Oleh : Leli Prastiwi, S.Pd
Satu
tahun, tidak terasa waktu menjadi bagian dari program SM-3T telah saya lalui.
Banyak sekali pengalaman berharga yang saya dapatkan, yang mungkin tidak bisa
diperoleh di tempat lain. Saya belajar banyak tentang bagaimana hidup di
lingkungan yang baru, di tengah-tengah keragaman budaya masyarakat setempat,
serta bagaimana belajar menjadi kuat, konsisten, tanggung jawab, bahkan belajar
tertawa dalam tangisan.
Malaka,
adalah sebuah kabupaten dimana saya menghabiskan waktu 365 hari menjalani
program SM-3T. Kabupaten Malaka merupakan pemekaran dari Kabupaten Belu,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masih tergolong kabupaten baru memang, karena
Kabupaten Malaka resmi menjadi kabupaten baru pada tahun 2013, dan masih pula
membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan untuk “menyala” layaknya
kabupaten-kabupaten yang lain.
Senin,
5 September 2016 merupakan hari pertama saya menapaki tanah pengabdian, Ds.
Numbei, Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah. Sekolah Dasar Inpres Numbei
adalah sekolah tempat dimana saya berbagi ilmu dan pengalaman yang saya miliki
untuk adik-adik di Dusun Numbei, dengan jumlah siswa 37 orang tidak membutuhkan
waktu yang lama bagi saya untuk menghafal nama dan mengenal nama mereka. Untuk
dapat sampai di dusun Numbei, kendaraan satu-satunya adalah ojek. Dari pusat
kota kira-kira hanya berjarak 8 Km. Jalan yang dilewati sudah beraspal, namun
tidak jarang juga ditemui jalan rusak dan tanah berbatu lepas yang cukup
berbahaya jika dilewati ketika musim hujan. Melewati jalan naik, turun,
berkelok-kelok, dan hutan yang dipenuhi pepohonan tanpa ada penduduk, serta 2
sungai mati yang hanya ada air ketika musim hujan maka tibalah di dusun
Kakaniuk.
Tiba di dusun Kakaniuk , perjalanan dengan ojek
harus terhenti karena perjalanan hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki
menyusuri lebarnya sungai Benanain. Di seberang sungai Benanain itulah dusun
Numbei terletak. Dikelilingi 2 sungai besar dan barisan perbukitan membuat
letak geografis dusun Numbei tergolong daerah terpencil, sehingga masyarakat
setempat kerap kali menyebutnya PUKERA ( PuKera : Pulau kera, sebuah pulau di
seberang kota Kupang yang hanya berpenduduk ± 87 Kepala Keluarga dan dengan
fasilitas yang minim). Belum di bangunnya jembatan di muta Benanain dan muta
Baen (muta dalam bahasa tetun berarti sungai) membuat masyarakat dusun
Numbei kesulitan untuk sekedar pergi ke desa tetangga. Ketika sungai banjir (webot)
satu-satunya jalan adalah mendaki bukit Kateri dengan berjalan kaki, perjalanan
± 1,5 jam di tengah hutan belantara.
Budaya
gotong royong di Dusun Numbei sangat patut diacungi jempol, mulai dari kiik
oan (anak kecil) sampai ferik-ferik no katuas (nenek-nenek dan
kakek) mempersilahkan bahu dan tenaganya untuk membantu sesama, baik di
lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Saya tinggal bersama pasangan suami
istri yang mengajar di SDI Numbei, Vinsensius Mau Nahak (Kepala Sekolah) dan Magdalena
Uduk (wali kelas 1). Mereka telah menganggap saya seperti anak sendiri, karena
mereka hanya tinggal berdua saja dirumah. Jarak dari rumah menuju ke sekolah
tidak terlalu jauh ±500 m ditempuh dengan berjalan kaki.
Setelah
diadakan rapat Kepsek dengan rekan-rekan guru, saya diberikan jatah mengajar
kelas 1 sampai dengan kelas 4 sebagai guru mata pelajaran PJOK (bidang saya),
mata pelajaran IPA dan IPS untuk kelas 2, serta penanggung jawab UKS di SDI
Numbei.
Pada saat kegiatan pembelajaran, saya sedikit
menemukan kendala dalam hal bahasa, terutama pada saat mengajar kelas bawah
(kelas 1 dan 2) karena kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa daerah (bahasa
tetun), mereka belum bisa menggunakan bahasa Indonesia. PR bagi saya untuk
belajar bahasa tetun agar kegiatan belajar mengajar di sekolah bisa berjalan
dengan semestinya. Bersama rekan-rekan guru di sekolah, anak-anak dan warga
sekitar saya belajar bahasa tetun. Orang yang paling berpengaruh dalam upaya
saya belajar bahasa tetun adalah nenek Perpetua Kolo (nenek Bete). Warga
sekitar menyarankan saya untuk belajar bahasa tetun dengan beliau. Menurut
warga setempat, seseorang akan cepat mahir bahasa tetun jika belajar dengan
beliau, karena beliau tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga ketika ngobrol dengan
beliau mau tidak mau saya yang harus berpikir keras meraba-raba arti terjemahan
apa yang nenek bete maksud. Tidak jarang kami bercanda dan menggunakan bahasa
tubuh ketika saya gagal mengartikan kalimat yang diutarakan nenek Bete. Nenek
Bete ini adalah seorang fukun mamulak (tetua adat suku Mamulak) yang
menjaga rumah adat suku Mamulak. Tinggal seorang diri membuat nenek Bete merasa
senang dan terhibur ketika saya sering berkunjung ke umalulik umamamulak
(rumah pamali rumah Mamulak). Namun sangat disayangkan, nenek Bete tiba-tiba
jatuh sakit dan meninggal pada hari Rabu, 7 Juni 2017. Selamat jalan nenek
Bete, tenang di sisi kanan Bapa. Amiin.
Berbekal
apa yang saya dapat dari nenek Bete akhirnya kegiatan belajar mengajar dapat
berjalan jauh lebih baik dari sebelumnya. Hari-hari terus berlalu akhirnya
anak-anak kelas bawah pun sedikit banyak mengerti bahasa Indonesia. Layaknya
kelas bilingual saya mengajar dengan menggunakan dua bahasa, bahasa
Indonesia dan bahasa Tetun, bahkan kadang kala saya sedikit mengenalkan kosa
kata bahasa Inggris kepada mereka. Seperti ketika melakukan pemanasan sebelum
olahraga, saya meminta mereka untuk berhitung dengan bahasa Inggris.
Kendala
yang lain adalah anak masih merasa kurang percaya diri untuk tampil, kesadaran
tampil bersih dan rapi masih kurang, dan pemalas. Dengan melakukan pendekatan
menganggap mereka layaknya adik sendiri, mereka akhirnya bersedia membuka diri,
mulai berani bercerita dan bercengkerama dengan saya. Memanfaatkan kedekatan
itulah perlahan-lahan memberi mereka masukan dan memberi sedikit pujian ketika
mereka mau dan berhasil melakukan apa yang saya sarankan. Sebagai contoh
seorang siswa kelas 2 bernama Aldo (Yohanes Alfredo Seran Tukan), dia adalah
seorang sulung dari 4 bersaudara. Keberadaan ketiga adiknya yang masih
kecil-kecil membuat dia kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari
kedua orang tuanya. Di sekolah, dia selalu terlihat minder dan pendiam, karena
ia selalu diejek teman-temannya bahwa ia adalah murid paling bodoh di kelas.
Ketika istirahat, saya sering duduk-duduk di bawah pohon ketapang di sekolah
sambil menemani anak-anak bermain, sesekali saya ajari juga mereka beberapa
permainan tradisional Jawa. Kerap kali saya memanggil Aldo untuk ikut
bergabung, Aldogino adalah panggilan kesayangan saya untuknya. “Aldo, mai lai “ (Aldo, mari sini),
saya pun sembari melambaikan tangan ke arahnya. Dia pun datang, saya bilang “Ou
la tuir oan sia basa bola nak sa Aldo ?” (kamu tidak ikut bermain kasti
kenapa Aldo ?). Dia menjawab “hau bele hai e Ibu “ (saya tidak bisa e
Ibu). Kemudian saya pun mengajaknya ikut bermain dengan anak-anak yang lain, “Ibu
hanorin ou, bele to ?” (Ibu ajari kamu, mau ya ?), dia pun mengangguk dan
akhirnya saya pun masuk dan ikut bermain dengan mereka, saya satu tim dengan
Aldo supaya bisa sembari memberi arahan kepadanya. Dia pun senang dan bisa
tertawa lepas walau kadang pukulannya meleset, tetapi saya selalu bilang “ soin
Aldo, malai sa !” (tidak apa-apa Aldo, lari saja !). Seiring berjalannya
waktu, dia mulai percaya diri ikut teman-temannya bermain tanpa ditemani saya,
bahkan kini dia sering bilang “ Ibu marai hau e “ (Ibu lihat saya e),
dia meminta saya melihat aksinya memukul bola bermain kasti, saya pun bilang “hou,
basa ma diak e “ (ya, pukul yang baik e ).
Untuk pembelajaran di kelas, semenjak saya membawa
laptop dan HP, menunjukkan mereka beberapa video pembelajaran, ternyata Aldo
memiliki ingatan dan daya tangkap yang baik. Ketika video-video tersebut saya
tutup dan saya kembali bertanya kepada anak-anak, Aldo lah yang sering
mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan saya dengan benar, untuk matematika
dia jagonya. Kelemahan yang dimiliki Aldo ternyata dalam hal membaca dan
menulis. Dengan sering memberikan pekerjaan rumah dan harus dikerjakan (jika
tidak dikerjakan akan menerima sanksi dari saya) kemampuan menulisnya mulai
meningkat bahkan dia sudah mampu bersaing dengan teman-temannya yang lain, hanya
kadang kala dia masih sering lupa jika membaca di tengah-tengah kata terdapat
huruf mati (ny, ng). Pada saat pembagian raport semester 2 ternyata dia bisa
menempati posisi ke-3 dari jumlah siswa kelas 2 sebanyak 5 orang. Ternyata
guru-guru yang lain sering memperhatikan kedekatan saya dengan anak-anak.
Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka akan meniru apa yang saya lakukan.
Setelah diterapkan alhamdulillah ternyata anak-anak mau menuruti apa yang
diperintahkan oleh guru tanpa mendapatkan kekerasan fisik dari bapak ibu guru.
Masalah
kerapian dan kebersihan berangsur-angsur membaik . bermula dari tindakan saya
yang mungkin sedikit keterlaluan, memandikan salah seorang murid yang tidak
pernah mandi ketika berangkat sekolah di kamar mandi sekolah. Akhirnya
anak-anak yang lain pun takut dan mandi terlebih dahulu ketika mau berangkat ke
sekolah.
Setiap hari saya ditemani guru piket mengecek
kerapian berpakaian dan kebersihan kuku siswa, dan akhirnya kini mereka
terlihat bersih dan rapi ketika bersekolah. Bapak kepsek mengatakan bahwa
“semua akan terlihat indah pada waktunya”, seperti keadaan sekolah yang
terlihat indah setelah ditanami tanaman “Rindang Malaka”, sebuah program dari
Dinas PKPO untuk menanam tanaman jeruk, mangga, nangka, pisang, sirih daun, sirih
buah, dan pinang di pekarangan sekolah.
Semenjak
ada program “Rindang Malaka” para siswa dan orang tua bahu membahu menanam
tanaman dan membuat pagar untuk melindungi kebun sekolah dari serangan babi dan
sapi, bahkan mereka juga menanam beberapa tanaman lainnya seperti kacang tanah,
nanas, jagung, ubi dan talas yang hasilnya dalam waktu dekat bisa dinikmati
warga sekolah. Sebuah gotong royong yang luar biasa dan belum pernah saya
temukan di daderah mana pun sebelumnya.
Terima
kasih banyak untuk satu tahun yang luar biasa, teruntuk dusun Numbei dan
program SM-3T karena telah memberikan pengalaman hidup yang sangat berharga
bagi saya. Satu tahun yang mengubah saya menjadi tambah dewasa. Karena
disinilah saya bisa belajar banyak pengalaman baik di sekolah maupun di
lingkungan masyarakat. Numbei adalah tempat dimana pertama kalinya saya mampu
bertahan di tengah keterbatasan, satu tahun hidup tanpa listrik, sinyal sangat
sulit didapatkan, kemana-mana jalan kaki menyeberang kali yang airnya setinggi
mata kaki sampai badan tak terlihat lagi (banjir), ketika sungai tidak
memungkinkan untuk diseberangi harus jalan kaki lebih jauh lagi mendaki bukit
Kateri, berkelana di hutan untuk mencari kayu bakar dan yang paling berkesan
adalah saya mendapat kesempatan untuk belajar membuat kain tenun dimana tenun
adalah salah satu warisan budaya kebanggan Indonesia.
Pesan
untuk adik-adik kesayangan Ibu Leli, “teruslah bersekolah menuntut ilmu, kejar
dan gapai mimpi adik-adik, jangan mudah menyerah karena kesuksesan berjalan
menanjak, dan tanpa usaha, kerja keras serta doa sukses hanyalah bayang semu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar