Translate

Minggu, 20 Agustus 2017

Bersama Menggapai Cita




Oleh: Ahmad Subhanarrijal, S.Pd




SM-3T, SM-3T dikau gagah berani…
SM-3T, SM-3T semangat jiwa merah putih…
Lirik dari lagu yang ku dengar saat masih menjalani prakondisi di Akademi Angkatan Udara (AAU) ini masih terngiang dalam pikiran. Lagu yang terus mendorongku maju saat semangat ini mulai kendur. Mengikuti program SM-3T KEMENDIKBUD adalah salah satu hal terbaik yang pernah ku lakukan. Program SM-3T merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Perjuanganku dimulai di awal musim penghujan tahun lalu. Di bulan Juni 2016, setelah melewati berbagai tes yang menurutku tidaklah mudah, akhirnya aku menjadi salah satu peserta SM-3T dari LPTK UNY. Sebelum mengabdi di daerah 3T, aku dan juga semua peserta SM-3T mengikuti prakondisi selama 17 hari di AAU Yogyakarta. Di sana, aku dan juga teman-teman dibekali ilmu kesehatan, kepramukaan, jelajah medan, dan survival.
Dini hari, tepatnya pada pukul 04.30 WIB tanggal 4 September 2016, aku berangkat. Perjalanan dimulai dari lapangan terbang di salah satu bandara di Yogyakarta, menuju Nusa Tenggara Timur. Perjalanan udara ditempuh selama 6 jam, sesampainya di bandara El Tari Kupang aku masih harus menempuh perjalanan selama 4 jam menuju lokasi penempatan. Akses jalan yang sulit dan juga kendaraan yang digunakan adalah kendaraan umum sehingga memerlukan waktu tempuh yang cukup lama. Perjalanan jauh yang juga melelahkan akhirnya mengantarkanku di desa Tafuli, kecamatan Rinhat, kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Desa Tafuli adalah desa penjahat. Adalah hal pertama yang ku dengar saat sampai di desa Tafuli. Namun, bagiku tak begitu karena saat sampai di desa, aku disambut dengan penuh kehangatan, dengan keramahan warga dan rasa saling menghormati antar warga terlebih pada seorang pendidik. Lingkungan desa Tafuli sangatlah asri, pegunungan serta bukit-bukit hijau, dan juga aliran sungai yang menyejukkan dapat memanjakan setiap mata yang memandangnya. Saat malam, keindahan itu memang tak terlihat, namun taburan bintang di antara tirai malam merupakan pemandangan luar biasa bagiku, dan saat itulah aku bisa lebih bersyukur atas karunia yang Tuhan berikan padaku.
Desa Tafuli. Desa yang akan menjadi tempat tinggalku selama satu tahun ke depan. Meskipun listrik belum menyentuh desa ini, sumber air yang sulit dijangkau, akses jalan yang kurang baik, dan sulitnya jaringan telepon, semua itu tak menyurutkan niatku untuk ikut berusaha memperbaiki pendidikan di Indonesia, khususnya di desa Tafuli. Desa Tafuli memiliki sumber air bersih, namun jarak sumber air dengan lingkungan masyarakat tidaklah dekat, oleh karena itu aku harus bangun lebih pagi untuk mengambil air. Lampu sehen merupakan solusi dari permasalahan listrik di desa yang memanfaatkan tenaga surya.
Tugas pertama ku saat sampai di desa Tafuli adalah menyesuaikan diri dengan masyarakat dan juga lingkungan sekitar, karena mayoritas penduduk desa Tafuli beragama Katholik dan Protestan. Menjadi minoritas di sini bukanlah hal yang berat karena toleransi antar umat beragama sangat tinggi. Jadi, tidak ada hambatan bagiku untuk melaksanakan ibadah. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, bahkan untuk bersosialisasi dengan warga sekitar pun menurutku tidaklah sulit.

Hari rabu adalah hari pertama ku berangkat ke sekolah. Bertemu dengan rekan-rekan guru dan para siswa di SDI Oninitas untuk yang pertama kalinya. Aku datang pukul 07.00 WITA namun suasana sekolah terlalu sepi bagiku. Apakah semua murid belum datang? Atau apakah jumlah mereka hanya segini?, pertanyaan itu berputar di otakku saat pertama kali aku sampai di sekolah tempatku mengabdi. Pukul 7 pagi, di hari rabu yang cerah, pertama kalinya aku berangkat untuk mengabdi sebagai pendidik di SDI Oninitas, desa Tafuli. Jelas saja pertanyaan itu muncul tanpa aba-aba, karena saat ku hitung, jumlah siswa yang datang ke sekolah hanya 12. “Berapa jumlah murid di sekolah ini? Kenapa yang datang hanya 12 siswa?” tanyaku pada seorang guru di sekolah ini, “jumlahnya 84 siswa. Hari ini akan diadakan penyuluhan mengenai kesehatan oleh petugas kesehatan, siswa di sini belum terlalu memahami tentang penyuluhan ini, mereka berpikir jika ada petugas kesehatan yang datang ke sekolah hanya untuk menyuntik mereka”, tutur seorang guru yang memaparkan keadaan saat ini.
Ya, kurangnya pengetahuan dan pengalaman membuat mereka hanya berpikir satu arah. Sebaiknya siswa dan juga orang tua diberi pengarahan mengenai hal ini, agar kejadian seperti ini tidak lagi terulang, namun kesadaran dari masing-masing pihak masih sangatlah kurang. Kesadaran masyarakat sekitar akan pendidikan pun masih minim, anak-anak lebih memilih ke kebun untuk membantu orang tuanya atau menggembalakan sapi daripada menuntut ilmu di sekolah. Selain itu, kehadiran para pengajar pun seringkali absen, hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti medan ke sekolah yang sangat sulit, tidak adanya kendaraan umum yang melewati sekolah, ditambah lagi tidak tersedianya mes guru. Tidak semua guru berasal dari desa Tafuli, oleh karena itu mereka yang rumahnya berjarak cukup jauh dari sekolah, setiap harinya harus menempuh jarak yang jauh menggunakan ojek. Ongkos yang dikeluarkan pun tidaklah sedikit, setidaknya mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp 100.000,- untuk sekali jalan, jadi dalam sehari jika ingin berangkat dan pulang dari sekolah, guru yang menggunakan ojek harus mengeluarkan uang sebesar Rp 200.000,-. Karena faktor-faktor itulah, setiap harinya tidak semua guru dapat hadir di sekolah.
Di sekolah juga tidak ditemukan adanya bangunan perpustakaan, padahal perpustakaan adalah perantara penting bagi siswa untuk membuka cakrawalanya dengan membaca. Buku-buku yang tersedia di sekolah pun jumlahnya terbatas, hal ini membuat motivasi membaca siswa menurun. Penyediaan buku yang lengkap merupakan salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan kehadiran guru di sekolah.
Buku saku elektronik yang ku miliki menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan jumlah buku pelajaran. Selain dengan buku saku elektronik, untuk menunjang pembelajaran di dalam kelas, aku juga memanfaatkan media pembelajaran yang ada di lingkungan sekolah. Pembelajaran dengan memanfaatkan media, ternyata dapat mempercepat pemahaman siswa dalam memahami materi pelajaran.
Sarana lain yang tidak ada yaitu toilet bersih, meskipun toilet bukan merupakan kebutuhan primer di sekolah tetapi ketidak tersediaan toilet terkadang mengganggu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Ketika salah satu murid meminta ijin untuk ke toilet, mereka harus berjalan jauh terlebih dahulu sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali ke kelas. Perhatian yang kurang dari dinas terkait membuat pengajuan pembangunan gedung perpustakaan dan toilet tidak pernah terealisasi.
Tugasku sebagai peserta SM-3T tidak hanya sebagai observer yang mengamati permasalahan pendidikan di daerah 3T, tetapi semaksimal mungkin berusaha untuk berpartisipasi meningkatkan kualitas pendidikan di daerah 3T agar program pemerataan pendidikan di Indonesia dapat terwujud. Kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak di desa Tafuli membuatku terus melakukan sosialisasi kepada para orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi masyarakat di Indonesia, khususnya anak-anak di desa Tafuli. Sosialisasi ini dilaksanakan dengan harapan di masa yang akan datang, para orang tua akan lebih peduli dengan kebutuhan pendidikan anak.
Selain dengan mensosialisasikan pentingnya pendidikan bagi anak pada orang tua, aku juga berusaha membangkitkan semangat belajar dan semangat anak-anak untuk berangkat ke sekolah dengan cara menjemput mereka untuk berangkat ke sekolah setiap paginya. Dengan cara seperti ini, anak-anak akan merasa bahwa mereka diperhatikan oleh guru dan kedatangan mereka sangatlah diharapkan oleh para guru. Terbukti, cara ini memiliki dampak tersendiri yaitu meningkatnya jumlah kehadiran siswa di sekolah.
Rasa rindu akan keluarga dan orang-orang yang dikasihi pasti ada, tapi itu semua tak akan lama. Hanya setahun, lalu rindu itu akan segera tergenapi. Tugasku adalah mengabdi untuk negeri, berusaha memajukan pendidikan di Indonesia di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tidak ada rintangan maupun halangan yang berarti selama masa pengabdian, semuanya bisa aku lewati dengan baik.
Melihat siswa di sini rajin berangkat ke sekolah pun sudah membuatku sangat bahagia, mereka punya semangat belajar yang tinggi, hanya saja kurangnya fasilitas yang memadai membuat mereka berangsur mundur dan kurang peduli akan pendidikan. Semoga saja dengan kehadiranku dapat menambah semangat dan motivasi mereka untuk lebih giat belajar, keberadaanku dapat membantu mereka untuk menggapai cita-cita yang mungkin selama ini sudah mereka simpan rapat-rapat, aku ingin dengan motivasi yang aku berikan, dapat membuat mereka semangat untuk mengejar masa depan yang lebih baik lagi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar