Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

#MASIHINDONESIA: di Pesisir Selatan Pulau Timor




Setiap manusia pada dasarnya memiliki sebuah pilihan. Bahkan ketika manusia tidak memilih sebenarnya dia telah memilih sebuah keputusan yaitu tidak memilih. Sebagai manusia pada umumnya saya memilih pilihan yang sulit dimengerti oleh beberapa orang terutama orangtua dan keluarga. Berbekal sebuah kata  ajaib yang membuat pilihan itu sampai sekarang menjadi jalan hidup, takdir, atau garis Tuhan. “Kepercayaan” adalah kata mujarab bagi saya. Berkat kepercayaan orang tua dan keluarga, saya bisa mendapatkan sebuah pengalaman yang tidak akan didapatkan darimanapun.
Sarjana Mengajar di Daerah 3T (Terluar, terdepan, dan tertinggal) atau masyarakat menyebutnya SM-3T adalah sebuah program yang dibuat oleh pemerintah untuk tujuan proses pemerataan pendidikan di Indonesia khususnya daerah 3T tadi. Masyarakat tahu kalau Indonesia adalah negara dengan taraf pendidikan yang masih jauh dari kata maju. Banyak putra-putri bangsa yang masih belum bisa mendapatkan pendidikan secara layak baik ditingkat sekolah dasar maupun mengenah. Karena hal itulah  SM-3T itu diadakan.
Mendapatkan kesempatan untuk merantau adalah tantangan bagi saya. Merantau pertama kalinya di umur 23 tahun. Apalagi garis Tuhan ternyata menempatkan saya di daerah timur Indonesia tepatnya di SMA Negeri Alkani Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Hal yang saya pikirkan pertama kali “Apakah itu masih menjadi bagian dari Indonesia dan planet bumi?”.
Tiba di Bandara El Tari Kupang, atmosfer berbeda mulai terasa. Atmosfer rasa Jawa di Kupang tampaknya sudah jauh untuk saya jangkau lagi. Begitu menginjakkan kaki di Pulau Timor ini, mobil langsung membawa kami ke daerah yang berbeda lagi yaitu Kabupaten Malaka. Jarak Kupang-Malaka bisa dijangkau dengan jalur darat selama 6 jam perjalanan dengan mobil. Infrastuktur yang belum baik seperti jalan aspal, lampu penerangan jalan, jembatan, dan traffic light adalah hal yang sulit ditemui sepanjang perjalanan Kupang-Malaka.
Tiba dengan sambutan pemerintah Dinas PKPO Kabupaten Malaka, kami semua menari Tebe. Tarian khas masyarakat Belu selatan. Sedikit cerita Kabupaten Malaka merupakan pemekaran wilayah dari Kabupaten Belu dan berdiri pada tahun 2013. Kabupaten Malaka terletak di sebelah ujung timur dari Pulau Timor atau berbatasan langsung dengan Republic Demokratic Timor Leste (RDTL), negara yang awalnya menjadi wilayah kita Indonesia.
Tari Tebe sendiri dilakukan oleh banyak orang dengan formasi melingkar dengan bergandengan tangan kemudian kaki saling bergerak secara bersamaan. Ketika menari akan ada musik Tebe yang mengiringi, tarian yang menurut saya tarian yang ceria karena gerakan dan iringan musik yang cepat. Tarian ini sangat digemari oleh masyarakat di Kabupaten Malaka. Setiap ada acara seperti pernikahan, acara kelulusan, bahkan kematian pun akan ada Tebe bersama di sana.
Tebe bersama kami di Dinas PKPO menjadi awal kami di daerah penempatan SM-3T. Hari kedua saya di Kabupaten Malaka adalah SMA Negeri Alkani. Menempuh jalan kaki selama 15 menit menjadi hal baru bagi saya terlebih SMA Negeri Alkani merupakan salah satu sekolah siang. SMA Alkani terletak di Hanemasin kecamatan Wewiku. Hanemasin merupakan daerah pesisir pantai, dengan waktu 10 menit menggunakan motor maka kita dapat melihat birunya pantai. Sehingga wajar jika Hanemasin memiliki suhu udara yang lebih panas dari pada daerah lainnya. Cerita konyol yang pernah saya alami karena panasnya daerah Hanemasin adalah mencuci pakaian. Pakaian basah yang saya cuci pada pukul 07.00 pagi bisa benar-benar kering sebelum tengah siang tepatnya pukul 11.00. Bagaimana dengan manusia yang berjemur selama 1 jam saja ditengah teriknya matahari Hanemasin.
SMA Negeri Alkani dimulai pukul 12.20 hingga 17.20 WITA. Karena masalah sekolah yang belum memiliki gedung sendiri membuat SMA Negeri Alkani masih menumpang di gedung SD Katolik Hanemasin. Adapun proses pembangunan masih berjalan hingga sekarang dengan swadaya dari pihak sekolah maupun orang tua untuk memperjuangkan sekolah pagi.  Dari ini saya belajar bahwa betapa berharganya sekolah pagi, mentari pagi menyambut siswa yang berangkat ke sekolah. Suasana sejuk memberi semangat setiap siswa untuk belajar hingga terik matahari siang menyambut mereka untuk pulang ke rumah. Berbeda dengan siswa SMA Negeri Alkani, mereka ke sekolah disambut  teriknya matahari. Semangat belajar mereka diiringi dengan keringat dan panasnya matahari siang, kemudian pulang sekolah terkadang kami disambut bulan yang mulai bersinar. Menandakan waktu malam dimana manusia untuk beristirahat.
Dengan basic sosiologi, saya mengajar sosiologi dengan suasana serta struktur masyarakat yang berbeda pula. Masyarakat Malaka tergolong dalam masyarakat yang masih kesukuan dimana adat dan budaya masih mereka junjung tinggi. Contoh kecil yang saya temui disini adalah orang sakit seperti jatuh, patah tulang, atau terkena penyakit mereka akan bawa ke rumah adat dimana pihak rumah adat akan bertindak sebagai dokter yang memberikan obat untuk mereka yang mengeluh sakit. Orang Malaka sering menyebutnya dengan istilah “obat kampung”. Cerita lain lagi adalah sopi,  minuman beralkohol  yang disuling dari pohon nira. Masyarakat Malaka menjadi sopie sebagai air kata-kata. Sehingga duduk adat, denda adat, ataupun segala macam acara di masyarakat pasti ada sopie. Saya sebagai guru yang mengajar sosiologi mendapatkan tantangan tersendiri untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut.
Dua bulan di penempatan saya mulai belajar berbagai budaya di sini, adat istiadat, kebiasaan, bahkan rasa makanan yang terkadang “shocking moment”. Cerita ini dimulai saat saya sedang makan malam bersama dengan bapak dan mama di sini. Saat itu di meja tersedia nasi, daun ubi, dan bubur kacang hijau. Saya berpikir “Bagaimana jika nasi ini saya campur dengan kacang hijau, mungkin rasanya seperti permen nanonano”. Begitu saya mengambil lauk tiba-tiba bapak mengatakan “ambil sudah, disana jarang ada sup kacang hijau to”, kemudian saya jawab “ya? Ini dicampur dengan nasi bapak? Dalam hati saya mengatakan bagaiamana rasa nasi dicampur bubur kacang hijau yang manis” kemudian bapak menyahut kembali “iya to, makan su (makan!)”. Saya mengambil nasi dengan menyertakan bubur kacang hijau di piring. Ketika saya makan, saya bertanya-tanya “bagaimana bisa bubur kacang hijau dimakan dengan nasi dan memiliki rasa  asin”. Setelah itu mereka menceritakan  bahwa disini kacang hijau digunakan untuk berbagai macam campuran sup. Seperti sup ayam dengan campuran kacang hijau, kacang hijau direbus dengan bumbu bawang merah bawang putih, bahkan sup kacang hijau dengan campuran daun ubi. Cerita makanan yang membuat shocking moment adalah pisang. Pisang ambon disini dikenal dengan sebutan pisang luan dimana pisang ambon yang masih mentah direbus kemudian makan dengan sambal. Pertama kalinya saya ragu-ragu untuk memakannya namun setelah 10 bulan di penempatan hal itu telah menjadi makanan sehari-hari kami terlebih sebagai hidangan camilan masyarakat di sini. 

Dua bulan di Kabupaten Malaka saya merasakan apa yang disebut menjadi masyarakat minor di tanah mayoritas. Ada sebuah kutipan kalimat yang mengatakan bahwa “sekali dalam seumur hidup jadilah kaum minor di daerah orang”. Apa yang ada dalam kalimat itu sedang saya lakukan di daerah penempatan. Mayoritas penduduk masyarakat di Pulau Timor beragama Kriten dan Katholik. Sedangkan Kabupaten Malaka sendiri mayoritas beragama Katholik. Kabupeten ini memiliki setidaknya 2 masjid di kota kabupaten. Sedangkan di kecamatan tidak ada masjid. Saya sendiri tinggal di Kecamatan Wewiku dimana harus menempuh sekitar 45 menit menggunakan motor untuk sampai ke kota kabupaten. Ya, tampaknya ini kali pertama saya harus perlu berjuang ketika manusia sedang merindukan Tuhannya dalam sebuah rumah ibadah. Sejatinya manusia memang membutuhkan Tuhan dalam setiap langkah hidupnya dan akan datang saat dimana kita sedang jauh dengan Sang Pencipta. Maka Sang Pencipta akan menguji manusia apakah engkau akan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya atau sebaliknya diri kita semakin jauh. Kenyataannya di lapangan, sebanyak 53 guru SM-3T ditempatkan pada 53 sekolah di Kabupten Malaka. Sehingga dalam 1 sekolah terdapat 1 guru SM-3T saja. Hidup dalam keminoran di penempatan menjadi ajang bagi saya dan teman-teman untuk saling menghormati dan toleransi satu sama lain.  Seperti acara Natal tahun lalu, saya dan guru-guru SMA Negeri Alkani kerja bakti membersihakan gereja. Mendampingi murid-murid dalam rangka perarakan Patung Maria. Terlebih lagi Bulan Ramadhan, dimana umat muslim sedang menjalankan ibadah puasa. Ketika di sekolah ada sebuah jamuan makan, teman-teman guru selalu mengatakan “Aduh minta maaf e saya sedang makan ini, jangan marah o”,  ketika itu pula saya selalu berkata “Iya ibu, son apa e aman sa (iya ibu, tidak apa-apan).” Karena saking tidak enaknya  karena saya sedang puasa mereka pernah membisiki saya “Ibu, minta maaf e tapi jangan marah, bagaimana kalau ibu bawa ini makanan karena masih ada supaya nanti ibu makan saat sudah buka puasa”. Hidup ini akan indah ketika sebuah perbedaan bukan menjadi masalah kita untuk saling berbuat baik dengan orang. Pelangi indah bukan karena dia hanya memiliki satu warna saja, namun tujuh warna itulah yang membuatnya cantik di kala hujan  telah usai.  

Cerita-cerita kecil di Pulau Timor Kabupaten Malaka banyak saya dapatkan setiap harinya. Belajar budaya masyarakat Fehan (Belu Selatan) seperti adat perkawinan yang dikenal dengan istilah Solok yaitu acara pertunangan dengan memberikan sirih pinang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Mengingat di sini masyarakat Fehan tidak mengenal Belis atau mahar, adat masyarakat Fehan melarang keras untuk meminta belis kepada laki-laki artinya laki-laki tidak diperbolehkan memberikan belis kepada perempuan karena belis dianggap pamali. Ketika aturan adat  itu mereka langgar, masyarakat percaya bahwa pernikahan yang mereka lakukan tidak akan dikaruniai seorang anak atau salah satu dari mempelai akan meninggal. Sehingga sampai sekarang adat itu masih mereka junjung tinggi, laki-laki hanya akan memberikan sirih pinang kepada perempuan yang akan dinikahinya. Sirih pinang menjadi makanan sehari-hari masyarakat Malaka. Sirih pinang menjadi jamuan makanan masyarakat Malaka. Pernah suatu ketika saya dengan teman berkunjung ke salah satu rumah, mereka mengatakan “Adat di sini kalau berkunjung suguhan mereka ya ini”. Merasa tidak enak akhirnya kami makan sirih dimana rasanya nano-nano dan membuat lidah kebas. Keduakalinya saya makan sirih ketika acara sambut baru di tetangga. Sampai sekarang saya tidak menginginkan kembali makan sirih.

Bahasa adalah cara manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Ada sekitar empat bahasa yang ada dipergunakan oleh masyarakat Kabupaten Malaka yaitu Tetun, Dawan L, Dawan R, dan Bunak. Keempat bahasa tersebut memiliki dialek serta aksen yang berbeda-beda. Di daerah saya sendiri masyarakatnya menggunakan bahasa Tetun. Budaya Timor banyak dipengaruhi oleh budaya Portugal karena pengaruh penjajahan di masa lalu. Sehingga kata-kata yang ada dalam bahasa tetun diserap dari bahasa portugal seperti kata “O” yang berarti “kamu”. Saya sendiri tidak tahu banyak tentang Bahasa Tetun. Pernah ketika saya baru mengambil air saya menyapa nenek tua yang sedang duduk di samping sumur dengan mengatakan “Selamat pagi nenek”. Lalu nenek itu menjawab dengan bahasa Tetun. Sontak saya hanya mengatakan “Hau katene hai nek (Saya tidak tahu nek).” Setelah timba air saya pun diajak nenek dengan tetangga sebelah untuk mencoba rebusan kepiting. Ternyata nenek tua tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga mama sebelah menerjemahkan apa yang dikatakan nenek tua. Kisah tentang bai tua (Kakek tua) yang tidak bisa berbahasa Indonesia juga pernah saya temui ketika kaki kiri saya bengkak dan harus diurut. Kebetulan bai tua tersebut bisa menyembuhkan jika ada yang salah urat. Karena saya yang tidak bisa berbahasa Tetun dan bai juga tidak bisa berbahasa Indonesia saya hanya mengatakan “Bai, ne’e moras (bai ini sakit)”. Bai dan beberapa tetangga yang meilihat kaki saya diurut akhirnya tertawa. Entah karena perkataan saya atau dialek yang saya ucapkan. 10 bulan di penempatan membuat saya terkadang mengerti apa yang menjadi percakapan mereka dengan bahasa Tetun namun saya tidak tahu bagaimana mengucapkannya. Mungkin saya harus banyak lagi belajar dari bahasa mereka.

Selama di penempatan saya mengajari beberapa murid untuk belajar malam dalam rangka persiapan Ujian Nasional. Di sela-sela persiapan Ujian Nasional saya sempatkan untuk mengajari mereka microsoft word dan microsoft power point. Harapan saya setidaknya mereka tahu bagaimana mengetik huruf. Hal yang saya rindukan adalah kedua murid saya yang telah pergi meninggalkan tanah Malaka ini. Singkat cerita mereka bernama Magdalena Luruk dan Evilina Seran Dinik. Kami sempat pergi ke kebun bersama dan mampir sebentar di Pantai. Kami memetik daun ubi, jantung pisang, cabai, dan labu. Bahkan kami saling bercerita satu sama lain. Namun tampaknya benar sebuah kalimat ketika ada sebuah perjumpaan pasti  perpisahan yang segera menghampiri saya. Belum sempat murid saya yang bernama Evilina untuk mengantarkan jagung di rumah, ia telah pergi di sisi sang Pencipta karena sebuah kecelakaan ketika dia akan mengikuti sebuah ujian karate di desa sebelah. Kepergiannya membuat saya tidak percaya selama beberapa hari. Sepertinya Evi dan saya baru saja pergi ke kebun bersama. Murid saya berikutnya ia meninggalkan tanah Malaka untuk belajar di Maumere menjadi seorang suster. Tidak tahu kapan saya akan bertemu dengan murid saya kembali. Yang pasti kenangan itu akan selalu ada.
Sepuluh bulan mengajar di tanah malaka membuat saya menyadari satu hal. Bahwa bukan murid-murid saya saja yang belajar. Namun sebaliknya bahwa saya yang banyak belajar dari mereka. Belajar tentang kehidupan, belajar tentang budaya, bahkan saya belajar memaknai sebuah hidup ini. Tuhan memang Maha Tahu tentang ciptaanNya. Sebab Dia tidak akan salah menempatkan hambanya di bumi ini, ada puluhan bahkan ribuan kenapa saya ditempatkan di sini. SMA Negeri Alkani di Hanemasin Kecamatan Wewiku menjadi tempat yang sudah menjadi garis Tuhan bagi saya. Bisa saja ketika saya ditempatkn di sekolah lain, saya tidak akan belajar banyak hal tentang hidup ini. Ketika di Indonesia timur masih banyak pendidikan yang perlu ditingkatkan kualitasnya melalui program SM-3T, maka guru SM-3T juga dapat belajar tentang kehidupan kepada anak-anak di tapal batas (ER).

editor :Harnum Kurniawati & Tika Pangesti 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar