Tanpa terasa, waktu pengabdian ini
cepat berlalu ditanah perbatasan. Saya masih teringat saat berpamitan kepada ibu saya untuk ikut berkontribusi menjadi Guru di
daerah terpencil. Program itu bernama
Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T). Program
tersebut merupakan sebuah jalur pengabdian yang digagas oleh Kemdikubud.
Program tersebut merupakan salah satu upaya dari pemerintah untuk pemerataan
pendidikan di Indonesia,karena selama
ini salah satu masalah pendidikan di
Indonesia adalah distribusi guru yang
belum merata. Apalagi di daerah terpencil yang masih banyak relative tertinggal
karena berbagai faktor. Oleh karena itu pemerintah memanggil para sarjana
kependidikan untuk ikut dalam mensuksekan program tersebut. Saat itu, saya
merupakan lulusan sarjana yang baru menyelesaikan studi saya, hati saya
tergerak ketika program SM-3T dibuka pendaftaran, dan dimulailah perjalanan
baru hidup saya ditanah perantuan.
Saya berangkat bersama 52 rekan-rekan
yang ditempatkan di kabupaten Malaka, perbatasan antara Indonesia- Timor Leste.
Saat kami berangkat dengan jalur udara dari Jogja, tibalah kami dikota kupang, yang
merupakan ibukota Provinsi NTT. Kami disambut oleh keramaian kota kupang
beserta iklim suhunya yang panas, tetapi tak menyurutkan niat kami untuk
mengabdi menjadi guru ditanah perbatasan. Kami tiba dikota Betun setelah
melakukan perjalanan menggunakan mobil yang mengantar kami dari kupang menuju
kabupaten Malaka. Betun merupakan ibu kota dari Kabupaten Malaka. Kami menginap
dihotel untuk beristirahat sejenak, karena pagi, kami menuju kantor bupati
untuk menerima pembagian tempat tugas kami. Tibalah waktu pagi, kami berangkat
menuju kantor bupati. Hari itu suasana agak ramai di kantor bupati, karena
ternyata Bupati mengundang seluruh kepala sekolah yang mendapat jatah untuk
menerima guru SM-3T. Penyambutan kamipun
segera mulai disusul pengumumuman pembagian tempat tugas kami dan saya mendapat
tempat mengabdi disebuah sekolah yang bernama SDI Fatukro. Saya dijemput oleh
kepala sekolah saya yang bernama Bapak Laurensius Kore dan tinggal dirumahnya.
Hari itu saya berkenalan dengan
keluarga kepala sekolah saya, dan banyak berecerita tentang daerah sini beserta
adat istiadatnya. Haripun berganti. Saya bergegas untuk berangkat ke sekolah.
Di sana, saya melihat anak-anak SD yang sedang
berangkat berjalan kaki menuju ke sekolah. Setelah saya tiba disekolah,
anak-anak banyak yang masih memandang saya dengan muka asing. Saya segera
berkenalan dengan guru-guru yang mengajar di SDI Fatukro, dan juga berkenalan
dengan murid-murid SDI Fatukro. Saya tinggal beberapa hari dengan kepala
sekolah saya dan memutuskan untuk mencari kos agar dapat lebih mandiri dan
tidak bergantung kepada orang lain. Setelah saya mencari-cari tempat kos, akhirnya,
saya menemukan tempat kos yang berada dikota kecamatan sehingga saya tidak
terlalu mengalami kesusahan dalam mencari makan karena tedapat warung makan
didekat tempat tinggal saya yang baru. Setelah mendapatkan tempa kos, saya
berpamitan kepada keluarga Bapak Laurensius untuk menempati kos. Saya tinggal
bersama salah satu rekan guru SM-3t yang kebetulan juga mengajar di SMA dan
dekat dengan tepat tinggal kami. Jadi, kami tinggal berdua di kos tersebut. Tempat
tinggal kami sangat nyaman karena sudah ada listrik, sinyal dan air melimpah
sehingga kami selama tinggal disini tidak telalu mengalami kesusahan.
Hari-hari pertama setelah tidak
tinggal bersama bapak kepala sekolah, saya berangkat dengan menaiki angkutan
pick up. Orang disana menyebut dengan “otto” kendaraan yang memiliki lebih dari
3 roda. Setelah naik otto,saya melanjutkan perjalanan menuju sekolah
dengan berjalan kaki karena otto
tidak masuk sekolah saya. Perjalanan tidak terlalu jauh namun cukup menguras
tenaga karena jalanan agak sedikit mendaki bukit. Saya disana mengajar sebagai
guru mata pelajaran Penjaskes. Ketika saya mengajar, saya sangat bersemangat
karena murid-murid saya sangat suka dengan pelajaran Pendidikan Jasmani. Jumlah
guru disekolah saya termasuk dalam kategori cukup, sehingga pembelajaran dapat
berjalan dengan optimal. Selain sebagai guru penjaskes, saya juga
menyelanggarakan ekstrakurikuler Pramuka sehingga saya menjadi pembina pramuka
disana. Setiap berangkat sekolah, saya harus menempuh perjalanan yang cukup
jauh sehingga saya memakai kendaraan transportasi untuk berangkat menuju
kesekolah. Saya termasuk cukup beruntung karena mendapat pinjaman motor dinas
dari Bapak Laurensius yang juga merupakan kepala sekolah saya dan bapak asuh
saya selama tinggal di Malaka. Sehari-hari, saya berangkat sekolah dan banyak
anak murid saya yang berjalan kaki. Ketika melihat saya, mereka berlari
mengiringi kendaraan saya untuk bersama-sama menuju sekolah, begitu besar
semangat mereka membuat saya semakin membuat saya termotivasi untuk mengajar
dengan sebaik-baiknya.
Saya mengalami banyak pengalaman
selama menjadi guru di sini tentang keberagaman Indonesia dan baik budaya
adat,suku dan agama. Disini, saya banyak mengenal tentang adat istidat daerah
setempat yang masih menjunjung adat dan melestarikannya sehingga itu membuat
saya bangga akan Indonesia yang sesungguhnya yang kaya akan keanakeragamannya.
Disini, saya juga banyak mengalami suka dan duka. Salah satu sukanya yaitu mandi
disungai yang airnya masih jernih, maklum sungai disini dijaga kebersihannya
karena merupakan salah satu sumber kehidupan pokok, mengingat, disini air
sangat susah didapat kecuali disungai. Topografi perbukitan membuat air sangat
sulit didapat, sehingga sore hari, masyarakatbanyak yang datang kesungai untuk
mecukupi berbagai keperluan mereka dari mandi dan menimba air untuk dimasak
menjadi air minum. Itu semua merupakan pengalaman baru yang jarang saya temui
di Jawa. Begitu juga dengan dukanya, di sini, saya yang beragama muslim sangat
sulit untuk beribadah di Masjid, karena kalau ke Masjid saya harus turun dan
pergi ke kota. Jadi, setiap Jumat, saya turun ke kota untuk melakukan ibadah
salat Jumat diMasjid. Toleransi menghargai antar-umat beragam di sini sangat
baik, karena setiap jumat kami yang muslim diberi jadwal libur untuk ibadah
sehingga kami biasa gunakan untuk ibadah dan juga membeli kebutuhan pokok
selama dipenempatan tugas.
Sudah hampir setahun ini, saya
menjalin pengabdian di Malaka. Sebuah pengabdian untuk ikut terjun dalam upaya
untuk mencerdaskan bangsa. Saya sangat bangga dapat bergabung dengan program
tersebut sebuah pengabdian yang tentu tidak semua orang dapat merasakannya.
Saya berharap kepada pemerntah bahawa program ini sebaiknya tetap dipertahankan
dan dilanjutkan karena program tersbut sangat membantu dalam mengatasi
kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia karena distribusi guru yag
kurang merata di Indonesia. (Yanu)
Editor : Harnum Kurniawati & Bangkit Bagas Widodo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar