Translate

Selasa, 01 Agustus 2017

Jadilah Seorang Guru Bukan Pelatih Tinju







Babotin selatan, Kecamatan Botin Leobele, Kabupaten Malaka, NTT merupakan suatu tempat yang sama sekali belum pernah saya dengar danimpikan sebelumnya. “Ah ternyata saya su (sudah) sampai di negeri timor”.Rasaseperti mimpi berada di negeri ini.Tempat tandus, terbatas, penuh perjuangan, dan tempat keluh kesah harus ditiadakan. Mengeluh tidak ada gunanya karena saya sudah sampai di sini di tanah timor.
“SD Inpres Sesurai, babotin selatan, Botin Leobele”
Di tanah timor, mereka memanggilku Ibu Iffa. Panggilan ini begitu asing di telinga, karena ini pertama kali saya dipanggil dengan panggilan Iffa. Menurut mereka, nama Afifah cukup sulit diucapkan,sehingga mereka memanggil saya Ibu Iffa. Mengajar dan mendidik merupakan tugas utama saya sebagai guru di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Mengajar di daerah 3T tidaklah semudah yang dibayangkan karena harus mengajar dengan keterbatasan tanpa adanya fasilitas penunjang pembelajaran.
Pagi di sini terasa seperti siang, karena udara mencapai 350C. Suhu ini sangat terik dan sangat panas. Seperti biasanya, saya mulai pembelajaran matematika di kelas 5. Seperti hari-hari biasa, siswa yang datang hanya beberapa anak saja. Siswa di tanah timor adalah siswa-siswa yang sangat istimewa. Bagaimana tidak, jika siswa-siswa di tanah jawa tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk menyampaikan suatu materi dalam pembelajaran yaitu cukup satu kali atau dua kali saja mereka sudah mengerti maka di sini, tanah timor,saya harus mengulang-ulang materi yang saya sampaikan saat pembelajaran. Sampai mulut berbusapun mereka belum mampu menangkap apa yang saya samapikan. “Su paham belum”, kalimat itu terlontar setiap kali usai menjalaskan. Jawaban mereka tetap sama yaitu belum ibu.“Baik, Ibu akan jelaskan sekali lagi, sekali lagi, lagi dan lagi”. Saya mengulang lagi materi yang telah saya sampaikan. Rasa kesal sering kali muncul karena saya harus berkali–kali menjelaskan tetapi mereka tetap saja belum bisa. Hari ini perhatian saya tertuju pada satu siswa yang selalu datang terlambat karena jarak rumah menuju sekolah cukup jauh. Akan tetapi, dia selalu datang di setiap mata pelajaran yang saya ajarkan. Namanya Frida Sinak Seran. Ia gadis kecil yang lucu dan pemalu. Saya selalu tersenyum melihatnya. Yah! Bagaimana tidak, gadis kecil yang pemalu selalu jadi bahan tertawaan teman-teman sekelasnya karena suaranya selalu terbata-bata setiap kali menjawab pertanyaan yang saya ajukan.
Berbeda dengan hari-hari biasa, hari ini saya dibuat kesal oleh Rida. Rasa kesal ini muncul ketika saya menjelaskan materi dandia tersibukmenulis sendiri saat siswa yang lain memperhatikan saya.
“Rida simpan dulu bolpoinnya”
“Rida simpan dulu bolpoinnya”
“Rida simpan dulu bolpoinnya” Akan tetapi, suara saya tidak dipedulikan olehnya sama sekali. Seketika, saya menghampiri Rida dan meminta buku yang ada di depannya. Dia tidak mau memberikan bukunya kepada saya. Dengan sedikit kesal karena emosi, saya mengambil buku itu secara paksa.
“Ibu Iffa, Rida belum bisa yang ini”
“Ibu Iffa, Rida belum bisa yang ini”
“Ibu Iffa, Rida belum bisa yang ini”
“Ibu Iffa, Rida belum bisa yang ini”
“Ibu Iffa, Rida belum bisa yang ini”

Rida berkali-kali menuliskan kalimat yang sama dalam beberapa lembar buku tulisnya. “Ibu Iffa, Rida belum bisa yang ini”menuliskan kembali contoh soal yang saya tuliskan di papan tulis. Membaca tulisan Rida, air mata saya hampir menetes. Yah! Saya ini seorang guru tetapi mengapa tidak sabar dan tidak telaten dalam menghadapi anak didik saya dengan karakter yang berbeda. Saya hanya menuntut mereka untuk cepat bisa dengan hasil yang terbaik dalam waktu yang cepat tanpa adanya proses. Mereka memang berbeda, tetapi bukan berarti, saya harus menyamakan mereka dengan siswa-siswa pada umumnya. Tugas saya disini hanya mencari cara supaya membuat mereka sama dengan siswa-siswa pada umumnya. 
Sekali lagi, saya teringat kata-kata bapak dosen saat masih mengenyam pendidikan S-1. “Kalian ini bukan pelatih tinju tetapi kalian seorang guru.” Seorang pelatih tinju mampumenghasilkan seorang petinju yang hebat hanya dengan beberapa kali berlatih tinju dengan pelatihnya. Berbeda dengan guru kalian harus telaten, sabar, ikhlas, dan, tahan banting. Sekali-kali jangan menuntut hasil terbaik, hal yang terpenting adalah bagaimana menghargai setiap proses demi prosesnya untuk mencapai hasil terbaik
“Jangan jadi pelatih tinju, jadilah seorang guru”.
Seorang guru harus mempunyai sejuta taktik untuk mengubah peserta didik dari belum tahu menjadi berpengetahuan, mengubah peserta didik dari belum bisa menjadi bisa, mengubah peserta didik dari belum terdidik menjadi berpendidikan. Semuanya tidak dapat terjadi tanpa adanya proses, bukan sesuatu yang instan dalam hitungan jari saja. Hari ini saya tersadar bahwa saya belum menjadi seorang guru. Saya masih pada tahap pelatih tinju.Saya kembalikan buku milik Rida dengan beberapa catatan kecil.
“Terima kasih Rida, Ibu akan mengulang kembali sampai Rida bisa”.
Kelas seketika hening berbeda dari biasanya dengan sedikit senyuman dengan nada yang cukup lembut. Saya kumpulkan kekuatan untuk mengulang kembali materi yang telah saya sampaikan untuk kesekian kalinya.
“Su siap ko, untuk belajar”
“Siap ibu”
Saya sudah lewati hari demi hari, bulan demi bulan menjadi pengajar di SD Inpres Sesurai, Babotin selatan, Kecamatan Botin Leobele, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kini tanpa terasa sudah sampai bulan yang kesepuluh, bulan-bulan dipenghujung tugas saya.
“Setiap hari adalah proses pembelajaran”
 Setiap hari adalah proses tarbiyah-Nya Allah dalam ujian sabar dan syukur. Yah! bersabar dalam keterbatasan dan bersyukur kepada Allah memberikan kesempatan untuk sampai di sini, belajar menjadi seorang guru dan membimbing kalian siswa-siswaku. Di sini, saya tak bisa banyak melakukan sesuatu. Melihat kalian rajin berangkat ke sekolah, saya sudah merasa senang. Melihat kalian berjuang mengeja huruf demi huruf sampai menjadi susunan kata dan kalimat yang baiksudah membuat saya senang. Melihat kalian disiplin, dan rapih sudah membuat saya bangga pada kalian. Lagi-lagi bukan hasil terbaik dalam perjuangan kali ini, tetapi penghargaan terbaik untuk setiap proses menuju hasil yang terbaik.
Editor : Harnum Kurniawati & Bangkit Bagas Widodo

                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar