Oleh:
Ahmad Subhanarrijal, S.Pd
SM-3T, SM-3T dikau gagah berani…
SM-3T, SM-3T semangat jiwa merah putih…
Lirik dari lagu yang ku dengar saat masih menjalani prakondisi di Akademi
Angkatan Udara (AAU) ini masih terngiang dalam pikiran. Lagu yang terus
mendorongku maju saat semangat ini mulai kendur. Mengikuti program SM-3T KEMENDIKBUD adalah
salah satu hal terbaik yang pernah ku lakukan. Program SM-3T merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia khususnya
di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Perjuanganku dimulai di awal musim penghujan tahun lalu. Di bulan Juni
2016, setelah melewati berbagai tes yang menurutku tidaklah mudah, akhirnya aku
menjadi salah satu peserta SM-3T dari LPTK UNY. Sebelum mengabdi di daerah 3T,
aku dan juga semua peserta SM-3T mengikuti prakondisi selama 17 hari di AAU
Yogyakarta. Di sana, aku dan juga teman-teman dibekali ilmu kesehatan,
kepramukaan, jelajah medan, dan survival.
Dini hari, tepatnya pada pukul 04.30 WIB tanggal 4 September 2016, aku berangkat. Perjalanan
dimulai dari lapangan terbang di salah satu bandara di Yogyakarta, menuju Nusa
Tenggara Timur. Perjalanan udara ditempuh selama 6 jam, sesampainya di bandara El Tari Kupang aku masih
harus menempuh perjalanan selama
4 jam menuju lokasi penempatan. Akses jalan yang sulit dan juga kendaraan yang digunakan adalah kendaraan
umum sehingga memerlukan waktu tempuh yang cukup lama. Perjalanan jauh yang juga melelahkan
akhirnya mengantarkanku di desa Tafuli, kecamatan Rinhat, kabupaten Malaka,
Nusa Tenggara Timur.
Desa Tafuli adalah desa penjahat. Adalah hal pertama yang ku dengar saat
sampai di desa Tafuli. Namun, bagiku tak begitu karena saat sampai di desa, aku
disambut dengan penuh kehangatan, dengan keramahan warga dan rasa saling
menghormati antar warga terlebih pada seorang pendidik. Lingkungan desa Tafuli
sangatlah asri, pegunungan serta bukit-bukit hijau, dan juga aliran sungai yang
menyejukkan dapat memanjakan setiap mata yang memandangnya. Saat malam,
keindahan itu memang tak terlihat, namun taburan bintang di antara tirai malam
merupakan pemandangan luar biasa bagiku, dan saat itulah aku bisa lebih
bersyukur atas karunia yang Tuhan berikan padaku.
Desa Tafuli. Desa yang akan menjadi tempat tinggalku selama satu tahun ke
depan. Meskipun listrik belum menyentuh desa ini, sumber air yang sulit
dijangkau, akses jalan yang kurang baik, dan sulitnya jaringan telepon, semua
itu tak menyurutkan niatku untuk ikut berusaha memperbaiki pendidikan di Indonesia,
khususnya di desa Tafuli. Desa
Tafuli memiliki sumber air bersih, namun jarak sumber air dengan lingkungan
masyarakat tidaklah dekat, oleh karena itu aku harus bangun lebih pagi untuk
mengambil air. Lampu
sehen merupakan solusi dari permasalahan listrik di desa yang memanfaatkan
tenaga surya.
Tugas pertama ku saat sampai di desa Tafuli adalah menyesuaikan diri
dengan masyarakat dan juga lingkungan sekitar, karena mayoritas penduduk desa
Tafuli beragama Katholik dan Protestan. Menjadi minoritas di sini bukanlah hal yang berat karena toleransi
antar umat beragama sangat tinggi. Jadi, tidak ada hambatan bagiku untuk
melaksanakan ibadah. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, aku sudah
bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, bahkan untuk bersosialisasi
dengan warga sekitar pun menurutku tidaklah sulit.
Hari rabu adalah hari
pertama ku berangkat ke sekolah. Bertemu dengan rekan-rekan guru dan para siswa
di SDI Oninitas untuk yang pertama kalinya. Aku datang pukul 07.00 WITA namun
suasana sekolah terlalu sepi bagiku. Apakah
semua murid belum datang? Atau apakah jumlah mereka hanya segini?,
pertanyaan itu berputar di otakku saat pertama kali aku sampai di sekolah
tempatku mengabdi. Pukul 7 pagi, di hari rabu yang cerah, pertama kalinya aku
berangkat untuk mengabdi sebagai pendidik di SDI Oninitas, desa Tafuli. Jelas
saja pertanyaan itu muncul tanpa aba-aba, karena saat ku hitung, jumlah siswa
yang datang ke sekolah hanya 12. “Berapa
jumlah murid di sekolah ini? Kenapa yang datang hanya 12 siswa?” tanyaku pada
seorang guru di sekolah ini, “jumlahnya 84 siswa. Hari ini akan diadakan
penyuluhan mengenai kesehatan oleh petugas kesehatan, siswa di sini belum
terlalu memahami tentang penyuluhan ini, mereka berpikir jika ada petugas
kesehatan yang datang ke sekolah hanya untuk menyuntik mereka”, tutur seorang
guru yang memaparkan keadaan saat ini.
Ya, kurangnya pengetahuan dan pengalaman membuat mereka hanya berpikir
satu arah. Sebaiknya siswa dan juga orang tua diberi pengarahan mengenai hal
ini, agar kejadian seperti ini tidak lagi terulang, namun kesadaran dari
masing-masing pihak masih sangatlah kurang. Kesadaran masyarakat sekitar akan
pendidikan pun masih minim, anak-anak
lebih memilih ke kebun untuk membantu orang tuanya atau menggembalakan sapi daripada menuntut
ilmu di sekolah. Selain
itu, kehadiran para pengajar pun seringkali absen, hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti medan ke sekolah yang
sangat sulit, tidak adanya kendaraan umum yang melewati sekolah, ditambah lagi tidak tersedianya
mes guru. Tidak semua guru berasal dari desa Tafuli, oleh karena itu
mereka yang rumahnya berjarak cukup jauh dari sekolah, setiap harinya harus
menempuh jarak yang jauh menggunakan ojek. Ongkos yang dikeluarkan pun tidaklah
sedikit, setidaknya mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp 100.000,- untuk
sekali jalan, jadi dalam sehari jika ingin berangkat dan pulang dari sekolah,
guru yang menggunakan ojek harus mengeluarkan uang sebesar Rp 200.000,-. Karena
faktor-faktor itulah, setiap harinya tidak semua guru dapat hadir di sekolah.
Di sekolah juga tidak ditemukan adanya bangunan perpustakaan, padahal
perpustakaan adalah perantara penting bagi siswa untuk membuka cakrawalanya
dengan membaca. Buku-buku yang
tersedia di sekolah pun jumlahnya terbatas, hal ini membuat motivasi membaca siswa
menurun. Penyediaan
buku yang lengkap merupakan
salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan kehadiran guru di sekolah.
Buku
saku elektronik yang ku miliki menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan
jumlah buku pelajaran. Selain dengan buku saku elektronik, untuk menunjang
pembelajaran di dalam kelas, aku juga memanfaatkan media pembelajaran yang ada
di lingkungan sekolah.
Pembelajaran dengan memanfaatkan media, ternyata dapat mempercepat pemahaman
siswa dalam memahami materi pelajaran.
Sarana lain yang tidak
ada yaitu toilet bersih, meskipun toilet bukan merupakan kebutuhan primer di sekolah
tetapi ketidak tersediaan toilet terkadang mengganggu kegiatan belajar mengajar
di sekolah. Ketika salah satu murid meminta ijin untuk ke toilet, mereka harus berjalan jauh
terlebih dahulu sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali ke
kelas. Perhatian yang kurang dari dinas terkait membuat pengajuan pembangunan
gedung perpustakaan dan toilet tidak pernah
terealisasi.
Tugasku sebagai peserta SM-3T
tidak hanya sebagai observer yang mengamati permasalahan pendidikan di daerah 3T, tetapi semaksimal mungkin berusaha untuk
berpartisipasi meningkatkan kualitas pendidikan di daerah 3T agar program
pemerataan pendidikan di Indonesia dapat terwujud. Kurangnya
perhatian orang tua terhadap pendidikan anak di desa Tafuli membuatku terus
melakukan sosialisasi kepada para orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi
masyarakat di Indonesia, khususnya anak-anak di desa Tafuli. Sosialisasi ini
dilaksanakan dengan harapan di masa yang akan datang, para orang tua akan lebih
peduli dengan kebutuhan pendidikan anak.
Selain dengan mensosialisasikan pentingnya pendidikan bagi anak pada
orang tua, aku juga berusaha membangkitkan semangat belajar dan semangat
anak-anak untuk berangkat ke sekolah dengan cara menjemput mereka untuk
berangkat ke sekolah setiap
paginya. Dengan cara seperti ini, anak-anak akan merasa bahwa mereka
diperhatikan oleh guru dan kedatangan mereka sangatlah diharapkan oleh para
guru. Terbukti, cara ini
memiliki dampak tersendiri yaitu meningkatnya jumlah kehadiran siswa di sekolah.
Rasa rindu akan keluarga
dan orang-orang yang dikasihi pasti ada, tapi itu semua tak akan lama. Hanya
setahun, lalu rindu itu akan segera tergenapi. Tugasku adalah mengabdi untuk
negeri, berusaha memajukan pendidikan di Indonesia di daerah terdepan, terluar,
dan tertinggal. Tidak ada rintangan maupun halangan yang berarti selama masa
pengabdian, semuanya bisa aku lewati dengan baik.
Melihat siswa di sini
rajin berangkat ke sekolah pun sudah membuatku sangat bahagia, mereka punya
semangat belajar yang tinggi, hanya saja kurangnya fasilitas yang memadai
membuat mereka berangsur mundur dan kurang peduli akan pendidikan. Semoga saja
dengan kehadiranku dapat menambah semangat dan motivasi mereka untuk lebih giat
belajar, keberadaanku dapat membantu mereka untuk menggapai cita-cita yang
mungkin selama ini sudah mereka simpan rapat-rapat, aku ingin dengan motivasi
yang aku berikan, dapat membuat mereka semangat untuk mengejar masa depan yang
lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar