Translate

Kamis, 03 Agustus 2017

KAMI JUGA BAGIAN DARI INDONESIA







Oleh : Agus Eko Cahyono, S.Pd

Siapa sangka, dari sekian banyak provinsi di Indonesia, Nusa Tenggara Timur (NTT) akan menjadi rumah kedua bagi saya, menjadi tempat menyandarkan mimpi-mimpi tentang pendidikan anak-anak di tapal batas timur, dan menjadi tempat bertemu keluarga baru yang memiliki banyak perbedaan. Saya suku Jawa sedangkan mereka suku Dawan. Saya Muslim sedangkan mereka Kristen Katolik. Apapun perbedaan itu, kami sama-sama lahir dan tumbuh di atas bumi Indonesia dan merekalah yang menuntun saya untuk menjalin cerita selama satu tahun mendatang.

Masih segar diingatan saya, saya dating pada tanggal 5 September tahun silam. Iring-iringan mobil carter membawa kami menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Malaka. Selama perjalanan dari Kupang tidak banyak yang bisa kami lihat karena malam menjelang namun, yang pasti tiba-tiba berhentilah kami di Hotel Cinta Damai, Betun. Kami menginap untuk menghabiskan malam yang mendekati pagi. Hingga akhirnya,kami bertemu dengan pejabat daerah setempat pada siang hari.
Looneke, tepatnya SD Katolik Looneke tertulis di SK Bupati. Letaknya berada di Kecamatan Botin Leobele, sekitar 1 jam dari ibu kota Malaka, Betun dengan mengendarai kendaraan umum. Looneke merupakan daerah pegunungan. Hawa dingin selalu menyelimuti daerah ini dan mencapai puncaknya pada bulan Juni-Juli. Tenang, sejuk, damai, dan ramah, itulah kesan pertama saya tinggal disini.
Hal baru bisa banyak ditemukan. Masyarakat NTT memang menjadi kan jagung sebagai makanan pokok, namun rasa jagung tidak kalah nikmatnya dengan nasi. Rasa manis dari jagung terasa nikmat di lidah bila bercampur dengan rasa pedas Lombok dan nasinnya garam apalagibila direbus juga dengan sayuran alam yang segar. Ketika pulang nanti dan kebetulan panen jagung, tidak salah jika saya mengenang Loneke dengan sekedar membuat jagung rebus atau jagung bose.

Permasalahan utama disini adalah belum masuk nya aliran listrik dan akses jalan yang masih berupa batuan lepas. Beberapa masyarakat menggunakan lampu tenaga surya (sehen) untuk menerangi gelap nya malam, dan yang lain nya menyalakan pelita berbahan bakar minyak tanah. Awalnya, saya menyangka sehen adalah bentuk bantuan dari PLN, namun kenyataannya, penghuni rumah diwajibkan membayar Rp.40.000,-perbulan sehingga tidak sedikit yang merasa keberatan hingga harus menunggak sampai beberapa bulan. Akhirnya, PLN memutus aliran sehen sehingga masyarakat kembali menggunakan pelita. Di dalam benak saya timbul satu pertanyaan, “Mereka masih bagian dari Indonesia, bukan?”
Tantangan lain yang saya hadapi adalah akses jalan yang belum baik. Jalan masih berupa batu lepas. Sedikit saja lengah ketika berkendara, seseorang bisa jadi akan terjatuh. Bila musim hujan tiba, jalanan menjadi licin. Bila musim kemarau, jalanan dipenuhi debu yang beterbangan. Itulah sebab masyarakat lebih memilih untuk berjalan kaki. Bila jarak cukup jauh, mereka lebih memilih angkutan umum atau masyarakat disini mengenalnya dengan istilah oto. Oto khusus milik masyarakat sekitar mengantar mereka dari dan ke Looneke.


Dibalik segala tantangan tersebut, ada satu hal yang memudahkan saya di sini yaitu pasokan air yang melimpah. Banyak mata air terus mengalir sepanjang tahun, sekali pun musim kemarau. Banyak warga sudah menghubungkan air kerumahnya, baik dengan pipa, pohon pinang, atau pun pohon bambu yang dibelah. Setidaknya, jika kami mengambil air, jaraknya dekat. Air disini merupakan air kapur. Air masak harus disaring terlebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam termos.
Pemandangan anak-anak sekolah disini memang berbeda, namun apa yang saya rasakan, sekiranya tidak sesulit apa yang dirasakan teman-teman SM3T lainnya. Kedatangan awal saya disambut hijaunya pemandangan rumput sekitar sekolah. Cat tembok yang masih baru member kesan indah. Bunga-bunga bermekaran menyejukkan pandangan hati. Bangunan sekolah dalam keadaan begitu baik. Lantai yang dikeramik tampak bersih. Papan nama sekolah masih seperti baru. Ya! Disinilah tempat tugas saya untuk mengabdi selama satu tahun mendatang.

Anak-anak berangkat ke sekolah dengan hanya mengenakan sandal, bahkan tidak sedikit pula yang telanjang kaki. Semua anak menempuh jarak kesekolah dengan berjalan kaki, entah itu rumahnya dekat ataupun jauh dari sekolah. Saya sempat bertanya kenapa mereka tidak mengenakan sepatu. Jawabannya tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Medan yang mereka lalui untuk mencapai sekolah tidaklah mudah. Mereka harus melintasi hutan, tanah berlumpur, dan jalan penuh bebatuan. Sepatu yang mereka kenakan bias cepat rusak, sehingga mereka mengenakan sepatu hanya pada saat-saat tertentu, seperti ketika ada kunjungan. Harga sepatu tidak murah. Jadi, mereka sebisa mungkin menjaganya.
Jika gelap menjelang, itu artinya suasana kampong menjadi begitu tenang. Sesekali, suara gonggongan anjing terdengar, ketika ada orang yang lewat. Banyak anak memutuskan untuk langsung tidur tanpa belajar terlebih dahulu. Mereka kecapaian setelah seharian penuh bermain, sementara lainnya, memilih menonton televise kerumah tetangga. Melihat kondisi tersebut, saya memutuskan untuk mengadakan belajar malam dengan anak-anak kelas VI. Selesai makan, mereka berkumpul kerumah dan kita Tanya jawab seputar materi UN. Sebagian dari mereka pulang kerumah, dan sebagian lainnya menemani saya tidur. Saya bersuyur karena sekarang 25 anak-anak itu semuanya dinyatakan lulus.
Saya habiskan banyak waktu bersama anak-anak di Looneke sehingga membuat saya lebih mengenal anak-anak timur. Itulah mengapa, saya di sini bukan untuk sekedar mengajar, melainkan lebih banyak belajar. Mereka sama dengan anak-anak lainnya. Bermain merupakan pekerjaan mereka, namun semua berubah ketika mereka berada di rumah masing-masing. Semenjak kecil,mereka telah diajarkan untuk bekerja mengurusi hidupnya sendiri.

Saya seperti bercermin ketika melihat mereka bekerja, karena cerminan hidup itu justru membuat saya malu. Mereka begitu cekatan menimba air kedalam jerigen, tidak peduli berapa banyak jumlahnya. Memotong kayu bakar untuk memasak. Menyalakan api sendiri. Mencuci beras jagung sendiri dan tidak jarang memasak sayurnya sekalian. Mereka kelihatan tulus dalam melakukan semua itu. Tidak ada raut wajah marah atau murung. Seolah semua itu begitu mudah dan sudah biasa. Saya paling suka ketika mereka dipanggil orang tuanya, dan dengan lembut mereka menyaut “Yaa” sambil berlalu.
Ketika hari minggu atau libur sekolah, itu artinya waktu pesiar dengan anak-anak. Kami sudah melakukan banyak hal bersama yakni memancing ikan di sungai yang jarak nya sebenarnya tidak dekat, menyusuri hutan dan berhenti sejenak untuk sekedar memetik buah jambu. Setelah memancing, kami melanjutkan dengan mandi di air berlumpur. Memang kotor tetapi yang perlu saya lakukan hanya satu, yaitu menikmatinya. Bila pulang, mereka tak jarang memanjat pohon kelapa dan kami menikmati segarnya air kelapa bersama.
Anak-anak disini adalah murid, sahabat, adik, sekaligus pemandu di penempatan. Mereka menemani saya siang dan malam. Mereka menegur bila bertentangan dengan pamali disini. Mereka menemani pesiar kerumah-rumah masyarakat sekitar. Mereka memandu mengenal daerah Looneke lebih dalam dan membagikan makanan yang merekapunya. Terimakasih, Pak ucapkan untuk semuanya yang sudah mengisi hari-hari Pak dengan senyuman, tawa, dan decak kagum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar