Oleh :Auliya
Annisa, S.Pd
Berawal
dari coba-coba, saya mengikuti program pemerintah bernama SM3T. Tidak disangka
saya lolos dalam program tersebut dan di dalam lembar pengumuman saya
mendapatkan penempatan di kabupaten Malaka. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mencari tahu di
google. Sebelumnya,
dalam hati saya menduga-duga,
Malaka itu salah satu daerah yang berada di dekat Selat Malaka. Setelah saya
mencari-cari,
ternyata Malaka adalah sebuah kabupaten yang baru berkembang sekitar satu tahun
dan merupakan pecahan dari kabupaten Belu. Kabupaten ini berada di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Mayoritas penduduk beragama Katolik. Bahasa yang mereka
gunakan ada tiga bahasa yaitu bahasa Tetun, Dawan dan Bonaq. Makanan pokoknya adalah jagung, sagu, nasi
dan umbi-umbian. Dari informasi tersebut, saya langsungberpikir bahwa saya harus
pergi jauh dari zona nyaman ke suatu kabupaten yang jauh dan disana pasti saya
menjadi minoritas.
Tibalah
hari, saya harus pergi ke daerah penempatan bersama 52 orang lainnya. Kami
pergi dengan perasaan yang hampir sama yaitu perasaan campur aduk antara sedih
dan penasaran. Dengan semangat 55 (moto kami saat menjalankan prakondisi), kami
tiba di kabupaten Malaka. Perjalanan yang kami lalui sekitar dua hari untuk sampai
di kabupaten penempatan. Kami menggunakan dua macam perjalanan yaitu satu hari
perjalanan udara dan satu hari perjalanan darat. Setelah beristirahat semalam
di salah satu Hotel di kabupaten Malaka, kami digiring menuju kantor dinas
dan pemberhentian terakhir yaitu kantor bupati. Satu persatu dari kami
dipanggil untuk mengetahui lokasi riil penempatan kami. Sampailah giliran saya
“Auliya Annisa, program studi Pendidikan Anak Usia Dini tempat di kecamatan
Botin Leobele pengabdian di Paud Alfa kasih Putri.”Tawa renyah terdengar dari para bapak dan ibu
kepala sekolah yang hadir. Tawa tersebut ternyata mengisyaratkan bahwa lokasi
saya lokasi yang susah atau udik
kata orang Malaka.
Saya
didatangi oleh
tiga wanita yang awalnya terlihat seram, tetapi ternyata mereka sangat ramah
dan baik hati.Ketiga wanita itu adalah Mama Maria yang sekarang menjadi mama
asuh saya disini, sedangkan dua lainnya adalah Mama Gonda dan Mama Anas teman
guru saya di Paud Alfa Kasih Putri. Kamipun bercakap-cakap serta saling berkenalan, tetapi kalimat pertama
yang membuat saya shock datang dari
Mama Maria “Kakak,
nanti kita pulang perjalanan 2 jam ya, nanti disana kita tidak ada listrik,
sinyal juga tidak ada di rumah, kita masak pake tungku, hawa disana dingin,
kita tinggal di dekat hutan”. Di pikiran saya langsung terlintas “Wah esoh mati aku neng
kene.”
Akan tetapi,
dengan kalemnya,
saya bilang “Tidak apa-apa ibu, saya sudah siap.” Perjalananpun kami lanjutkan. Perjalanan dari kantor bupati
sampai rumah memang benar
sekitar dua jam lamanya, tetapi
itu tidak membuat saya sedih. Yang membuat saya sedih yaitu jalannya
yang berlubang, batu lepas, tanah licin, naik turun, dan banyak tanah yang
longsor. Selama perjalanan saya shock
‘kaget’ melihat banyak tanah
yang longsor di berbagai titik jalan. Akhirnya, saya tiba dirumah dan baru saja turun dari otto (istilah untuk mobil di Malaka),
saya disambut oleh 9 ekor anjing yang menggonggong bersama. Tanpa disadari, sebuah teriakan keluar dari
mulut saya diikuti oleh langkah kaki yang ngacir‘pergi begitu saja’masuk ke otto lagi. Semua warga sekitar
tertawa melihat tingkah saya dan dengan sabar mereka membujuk saya untuk mau
turun dari otto. Sekarang, yang
masih hidup hanya satu dari sembilan anjing. Sekarang, anjing itu sudah menjadi teman
saya. Teman pergi sekolah, teman pergi jalan-jalan, teman saat makan dan teman
mencari jaringan seluler
di sebuah makam. Anjing itu, saya
berinama Cleo
Tidak
sampai disitu, saya melihat
keluar hanya setitik cahaya terlihat dan yang lainnya peteng ndedet‘gelap sekali’. Sambutan warga yang hangat dan
ramah disekitar rumah itu membuat saya mulai merasakan kenyamanan.
Kemudian, saya
diperkenalkan
kepada
anggota keluarga. Yang
pertama, saya diperkenalkan kepada Bapak Yohanes yang penuh senyum. Kemudian, Kak Kori
menjadi kakak perempuan dan juga teman yang baik. Selanjutnya,kak Remi, nenek Seok, nenek
Fook, bai (sebutan untuk kakek) serta
masih banyak anggota keluarga lainnya. Yang lansung terlintas di pikiran
saya ini adalah
namanya keluarga cemara.
Keesokan
harinya,
saya langsung diajak berangkat ke sekolah. Keluar dari rumah saya dibuat tercengang
oleh pemandangan indah didepan rumah yaitu hutan yang masih diselimuti oleh
kabut tebal. Hanya terlihat samar-samar batang-batang pohon dari mata saya. Di
sepanjang jalan bak melihat barang baru mereka menatap saya dengan tatapan aneh
yang membuat saya merasa rikuh sendiri. Tibalah saya dipaud tempat mengajar
saya. Telihat senyuman manisanak-anak pun mengembang dari pipi mungil mereka,
pipi yang kebanyakan memiliki lesung pipi yang menambah pesona senyuman mereka.
Pembelajaran pun dimulai, tidak afdol jika kami belum kenal satu sama lain,
perkenalanpun terjadi satu persatu anakpun memperkenalkan diri mereka dengan
malu-malu menggunakan bahasa dawan yang saat itu bagi saya bahasa itu adalah
bahasa planet. Yang membuat saya kesulitan untuk memahami apa yang mereka
katakan. Teman guru memahami kalau saya kesulitan mencerna bahasa dari
anak-anak dan beliau memberikan nama daftar murid. Seketika saya tercengang
shock melihat nama-nama dari anak-anak ini. Namanya susah sekali saya ingat
karena nama mereka yang masih asing di telinga saya. Sembilan bulan berlalu
kepuasan saya mengajar di paud ini mulai terlihat. Yang dulunya anak sama
sekali tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia sekarang mereka dengan
lancarnya bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Kebersihan mereka pun
sekarang lebih meningkat, dulu mereka berangkat sekolah tidak mandi dulu
sekarang mereka berangkat sekolah dalam kondisi yang bersih dengan rambut yang
rapi dan bau yang harum. Berbagai aspek perkembangan merekapun berkembang cukup
pesat. Ada pekataan orangtua murid yang masih membuat saya terenyuh “ ibu, dulu
jery ini dia saya pikir tidak bisa seperti anak yang lain, tetapi karena ibu
dia sekarang sudah pintar, ibu tidak bisakah mengajar disini terus saja, jangan
pulang bu”. Anak-anakpun sering berkata “ ibu ,ibu tidak jadi pulang kan, kalau
ibu pulang kami belajar dengan siapa ? ibu kami mau pulang ke jawa dengan ibu”.
Pernyataan yang terlihat sepele tetapi membuat saya berfikir. Dan samapi
sekarang saya belum bisa menjawab pertanyaan itu. Semakin lama saya di penempatan
ini saya merasakan suatu perasaaan dimana saya tidak mau pisah dengan tanah
timor ini. Walaupun berbagai kesulitan saya rasakan disaat mengajar tapi jika
saya berhasil memecahkan masalah tersebut dan hal itu membuat kepuasan
tersendiri untuk saya.
Setelah
pulang dari sekolah aktivitas yang saya lakukan adalah memasak. Karena keluarga
saya banyak maka saya harus memasak dalam porsi nasi dengan porsi yang banyak
juga . Kami masak dengan menggunakan tungku. Berbeda dengan didaerah asal saya
yang kebanyakan masyarakatnya menggunakan kompor gas dan peralatan masak elektronik
lainnya. Masyarakat looneke semuanya masih menggunakan tungku untuk memasak
makanan . Beruntungnya disini berada di tengah hutan jadi kayu bakar mudah
untuk di dapat. Pada awalnya saya tidak bisa menyalakan api untuk memasak
tetapi seiring berjalannya waktu saya sudah bisa. Disini kami makan seadanya
apa yang ada dialam kami makan karena pasar hanya ada satu minggu sekali itupun
jauh dari lokasi penempatan saya. Untuk pergi kepasar saya harus menempuh waktu
sekitar setengah jam dengan medan jalan yang luar biasa menantang. Batu lepas,
tanah licin, lobang menganga, kanan kiri jurang menjadi tantangan sendiri
ketika kami para warga looneke harus pergi ke pasar. Jadi mau tidak mau kami
harus makan apa yang ada di kebun, apa yang ada di hutan dan tidak jarang
banyak dari warga yang makan kosong ( sebutan makan jika tanpa lauk apapun).
Jika tidak ada nasi kami makan ubi. Jika tidak ada ubi kami makan jagung.
Pokoknya semua makanan yang tidak beracun kami makan..
Selama
hampir satu bulan saya dipenempatan saya tidak bisa mendapatkan sinyal.
Perasaan kangen keluarga yang ada di Klaten pun semakin terasa. Sampai suatu
ketika saya diajak duduk di atas kuburan oleh kak kori. Dan terdengar suara hp
berdering. Ternyata ada sms masuk dari mama di klaten yang menanyakan kabar.
Dengan perasaan senang sayapun membalas sms dari mama di klaten. Setelah
masalah sinyal terselesaikan walaupun terkadang harus duduk dulu di atas
kuburan selama hampir satu jam, itu tidak masalah. Shock berikutnya ketika saya
tahu bahwa selama satu bulan ini saya beribadah ternyata saya salah menghadap
kiblat. Tetapi saya juga sudah bersyukur walaupun saya menjadi minoritas
disini. toleransi beragama disini sangatlah tinggi saya diberi kebebasan untuk
menjalankan ibadah. Tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya saya akan
mengalami kesulitan mengerjakan ibadah. ehh disini saya malah selalu di
ingatkan untuk melaksanakan sholat tepat waktu. Dan pergi kekota untuk
mengerjakan sholat jumat.
Sembilan
bulan berlalu bukan hanya keluarga, anak didik, dan teman guru tetapi
masyarakat dan kebudayaan serta keindahan alam disini yang selalu membuat saya
terkagum-kagum dan terkadang sampai merasa shock juga. Bagaimana tidak,
kerukunan dan rasa persaudaraan disini sangatlah erat dan menyenangkan untuk
dinikmati. Salah satunya adalah budaya gotong royong masyarakat di daerah
looneke. Oh iya looneke itu adalah nama desa penempatan saya. Penamaan Looneke
itu sendiri menurut masyarakat setempat karena di daerah tersebut banyak
tanaman kepok (kapuk). Ada berbagai suku di looneke. Dan setiap suku memiliki
rumah adatnya masing-masing. Dan yang unik di Looneke rumah adat dari enam suku
yang bergabung di satu lokasi yang sama.Rumah adat disini seluruhnya terbuat
dari kayu pilihan. Dan atapnya terbuat dari daun gewang yang mereka cari
sendiri di hutan mereka. Saat pendirian rumah adat peletakan kayu pertama
biasanya dilakukan pesta dan makan-makan bersama. Didalam sebuah pesta yang
tidak akan terlewat adalah budaya menari masyarakat setempat yang sering
disebut dengan tari tebe. Tari tebe sendiri merupakan tari dimana masyarakat
bergandengan tangan bersama membuat bentuk lingkaran dan bergerak seirama. Ada lagi yang namanya tari likurai yaitu tari
tradisional yang biasa dilakukan oleh pria dengan menggunakan pedang .Tari bidu
adalah tarian tradisional dari malaka ditarikan oleh pria dan wanita tetapi
biasanya dalam satu grub tari hanya ada dua pria yang ikut menari, tarian
mereka pun berbeda dengan yang wanita. Laki-laki menari ronggeng. Selain tariannya
dalam sebuah pesta yang tidak ketinggslsn adalah minuman khas dari malaka yaitu
sopi. Sopi ( minuman keakraban) sendiri merupakan minuman yang terbuat dari
sari dari pohon lontar yang disuling dengan gentong yang di sambung pipa. Di
looneke sendiri terkenal dengan kwalitas sopi kepalanya yang baik dikarenakan
ramuannya masih sama persih dengan leluhur mereka. Saya mengenal cara pembuatan
sopi dari salah satu tetangga yang kebeutulan rumahnya digunakan untuk membuat
sopi namanya mama Katerina. Pengalaman pertama saya melihat pembuatan sopi
tersebut langsung kepala saya pusing karena tidak kuat dengan bau tajam khas
alkohol yang sangat menyengat. Ini foto mama Katerina saat memasak sopi:
Masyarakat
di looneke selalu pergi kemana-mana menggunakan kain tenun. Awalnya saya pikir
itu sarungnya orang sini tetapi ternyata itu yang dinamakan kain tenun.
Sebagian besar masyarakat Looneke bisa menunun; dan menurut masyarakat setempat
tenunan looneke ini paling bagus
diantara desa-desa yang lain. Terbukti dari seringnya bule masuk desa untuk
membeli kain di looneke. Bahkan ada kain yang sampai ditawar dengan harga 100
juta.
Keindahan
tanah looneke yang membuat saya betah tinggal disini salah satunya adalah
keindahan danau mantasik. Danau mantasik sendiri merupakan danau yang memiliki
sejarah yang berarti di looneke. Danau ini menurut kepercayaan setempat terjadi
karena ada perempuan yang menumbuk ubi dan dia mengeluh kepanasan dan meminta
air serta berjanji jika ada air melimpah maka dia akan mandi sepuasnya. Dan air
keluar dari tanah dan lama kelamaan menjadi sebuah kubangan yang menyerupai
danau yang sekarang dikenal dengan sebutan danau mantasik. Di danau ini hidup
berbagai macam ikan air tawar tetapi masyarakat setmpat tidak berani
mengambilnya sembarangan karena dianggap pamali selain itu danau ini terletak
di tengah-tengah hutan yag penuh dengan hewan kera di dalamnya. Kenapa pamali
karena sering terjadi kejadian yang misterius di danau ini salah satunya
dialami oleh keluarga saya disini. Dia meninggal terseret pusaran air di danau
tersebut menurut gosip yang tersebar hal itu terjadi saat dia memancing di
danau tersebut dan dia terlalu tamak menangkap ikannya sampai hampir dua ember
besar. Tiba-tiba saja dia tersedot pusaran air dan baru ditemukan dua hari
berikutnya.Nah itu yang membuat saya terpikat oleh Looneke.
Satu
kata mutiara yang selalu saya pegang yaitu dilihat orang atau tidak, ia tetap
berdenting. Dihargai orang atau tidak, ia tetap berputar. Walau tak seorangpun
mengucapkan terimakasih ia tetap bekerja. Setiap jam, setiap menit, setiap
detik terus berbuat baik kepada sesama meskipun perbuatan baik kita tidak
dinilai dan diperhatikan oleh orang lain. Ibarat jam dinding yang terus bekerja
walaupun tak dilihat namun senantiasa memberi manfaat bagi orang sekitar.
Editor : Harnum & Bangkit Bagas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar