Translate

Minggu, 20 Agustus 2017

Pinggiran Benanain




Oleh : Leli Prastiwi, S.Pd

            Satu tahun, tidak terasa waktu menjadi bagian dari program SM-3T telah saya lalui. Banyak sekali pengalaman berharga yang saya dapatkan, yang mungkin tidak bisa diperoleh di tempat lain. Saya belajar banyak tentang bagaimana hidup di lingkungan yang baru, di tengah-tengah keragaman budaya masyarakat setempat, serta bagaimana belajar menjadi kuat, konsisten, tanggung jawab, bahkan belajar tertawa dalam tangisan.
            Malaka, adalah sebuah kabupaten dimana saya menghabiskan waktu 365 hari menjalani program SM-3T. Kabupaten Malaka merupakan pemekaran dari Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masih tergolong kabupaten baru memang, karena Kabupaten Malaka resmi menjadi kabupaten baru pada tahun 2013, dan masih pula membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan untuk “menyala” layaknya kabupaten-kabupaten yang lain.
            Senin, 5 September 2016 merupakan hari pertama saya menapaki tanah pengabdian, Ds. Numbei, Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah. Sekolah Dasar Inpres Numbei adalah sekolah tempat dimana saya berbagi ilmu dan pengalaman yang saya miliki untuk adik-adik di Dusun Numbei, dengan jumlah siswa 37 orang tidak membutuhkan waktu yang lama bagi saya untuk menghafal nama dan mengenal nama mereka. Untuk dapat sampai di dusun Numbei, kendaraan satu-satunya adalah ojek. Dari pusat kota kira-kira hanya berjarak 8 Km. Jalan yang dilewati sudah beraspal, namun tidak jarang juga ditemui jalan rusak dan tanah berbatu lepas yang cukup berbahaya jika dilewati ketika musim hujan. Melewati jalan naik, turun, berkelok-kelok, dan hutan yang dipenuhi pepohonan tanpa ada penduduk, serta 2 sungai mati yang hanya ada air ketika musim hujan maka tibalah di dusun Kakaniuk.
Tiba di dusun Kakaniuk , perjalanan dengan ojek harus terhenti karena perjalanan hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki menyusuri lebarnya sungai Benanain. Di seberang sungai Benanain itulah dusun Numbei terletak. Dikelilingi 2 sungai besar dan barisan perbukitan membuat letak geografis dusun Numbei tergolong daerah terpencil, sehingga masyarakat setempat kerap kali menyebutnya PUKERA ( PuKera : Pulau kera, sebuah pulau di seberang kota Kupang yang hanya berpenduduk ± 87 Kepala Keluarga dan dengan fasilitas yang minim). Belum di bangunnya jembatan di muta Benanain dan muta Baen (muta dalam bahasa tetun berarti sungai) membuat masyarakat dusun Numbei kesulitan untuk sekedar pergi ke desa tetangga. Ketika sungai banjir (webot) satu-satunya jalan adalah mendaki bukit Kateri dengan berjalan kaki, perjalanan ± 1,5 jam di tengah hutan belantara.
            Budaya gotong royong di Dusun Numbei sangat patut diacungi jempol, mulai dari kiik oan (anak kecil) sampai ferik-ferik no katuas (nenek-nenek dan kakek) mempersilahkan bahu dan tenaganya untuk membantu sesama, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Saya tinggal bersama pasangan suami istri yang mengajar di SDI Numbei, Vinsensius Mau Nahak (Kepala Sekolah) dan Magdalena Uduk (wali kelas 1). Mereka telah menganggap saya seperti anak sendiri, karena mereka hanya tinggal berdua saja dirumah. Jarak dari rumah menuju ke sekolah tidak terlalu jauh ±500 m ditempuh dengan berjalan kaki.
            Setelah diadakan rapat Kepsek dengan rekan-rekan guru, saya diberikan jatah mengajar kelas 1 sampai dengan kelas 4 sebagai guru mata pelajaran PJOK (bidang saya), mata pelajaran IPA dan IPS untuk kelas 2, serta penanggung jawab UKS di SDI Numbei.

Pada saat kegiatan pembelajaran, saya sedikit menemukan kendala dalam hal bahasa, terutama pada saat mengajar kelas bawah (kelas 1 dan 2) karena kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa daerah (bahasa tetun), mereka belum bisa menggunakan bahasa Indonesia. PR bagi saya untuk belajar bahasa tetun agar kegiatan belajar mengajar di sekolah bisa berjalan dengan semestinya. Bersama rekan-rekan guru di sekolah, anak-anak dan warga sekitar saya belajar bahasa tetun. Orang yang paling berpengaruh dalam upaya saya belajar bahasa tetun adalah nenek Perpetua Kolo (nenek Bete). Warga sekitar menyarankan saya untuk belajar bahasa tetun dengan beliau. Menurut warga setempat, seseorang akan cepat mahir bahasa tetun jika belajar dengan beliau, karena beliau tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga ketika ngobrol dengan beliau mau tidak mau saya yang harus berpikir keras meraba-raba arti terjemahan apa yang nenek bete maksud. Tidak jarang kami bercanda dan menggunakan bahasa tubuh ketika saya gagal mengartikan kalimat yang diutarakan nenek Bete. Nenek Bete ini adalah seorang fukun mamulak (tetua adat suku Mamulak) yang menjaga rumah adat suku Mamulak. Tinggal seorang diri membuat nenek Bete merasa senang dan terhibur ketika saya sering berkunjung ke umalulik umamamulak (rumah pamali rumah Mamulak). Namun sangat disayangkan, nenek Bete tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal pada hari Rabu, 7 Juni 2017. Selamat jalan nenek Bete, tenang di sisi kanan Bapa. Amiin.
            Berbekal apa yang saya dapat dari nenek Bete akhirnya kegiatan belajar mengajar dapat berjalan jauh lebih baik dari sebelumnya. Hari-hari terus berlalu akhirnya anak-anak kelas bawah pun sedikit banyak mengerti bahasa Indonesia. Layaknya kelas bilingual saya mengajar dengan menggunakan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Tetun, bahkan kadang kala saya sedikit mengenalkan kosa kata bahasa Inggris kepada mereka. Seperti ketika melakukan pemanasan sebelum olahraga, saya meminta mereka untuk berhitung dengan bahasa Inggris.
            Kendala yang lain adalah anak masih merasa kurang percaya diri untuk tampil, kesadaran tampil bersih dan rapi masih kurang, dan pemalas. Dengan melakukan pendekatan menganggap mereka layaknya adik sendiri, mereka akhirnya bersedia membuka diri, mulai berani bercerita dan bercengkerama dengan saya. Memanfaatkan kedekatan itulah perlahan-lahan memberi mereka masukan dan memberi sedikit pujian ketika mereka mau dan berhasil melakukan apa yang saya sarankan. Sebagai contoh seorang siswa kelas 2 bernama Aldo (Yohanes Alfredo Seran Tukan), dia adalah seorang sulung dari 4 bersaudara. Keberadaan ketiga adiknya yang masih kecil-kecil membuat dia kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Di sekolah, dia selalu terlihat minder dan pendiam, karena ia selalu diejek teman-temannya bahwa ia adalah murid paling bodoh di kelas. Ketika istirahat, saya sering duduk-duduk di bawah pohon ketapang di sekolah sambil menemani anak-anak bermain, sesekali saya ajari juga mereka beberapa permainan tradisional Jawa. Kerap kali saya memanggil Aldo untuk ikut bergabung, Aldogino adalah panggilan kesayangan saya untuknya.   “Aldo, mai lai “ (Aldo, mari sini), saya pun sembari melambaikan tangan ke arahnya. Dia pun datang, saya bilang “Ou la tuir oan sia basa bola nak sa Aldo ?” (kamu tidak ikut bermain kasti kenapa Aldo ?). Dia menjawab “hau bele hai e Ibu “ (saya tidak bisa e Ibu). Kemudian saya pun mengajaknya ikut bermain dengan anak-anak yang lain, “Ibu hanorin ou, bele to ?” (Ibu ajari kamu, mau ya ?), dia pun mengangguk dan akhirnya saya pun masuk dan ikut bermain dengan mereka, saya satu tim dengan Aldo supaya bisa sembari memberi arahan kepadanya. Dia pun senang dan bisa tertawa lepas walau kadang pukulannya meleset, tetapi saya selalu bilang “ soin Aldo, malai sa !” (tidak apa-apa Aldo, lari saja !). Seiring berjalannya waktu, dia mulai percaya diri ikut teman-temannya bermain tanpa ditemani saya, bahkan kini dia sering bilang “ Ibu marai hau e “ (Ibu lihat saya e), dia meminta saya melihat aksinya memukul bola bermain kasti, saya pun bilang “hou, basa ma diak e “ (ya, pukul yang baik e ).
Untuk pembelajaran di kelas, semenjak saya membawa laptop dan HP, menunjukkan mereka beberapa video pembelajaran, ternyata Aldo memiliki ingatan dan daya tangkap yang baik. Ketika video-video tersebut saya tutup dan saya kembali bertanya kepada anak-anak, Aldo lah yang sering mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan saya dengan benar, untuk matematika dia jagonya. Kelemahan yang dimiliki Aldo ternyata dalam hal membaca dan menulis. Dengan sering memberikan pekerjaan rumah dan harus dikerjakan (jika tidak dikerjakan akan menerima sanksi dari saya) kemampuan menulisnya mulai meningkat bahkan dia sudah mampu bersaing dengan teman-temannya yang lain, hanya kadang kala dia masih sering lupa jika membaca di tengah-tengah kata terdapat huruf mati (ny, ng). Pada saat pembagian raport semester 2 ternyata dia bisa menempati posisi ke-3 dari jumlah siswa kelas 2 sebanyak 5 orang. Ternyata guru-guru yang lain sering memperhatikan kedekatan saya dengan anak-anak. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka akan meniru apa yang saya lakukan. Setelah diterapkan alhamdulillah ternyata anak-anak mau menuruti apa yang diperintahkan oleh guru tanpa mendapatkan kekerasan fisik dari bapak ibu guru.
            Masalah kerapian dan kebersihan berangsur-angsur membaik . bermula dari tindakan saya yang mungkin sedikit keterlaluan, memandikan salah seorang murid yang tidak pernah mandi ketika berangkat sekolah di kamar mandi sekolah. Akhirnya anak-anak yang lain pun takut dan mandi terlebih dahulu ketika mau berangkat ke sekolah.
Setiap hari saya ditemani guru piket mengecek kerapian berpakaian dan kebersihan kuku siswa, dan akhirnya kini mereka terlihat bersih dan rapi ketika bersekolah. Bapak kepsek mengatakan bahwa “semua akan terlihat indah pada waktunya”, seperti keadaan sekolah yang terlihat indah setelah ditanami tanaman “Rindang Malaka”, sebuah program dari Dinas PKPO untuk menanam tanaman jeruk, mangga, nangka, pisang, sirih daun, sirih buah, dan pinang di pekarangan sekolah.
            Semenjak ada program “Rindang Malaka” para siswa dan orang tua bahu membahu menanam tanaman dan membuat pagar untuk melindungi kebun sekolah dari serangan babi dan sapi, bahkan mereka juga menanam beberapa tanaman lainnya seperti kacang tanah, nanas, jagung, ubi dan talas yang hasilnya dalam waktu dekat bisa dinikmati warga sekolah. Sebuah gotong royong yang luar biasa dan belum pernah saya temukan di daderah mana pun sebelumnya.
            Terima kasih banyak untuk satu tahun yang luar biasa, teruntuk dusun Numbei dan program SM-3T karena telah memberikan pengalaman hidup yang sangat berharga bagi saya. Satu tahun yang mengubah saya menjadi tambah dewasa. Karena disinilah saya bisa belajar banyak pengalaman baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Numbei adalah tempat dimana pertama kalinya saya mampu bertahan di tengah keterbatasan, satu tahun hidup tanpa listrik, sinyal sangat sulit didapatkan, kemana-mana jalan kaki menyeberang kali yang airnya setinggi mata kaki sampai badan tak terlihat lagi (banjir), ketika sungai tidak memungkinkan untuk diseberangi harus jalan kaki lebih jauh lagi mendaki bukit Kateri, berkelana di hutan untuk mencari kayu bakar dan yang paling berkesan adalah saya mendapat kesempatan untuk belajar membuat kain tenun dimana tenun adalah salah satu warisan budaya kebanggan Indonesia.
            Pesan untuk adik-adik kesayangan Ibu Leli, “teruslah bersekolah menuntut ilmu, kejar dan gapai mimpi adik-adik, jangan mudah menyerah karena kesuksesan berjalan menanjak, dan tanpa usaha, kerja keras serta doa sukses hanyalah bayang semu”.




           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar