Translate

Kamis, 03 Agustus 2017

SHOCK TERAPI DI TANAH LOONEKE




Oleh :Auliya Annisa, S.Pd


Berawal dari coba-coba, saya mengikuti program pemerintah bernama SM3T. Tidak disangka saya lolos dalam program tersebut dan di dalam lembar pengumuman saya mendapatkan penempatan di kabupaten Malaka. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mencari tahu di google. Sebelumnya, dalam hati saya menduga-duga, Malaka itu salah satu daerah yang berada di dekat Selat Malaka. Setelah saya mencari-cari, ternyata Malaka adalah sebuah kabupaten yang baru berkembang sekitar satu tahun dan merupakan pecahan dari kabupaten Belu. Kabupaten ini berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mayoritas penduduk beragama Katolik. Bahasa yang mereka gunakan ada tiga bahasa yaitu bahasa Tetun, Dawan dan Bonaq. Makanan pokoknya adalah jagung, sagu, nasi dan umbi-umbian. Dari informasi tersebut, saya langsungberpikir bahwa saya harus pergi jauh dari zona nyaman ke suatu kabupaten yang jauh dan disana pasti saya menjadi minoritas.
Tibalah hari, saya harus pergi ke daerah penempatan bersama 52 orang lainnya. Kami pergi dengan perasaan yang hampir sama yaitu perasaan campur aduk antara sedih dan penasaran. Dengan semangat 55 (moto kami saat menjalankan prakondisi), kami tiba di kabupaten Malaka. Perjalanan yang kami lalui sekitar dua hari untuk sampai di kabupaten penempatan. Kami menggunakan dua macam perjalanan yaitu satu hari perjalanan udara dan satu hari perjalanan darat. Setelah beristirahat semalam di salah satu Hotel di kabupaten Malaka, kami digiring menuju kantor dinas dan pemberhentian terakhir yaitu kantor bupati. Satu persatu dari kami dipanggil untuk mengetahui lokasi riil penempatan kami. Sampailah giliran saya “Auliya Annisa, program studi Pendidikan Anak Usia Dini tempat di kecamatan Botin Leobele pengabdian di Paud Alfa kasih Putri.”Tawa renyah terdengar dari para bapak dan ibu kepala sekolah yang hadir. Tawa tersebut ternyata mengisyaratkan bahwa lokasi saya lokasi yang susah atau udik kata orang Malaka.

Saya didatangi oleh tiga wanita yang awalnya terlihat seram, tetapi ternyata mereka sangat ramah dan baik hati.Ketiga wanita itu adalah Mama Maria yang sekarang menjadi mama asuh saya disini, sedangkan dua lainnya adalah Mama Gonda dan Mama Anas teman guru saya di Paud Alfa Kasih Putri. Kamipun bercakap-cakap serta saling berkenalan, tetapi kalimat pertama yang membuat saya shock datang dari Mama Maria Kakak, nanti kita pulang perjalanan 2 jam ya, nanti disana kita tidak ada listrik, sinyal juga tidak ada di rumah, kita masak pake tungku, hawa disana dingin, kita tinggal di dekat hutan”. Di pikiran saya langsung terlintas “Wah esoh mati aku neng kene.” Akan tetapi, dengan kalemnya, saya bilang “Tidak apa-apa ibu, saya sudah siap.” Perjalananpun kami lanjutkan. Perjalanan dari kantor bupati sampai rumah memang benar sekitar dua jam lamanya, tetapi itu tidak membuat saya sedih. Yang membuat saya sedih yaitu jalannya yang berlubang, batu lepas, tanah licin, naik turun, dan banyak tanah yang longsor. Selama perjalanan saya shockkaget melihat banyak tanah yang longsor di berbagai titik jalan. Akhirnya, saya tiba dirumah dan baru saja turun dari otto (istilah untuk mobil di Malaka), saya disambut oleh 9 ekor anjing yang menggonggong bersama. Tanpa disadari, sebuah teriakan keluar dari mulut saya diikuti oleh langkah kaki yang ngacir‘pergi begitu saja’masuk ke otto lagi. Semua warga sekitar tertawa melihat tingkah saya dan dengan sabar mereka membujuk saya untuk mau turun dari otto. Sekarang, yang masih hidup hanya satu dari sembilan anjing. Sekarang, anjing itu sudah menjadi teman saya. Teman pergi sekolah, teman pergi jalan-jalan, teman saat makan dan teman mencari jaringan seluler di sebuah makam. Anjing itu, saya berinama Cleo
Tidak sampai disitu, saya melihat keluar  hanya setitik cahaya terlihat dan yang lainnya peteng ndedetgelap sekali. Sambutan warga yang hangat dan ramah disekitar rumah itu membuat saya mulai merasakan kenyamanan.
Kemudian, saya diperkenalkan kepada anggota keluarga. Yang pertama, saya diperkenalkan kepada Bapak Yohanes yang penuh senyum. Kemudian, Kak Kori menjadi kakak perempuan dan juga teman yang baik. Selanjutnya,kak Remi, nenek Seok, nenek Fook, bai (sebutan untuk kakek) serta masih banyak anggota keluarga lainnya. Yang lansung terlintas di pikiran saya ini adalah namanya keluarga cemara.
Keesokan harinya, saya langsung diajak berangkat ke sekolah. Keluar dari rumah saya dibuat tercengang oleh pemandangan indah didepan rumah yaitu hutan yang masih diselimuti oleh kabut tebal. Hanya terlihat samar-samar batang-batang pohon dari mata saya. Di sepanjang jalan bak melihat barang baru mereka menatap saya dengan tatapan aneh yang membuat saya merasa rikuh sendiri. Tibalah saya dipaud tempat mengajar saya. Telihat senyuman manisanak-anak pun mengembang dari pipi mungil mereka, pipi yang kebanyakan memiliki lesung pipi yang menambah pesona senyuman mereka. Pembelajaran pun dimulai, tidak afdol jika kami belum kenal satu sama lain, perkenalanpun terjadi satu persatu anakpun memperkenalkan diri mereka dengan malu-malu menggunakan bahasa dawan yang saat itu bagi saya bahasa itu adalah bahasa planet. Yang membuat saya kesulitan untuk memahami apa yang mereka katakan. Teman guru memahami kalau saya kesulitan mencerna bahasa dari anak-anak dan beliau memberikan nama daftar murid. Seketika saya tercengang shock melihat nama-nama dari anak-anak ini. Namanya susah sekali saya ingat karena nama mereka yang masih asing di telinga saya. Sembilan bulan berlalu kepuasan saya mengajar di paud ini mulai terlihat. Yang dulunya anak sama sekali tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia sekarang mereka dengan lancarnya bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Kebersihan mereka pun sekarang lebih meningkat, dulu mereka berangkat sekolah tidak mandi dulu sekarang mereka berangkat sekolah dalam kondisi yang bersih dengan rambut yang rapi dan bau yang harum. Berbagai aspek perkembangan merekapun berkembang cukup pesat. Ada pekataan orangtua murid yang masih membuat saya terenyuh “ ibu, dulu jery ini dia saya pikir tidak bisa seperti anak yang lain, tetapi karena ibu dia sekarang sudah pintar, ibu tidak bisakah mengajar disini terus saja, jangan pulang bu”. Anak-anakpun sering berkata “ ibu ,ibu tidak jadi pulang kan, kalau ibu pulang kami belajar dengan siapa ? ibu kami mau pulang ke jawa dengan ibu”. Pernyataan yang terlihat sepele tetapi membuat saya berfikir. Dan samapi sekarang saya belum bisa menjawab pertanyaan itu. Semakin lama saya di penempatan ini saya merasakan suatu perasaaan dimana saya tidak mau pisah dengan tanah timor ini. Walaupun berbagai kesulitan saya rasakan disaat mengajar tapi jika saya berhasil memecahkan masalah tersebut dan hal itu membuat kepuasan tersendiri untuk saya.
Setelah pulang dari sekolah aktivitas yang saya lakukan adalah memasak. Karena keluarga saya banyak maka saya harus memasak dalam porsi nasi dengan porsi yang banyak juga . Kami masak dengan menggunakan tungku. Berbeda dengan didaerah asal saya yang kebanyakan masyarakatnya menggunakan  kompor gas dan peralatan masak elektronik lainnya. Masyarakat looneke semuanya masih menggunakan tungku untuk memasak makanan . Beruntungnya disini berada di tengah hutan jadi kayu bakar mudah untuk di dapat. Pada awalnya saya tidak bisa menyalakan api untuk memasak tetapi seiring berjalannya waktu saya sudah bisa. Disini kami makan seadanya apa yang ada dialam kami makan karena pasar hanya ada satu minggu sekali itupun jauh dari lokasi penempatan saya. Untuk pergi kepasar saya harus menempuh waktu sekitar setengah jam dengan medan jalan yang luar biasa menantang. Batu lepas, tanah licin, lobang menganga, kanan kiri jurang menjadi tantangan sendiri ketika kami para warga looneke harus pergi ke pasar. Jadi mau tidak mau kami harus makan apa yang ada di kebun, apa yang ada di hutan dan tidak jarang banyak dari warga yang makan kosong ( sebutan makan jika tanpa lauk apapun). Jika tidak ada nasi kami makan ubi. Jika tidak ada ubi kami makan jagung. Pokoknya semua makanan yang tidak beracun kami makan..

Selama hampir satu bulan saya dipenempatan saya tidak bisa mendapatkan sinyal. Perasaan kangen keluarga yang ada di Klaten pun semakin terasa. Sampai suatu ketika saya diajak duduk di atas kuburan oleh kak kori. Dan terdengar suara hp berdering. Ternyata ada sms masuk dari mama di klaten yang menanyakan kabar. Dengan perasaan senang sayapun membalas sms dari mama di klaten. Setelah masalah sinyal terselesaikan walaupun terkadang harus duduk dulu di atas kuburan selama hampir satu jam, itu tidak masalah. Shock berikutnya ketika saya tahu bahwa selama satu bulan ini saya beribadah ternyata saya salah menghadap kiblat. Tetapi saya juga sudah bersyukur walaupun saya menjadi minoritas disini. toleransi beragama disini sangatlah tinggi saya diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah. Tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya saya akan mengalami kesulitan mengerjakan ibadah. ehh disini saya malah selalu di ingatkan untuk melaksanakan sholat tepat waktu. Dan pergi kekota untuk mengerjakan sholat jumat.
Sembilan bulan berlalu bukan hanya keluarga, anak didik, dan teman guru tetapi masyarakat dan kebudayaan serta keindahan alam disini yang selalu membuat saya terkagum-kagum dan terkadang sampai merasa shock juga. Bagaimana tidak, kerukunan dan rasa persaudaraan disini sangatlah erat dan menyenangkan untuk dinikmati. Salah satunya adalah budaya gotong royong masyarakat di daerah looneke. Oh iya looneke itu adalah nama desa penempatan saya. Penamaan Looneke itu sendiri menurut masyarakat setempat karena di daerah tersebut banyak tanaman kepok (kapuk). Ada berbagai suku di looneke. Dan setiap suku memiliki rumah adatnya masing-masing. Dan yang unik di Looneke rumah adat dari enam suku yang bergabung di satu lokasi yang sama.Rumah adat disini seluruhnya terbuat dari kayu pilihan. Dan atapnya terbuat dari daun gewang yang mereka cari sendiri di hutan mereka. Saat pendirian rumah adat peletakan kayu pertama biasanya dilakukan pesta dan makan-makan bersama. Didalam sebuah pesta yang tidak akan terlewat adalah budaya menari masyarakat setempat yang sering disebut dengan tari tebe. Tari tebe sendiri merupakan tari dimana masyarakat bergandengan tangan bersama membuat bentuk lingkaran dan bergerak seirama.  Ada lagi yang namanya tari likurai yaitu tari tradisional yang biasa dilakukan oleh pria dengan menggunakan pedang .Tari bidu adalah tarian tradisional dari malaka ditarikan oleh pria dan wanita tetapi biasanya dalam satu grub tari hanya ada dua pria yang ikut menari, tarian mereka pun berbeda dengan yang wanita. Laki-laki menari ronggeng. Selain tariannya dalam sebuah pesta yang tidak ketinggslsn adalah minuman khas dari malaka yaitu sopi. Sopi ( minuman keakraban) sendiri merupakan minuman yang terbuat dari sari dari pohon lontar yang disuling dengan gentong yang di sambung pipa. Di looneke sendiri terkenal dengan kwalitas sopi kepalanya yang baik dikarenakan ramuannya masih sama persih dengan leluhur mereka. Saya mengenal cara pembuatan sopi dari salah satu tetangga yang kebeutulan rumahnya digunakan untuk membuat sopi namanya mama Katerina. Pengalaman pertama saya melihat pembuatan sopi tersebut langsung kepala saya pusing karena tidak kuat dengan bau tajam khas alkohol yang sangat menyengat. Ini foto mama Katerina saat memasak sopi:

Masyarakat di looneke selalu pergi kemana-mana menggunakan kain tenun. Awalnya saya pikir itu sarungnya orang sini tetapi ternyata itu yang dinamakan kain tenun. Sebagian besar masyarakat Looneke bisa menunun; dan menurut masyarakat setempat tenunan looneke ini paling  bagus diantara desa-desa yang lain. Terbukti dari seringnya bule masuk desa untuk membeli kain di looneke. Bahkan ada kain yang sampai ditawar dengan harga 100 juta.
Keindahan tanah looneke yang membuat saya betah tinggal disini salah satunya adalah keindahan danau mantasik. Danau mantasik sendiri merupakan danau yang memiliki sejarah yang berarti di looneke. Danau ini menurut kepercayaan setempat terjadi karena ada perempuan yang menumbuk ubi dan dia mengeluh kepanasan dan meminta air serta berjanji jika ada air melimpah maka dia akan mandi sepuasnya. Dan air keluar dari tanah dan lama kelamaan menjadi sebuah kubangan yang menyerupai danau yang sekarang dikenal dengan sebutan danau mantasik. Di danau ini hidup berbagai macam ikan air tawar tetapi masyarakat setmpat tidak berani mengambilnya sembarangan karena dianggap pamali selain itu danau ini terletak di tengah-tengah hutan yag penuh dengan hewan kera di dalamnya. Kenapa pamali karena sering terjadi kejadian yang misterius di danau ini salah satunya dialami oleh keluarga saya disini. Dia meninggal terseret pusaran air di danau tersebut menurut gosip yang tersebar hal itu terjadi saat dia memancing di danau tersebut dan dia terlalu tamak menangkap ikannya sampai hampir dua ember besar. Tiba-tiba saja dia tersedot pusaran air dan baru ditemukan dua hari berikutnya.Nah itu yang membuat saya terpikat oleh Looneke.
Satu kata mutiara yang selalu saya pegang yaitu dilihat orang atau tidak, ia tetap berdenting. Dihargai orang atau tidak, ia tetap berputar. Walau tak seorangpun mengucapkan terimakasih ia tetap bekerja. Setiap jam, setiap menit, setiap detik terus berbuat baik kepada sesama meskipun perbuatan baik kita tidak dinilai dan diperhatikan oleh orang lain. Ibarat jam dinding yang terus bekerja walaupun tak dilihat namun senantiasa memberi manfaat bagi orang sekitar.





 Editor : Harnum & Bangkit Bagas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar