakan “Selamat pagi nenek”. Lalu nenek itu menjawab dengan bahasa Tetun. Sontak saya hanya mengatakan
“Hau katene hai nek (Saya tidak tahu nek).” Setelah timba air saya pun diajak
nenek dengan tetangga sebelah untuk mencoba rebusan kepiting. Ternyata nenek
tua tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga mama sebelah menerjemahkan
apa yang dikatakan nenek tua. Kisah tentang bai tua (Kakek tua) yang tidak bisa
berbahasa Indonesia juga pernah saya temui ketika kaki kiri saya bengkak dan
harus diurut. Kebetulan bai tua tersebut bisa menyembuhkan jika ada yang salah
urat. Karena saya yang tidak bisa berbahasa Tetun dan bai juga tidak bisa berbahasa
Indonesia saya hanya mengatakan “Bai, ne’e moras (bai ini sakit)”. Bai dan
beberapa tetangga yang meilihat kaki saya diurut akhirnya tertawa. Entah karena
perkataan saya atau dialek yang saya ucapkan. 10 bulan di penempatan membuat
saya terkadang mengerti apa yang menjadi percakapan mereka dengan bahasa Tetun
namun saya tidak tahu bagaimana mengucapkannya. Mungkin saya harus banyak lagi
belajar dari bahasa mereka.
Selama
di penempatan saya mengajari beberapa murid untuk belajar malam dalam rangka persiapan
Ujian Nasional.
Di sela-sela persiapan Ujian Nasional
saya sempatkan untuk mengajari mereka microsoft word
dan microsoft power point.
Harapan saya setidaknya mereka tahu bagaimana mengetik huruf. Hal yang saya
rindukan adalah kedua murid saya yang telah pergi meninggalkan tanah Malaka ini. Singkat cerita mereka
bernama Magdalena Luruk dan Evilina Seran Dinik. Kami sempat pergi ke kebun
bersama dan mampir sebentar di Pantai. Kami memetik daun ubi, jantung pisang,
cabai, dan labu. Bahkan kami saling bercerita satu sama lain. Namun tampaknya
benar sebuah kalimat ketika ada sebuah perjumpaan pasti perpisahan yang segera menghampiri saya. Belum
sempat murid saya yang bernama Evilina untuk mengantarkan jagung di rumah, ia
telah pergi di sisi sang Pencipta karena sebuah kecelakaan ketika dia akan
mengikuti sebuah ujian karate di desa sebelah. Kepergiannya membuat saya tidak
percaya selama beberapa hari. Sepertinya Evi dan saya baru saja pergi ke kebun
bersama. Murid saya berikutnya ia meninggalkan tanah Malaka untuk belajar di
Maumere menjadi seorang suster. Tidak tahu kapan saya akan bertemu dengan murid
saya kembali. Yang pasti kenangan itu akan selalu ada.
Sepuluh
bulan mengajar di tanah malaka membuat saya menyadari satu hal. Bahwa bukan
murid-murid saya saja yang belajar. Namun
sebaliknya bahwa saya yang banyak belajar dari mereka. Belajar tentang
kehidupan, belajar tentang budaya, bahkan saya belajar memaknai sebuah hidup
ini. Tuhan memang Maha Tahu tentang ciptaanNya. Sebab Dia tidak akan salah
menempatkan hambanya di bumi ini, ada puluhan bahkan ribuan kenapa saya
ditempatkan di sini. SMA Negeri Alkani di Hanemasin Kecamatan Wewiku menjadi tempat
yang sudah menjadi garis Tuhan bagi saya. Bisa saja ketika saya ditempatkn di
sekolah lain, saya tidak akan belajar banyak hal tentang hidup ini. Ketika di
Indonesia timur masih banyak pendidikan yang perlu ditingkatkan kualitasnya
melalui program SM-3T, maka guru SM-3T juga dapat belajar tentang kehidupan
kepada anak-anak di tapal batas (ER).
editor :Harnum Kurniawati & Tika Pangesti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar