Translate

Minggu, 20 Agustus 2017

BERBAGI KISAH DI DUA SEKOLAH






Oleh : Novita Nurcahyati, S.Pd

Selamat datang di SD N Oevetnai. Begitulah tulisan yang disusun dan di tempel di selembar kain seadanya yang dibentangkan di atas pagar sekolah, untuk menyambut guru SM-3T. Lagu pramuka ‘Selamat Datang Kakak’ ikut meramaikan suasana suka cita penyambutan. Anak-anak berjajar di samping kiri dan kanan berbaris membentuk pagar betis dengan tepuk tangan seretak. Senyuman manis nan lebar dengan penuh semangat  terpancar dari muka setiap anak-anak. Sambutan sederhana yang menggetarkan hati saya. Hari Senin, tanggal 05 September 2016 tepat pukul 16.00 WITA saya menginjakkan kaki di tanah SDN Oevetnai.
Saya disambut dengan hadiah berupa selendang tenun khas Malaka. Selendang berwarna hijau kombinasi kuning, dengan motif yang mempesona. Seorang siswi mengalungkan selendang tersebut ke leher saya dengan penuh kehati-hatian. Saya berjalan melangkahkan kaki tanpa ragu menuju barisan para guru dan anak-anak yang sudah menanti sedari pagi. Saya mengulurkan tangan, berjabat tangan dengan mereka. Salah satu guru perempuan menitihkan air mata, dan saya pun juga tak kuasa menahan tangis kegembiraan atas sambutan mereka.
“Ya Alloh, terima kasih telah menempatkan saya di tengah-tengah mereka. Belum pernah saya merasa begitu terharu seperti ini, terima kasih Ya Alloh, telah memberikan amanah ini kepada saya”. Ucap syukur saya di dalam hati. Anak-anak dengan seragam terbaik mereka tidak lelah menunggu kedatangan guru SM-3T dari pagi hingga sore. Saya benar-benar merasa menjadi manusia yang sangat penting dan sangat dihargai pada hari itu.
Saya tidak datang sendiri saat penyambutan. Saya bersama dengan Erika, salah satu teman SM-3T yang kebetulan lokasi penempatannya berdekatan dengan SDN Oevetnai, yaitu di SMA 17 Agustus Weoe. Saya duduk bersama dengan Erika, Kepala Sekolah SDN Oevetnai, Kepala Sekolah SMA 17 Agustus Weoe, Kepala Desa Weoe, dan tetua adat di Dusun Wetalas bersama seluruh anak-anak SDN Oevetnai. Di Malaka ada dua bahasa daerah yang lazim digunakan selain Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Dawan, dan Bahasa Tetun. Kepala Sekolah kami dan Kepala Desa berbicara kepada tetua adat menggunakan Bahasa Dawan yang belum kami mengerti. Dengan sabar Ibu Kepala SDN Oevetnai, Ibu Itha, menerjemahkan kepada kami apa yang beliau semua bicarakan bersama tetua adat, karena tetua adat di Dusun Wetalas ini tidak terlalu bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia. Kami berdua hanya bisa tersenyum dan memperhatikan dengan seksama.

Di setiap daerah pasti memiliki adat istiadat yang berbeda-beda. Begitu juga di Kabupaten Malaka ini. Kabupaten Malaka merupakan pemekaran dari kabupaten Belu dan baru berumur 3 tahun. Kabupaten Malaka juga berbatasan langsung dengan negara tetangga yakni Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Adat di sini, setiap tamu yang datang berkunjung yang pertama kali disuguhkan adalah daun sirih dan pinang, beserta kapur sebagai pelengkapnya. Kami diharuskan memakan daun sirih dengan pinang dan sedikit kapur. Ini pengalaman pertama saya memakan daun sirih mentah dengan pinang. Rasanya agak pahit dan sepat. Setelah adat sirih pinang, barulah disuguhkan minuman dan kue seadanya. Minuman yang disuguhkan adalah minuman kemasan dalam gelas plastik dengan merek “Wemon” yang artinya air bersih. ‘We’ itu adalah air, dan ‘mon’ artinya bersih. Itulah kata-kata pertama dalam Bahasa Tetun yang kami mengerti.
Setelah selesai acara penyambutan, tepat pukul 17.00 WITA kami turun kembali ke Desa Weoe untuk istirahat dan bermalam di rumah Ibu Itha, Kepala Sekolah SDN Oevetnai. Untuk sementara waktu kami tinggal bersama Ibu Itha. Mayoritas penduduk di Desa Weoe beragama Katholik dan Kristen. Kami berdua adalah muslim, namun kami kagum dengan toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat di sini. Kami selalu diingatkan untuk beribadah ketika sudah masuk jam sholat. Sungguh Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika.
Waktu menunjukkan pukul 18.30 WITA, saya sudah selesai ibadah, dan duduk di ruang tamu untuk berbincang dan mengakrabkan diri dengan keluarga baru saya di sini. Ibu Itha bercerita dengan sabar, serta mengajarkan beberapa kata dalam Bahasa Tetun. ‘Oevetnai’ adalah nama dari SD tempat saya akan mengabdi selama satu tahun ke depan. ‘oe’ itu berarti air, ‘vet’ dari kata ‘veto’ yang berarti putri atau perempuan, dan ‘nai’ yang berarti raja. Jadi jika digabungkan ‘oevetnai’ berarti mata air putri raja. Bukan tanpa sebab SD tersebut di beri nama ‘oevetnai’ karena memang tepat di depan sekolah tersebut terdapat mata air sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar. Mata air tersebut tidak pernah kering dan terus mengalir sepanjang tahun.

“Di sinilah tempat saya akan mengukir sejarah hidup untuk satu tahun ke depan”. Saya berharap anak-anak di SDN Oevetnai bisa menjadi seseorang yang dapat berguna bagi orang lain. Seperti mata air yang tidak akan pernah kering bagi masyarakat di lingkungan sekitar mereka. Terus mengalir untuk membasahi setiap lahan kering, dan menjadi penyejuk dalam kehausan akan pengetahuan. Mereka lah generasi penerus bangsa dengan semangat pantang menyerah dan tak pernah lelah untuk terus menimba ilmu.
***
Begitu banyak hal baru yang saya temukan di hari-hari awal penugasan. Jika ingin bertahan hidup, harus bisa dan harus cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Itu adalah salah satu pelajaran yang saya dapat selama saya mengikuti kegiatan Prakondisi di Markas Akademi Angkatan Udara (AAU) Jogjakarta. Saya mendapatkan lokasi penempatan di Kabupaten Malaka, tepatnya di SDN Oevetnai, Dusun Wetalas, Desa Weulun, Kecamatan Wewiku.
Di Awal penugasan saya masih tinggal bersama dengan Ibu Kepala Sekolah SDN Oevetnai. Ibu Brigitha Bano Bria nama beliau, saya memanggilnya ‘Mama Itha’, Kepala Sekolah sekaligus orang tua angkat saya di daerah penugasan ini. Mama Itha dengan sabarnya mengajari saya Bahasa Tetun, bahasa yang lazim digunakan di daerah ini. Dengan bantuan cucu perempuan dari Mama Itha, Anggre, nama gadis jelita yang cantik, dengan tahi lalat mungil di dekat matanya. Anggre menjadi ‘dosen’ Bahasa Tetun bagi saya. Dengan tingkah lincahnya ia mengucapkan kata demi kata dalam Bahasa Tetun dan menerjemahkannya dalam Bahasa Indonesia. Dengan buku dan pena di tangan, saya mencatat dengan cepat dan berusaha mengucapkan kata-kata tersebut dengan lafal, intonasi, dan logat semirip mungkin dengan nara sumber kecil saya itu. Seisi rumah tertawa kecil, mendengar saya berusaha mengucapkan kata demi kata yang sudah saya catat. Sekejap saja saya sudah bisa berhitung 1-10 dalam Bahsa Tetun dengan lancar.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak kosa kata Bahasa Tetun yang saya mengerti, terutama untuk sapaan kegiatan sehari-hari. Contohnya, ‘Mai tur lai’ biasa digunakan untuk menyapa orang yang lewat didepan rumah kita, mempersilakan untuk mampir kerumah, sekedar duduk mengobrol. Orang yang disapa akan menjawab ‘ami liyun’ atau ‘hau liyun’ yang artinya kami terus dalam artian tidak bisa singgah dirumah tersebut. ‘Ami liyun’ apabila orang yang berjalan lebih dari satu, sedangkan ‘hau liyun’ digunakan jika hanya seorang diri.
Belajar itu bukan hanya untuk anak kecil saja, melainkan juga orang dewasa, maupun juga orang yang sudah tua. Karena belajar itu sepanjang hayat, dari buaian hingga sampai liang lahat. Saya banyak belajar dari seoarang anak kecil yang baru saja saya kenal. Saya menyadari bahwa di daerah penugasan itu bukan hanya mengajar melainkan juga untuk ikut belajar. Bukan hanya untuk memberi, melainkan juga untuk menerima. Menerima mereka semua sebagai bagian dari pengabdian saya.

Keluarga mama Itha menerima saya dengan senang hati, dan bahkan menganggap saya sebagai seoarang anak dari keluarga Bria. Bahkan berdasarkan urutan tahun kelahiran saya mendapat urutan ke-5 setelah kaka Erika sebagai anak dari keluarga mama Itha dan Bapak Lorenz. Lingkungan di sekitar rumah juga ramah. Saya merasa bangga hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyapa saya dengan senyuman manis, meskipun kami belum saling mengenal ataupun berkenalan. Ramah tamah yang menghangatkan bagi seorang pendatang baru seperti saya.
Hari pertama masuk sekolah di tempat penugasan, yaitu pada hari Rabu, tanggal 07 September 2016. Saya berangkat sekolah di antar oleh anak sulung dari mama Itha, Kakak Ochy namanya. Sedangkan mama Itha berangkat bersama saya dengan di antar oleh tetangga kami. Jalanan yang kami lewati bukanlah jalan aspal yang datar, halus dan mulus, melainkan jalan mendaki berbatu terjal dengan batu-batu lepas di sepanjang jalan. Memang letak SD N Oevetnai ini berada di atas gunung, agak jauh dari tempat tinggal mama Itha. Dan sudah selama satu tahun ini mama Itha selalu pulang pergi melewati jalur ini dengan naik ojek. Sungguh perjuangan pengabdian yang luar biasa. Tak jarang pula mama Itha berjalan kaki pulang dari sekolah.
Semua perjalanan kami terbayarkan ketika sampai di halaman sekolah. Melihat pemandangan yang begitu mempesona. Saya bisa melihat hamparan pucuk pohon dan pemandangan samar air laut dipadukan dengan birunya langit Nusa Tenggara Timur yang elok. Ditambah lagi hembusan angin yang berlalu lalang dengan bebas memberikan kesejukan. Rezeki ini diberikan gratis untuk saya, saya syukuri sebagai anugrah yang tak ternilai harganya.
***
Bicara tentang Tanah Timor biasanya orang akan mengatakan susah air atau kekeringan. Tetapi faktanya tidak semua daerah disini susah air. Saya bersyukur ditempatkan di Kecamatan Wewiku, tepatnya di Desa Weoe disini merupakan daerah pesisir pantai yang kaya akan air. Jadi tidak perlu khawatir untuk masalah air.
Daerah pesisir pantai juga identik dengan daerah yang udaranya panas. Apalagi saat saya tiba disini pada bulan September merupakan bulan puncak musim kemarau. Dengan kondisi rumah disini yang menggunakan seng sebagai atapnya, maka menambah panas udara saat berada di dalam rumah. Saya berasal dari Kabupaten Boyolali yang notabene merupakan daerah kaki gunung merbabu dengan cuaca dingin perlu cepat menyesuaikan diri dengan perbedaan kondisi cuaca ekstrem di Tanah Timor. Berbekal kotak P3K yang dibagikan oleh Kemendikbud, saya bisa tetap bertahan dan berhasil menyesuaikan diri dengan cuaca ekstrem disini.

Rumah dengan atap seng bukanlah rumah asli daerah kabupaten Malaka. Rumah asli kabupaten malaka menggunakan daun gewang sebagai atapnya, pelepah pohon gewang sebagai dindingnya. Pelepah gewang juga bisa digunakan untuk pagar rumah. Pohon gewang merupakan salah satu vegetasi yang sangat mudah dijumpai di Kabupaten Malaka. Daun gewang selain bisa digunakan untuk atap, bisa juga dipakai sebagai bahan baku anyaman khas Malaka diantaranya ‘nyiru’, ‘kleni’ atau ‘kajang’, ‘kakehe’, ‘knuk manu’ dan masih banyak lagi. Selain anyaman, daun gewang bisa digunakan untuk tali karena serat daunnya yang kuat dan lidinya bisa dimanfaatkan untuk sapu.
Pohon sagu juga merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh di daerah ini. batang sagu yang siap panen ditebang dan biasanya akan diolah menjadi tepung sagu. Sagu merupakan bahan baku pembuatan kue ‘akarbilan’. Kue ini terbuat dari tepung sagu dan kelapa parut, kemudian dipanggang secara tradisional dan ditaburi sedikit gula dan kacang hijau yang sudah direndam sebelumnya. Kue ‘akarbilan’ merupakan kue khas yang biasa dinikmati masyarakat Malaka pada saat pagi hari, ditemani secangkir teh ataupun kopi.
“Roti goreng balik gula, donat donat, roti bakar roti bakar”  begitulah lantunan nada khas yang biasa saya dengar ketika pagi hari. Beberapa anak menjajakan kue sebelum berangkat sekolah. Ketika sudah jam sekolah, maka mereka akan bersiap ke sekolah, dan kue akan dijajakan di depan rumah. Saya merasa begitu kagum dengan mereka. Dengan usia belia mereka tidak malu berjualan untuk membantu orang tua mereka. Anak-anak yang benar-benar luar biasa.
***
 Tak terasa sudah hampir lima bulan berada di penempatan. Hampir separuh perjalanan. Belajar bersama anak-anak SDN Oevetnai yang selalu antusias menerima pelajaran, membuat waktu berlalu begitu cepat. Awal tahun baru 2017 di tanah perantauan, bulan Januari juga menandakan bahwa semester genap telah dimulai. Awal dimulainya pengalaman yang takpernah terlupakan dalam sejarah hidup saya.
Tepat pada tanggal 23 Januari 2017, berdasarkan keputusan pemerintah setempat, sekolah dasar yang saya tempati terpaksa harus ditutup sementara dikarenakan ruang kelas yang kurang layak dan harus segera dilakukan perbaikan. Keputusan ini menimbulkan gejolak batin yang luar biasa, bukan hanya untuk saya, namun juga bagi anak-anak yang bersekolah disini. Anak-anak harus dialihkan ke sekolah induk terdekat untuk sementara waktu. Sekolah dasar terdekat dengan SDN Oevetnai adalah SDI Weulun, berjarak sekitar 1,5 KM.
Dalam separuh perjalanan pengabdian saya harus pindah ke sekolah yang berbeda. Tentu saja harus menyesuaikan lagi dengan lingkungan yang baru. Menyesuaikan dengan guru, lingkungan, serta dengan anak-anak. Namun bagi saya ini merupakan suatu tantangan tersendiri yang harus saya syukuri. Bagaimana harus cepat beradaptasi dengan seluruh perangkat SDI Weulun. Bukan hanya saya yang harus beradaptasi, namun saya juga punya tanggung jawab untuk membawa anak-anak dari SDN Oevetnai agar bisa beradaptasi dengan guru dan teman-teman baru mereka di SDI Weulun.
Bukan  tanpa alasan pemerintah setempat menutup SDN Oevetnai. Melalui cerita yang berliku-liku. Berawal dari publikasi sebuah foto, kami seluruh guru di SDN Oevetnai dipanggil untuk menghadap pihak pemerintahan. Dari publikasi foto tersebut timbullah komentar-komentar yang tidak sedap tentang pihak pemerintah. Namun segala masalah tersebut dapat terlampaui dengan bantuan dari doa segala pihak. Keputusan akhirnya sekolah SDN Oevetnai akan segera mendapatkan bantuan pendirian gedung permanen, dan saat ini masih dalam tahap pembangunan. Sementara menunggu pembangunan gedung, anak-anak dan guru dialihkan ke sekolah induk yaitu di SD Inpres Weulun.
Di SDI Weulun saya mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan PKn di kelas IV A. Terkadang masuk di kelas–kelas yang kosong saat guru yang bersangkutan berhalangan hadir. Hal yang paling berkesan adalah ketika mengaja anak-anak di kelas rendah (kelas 1, 2 atau 3) mereka selalu antusias ketika saya mengajarkan sedikit lagu atau yel-yel baru yang berhubungan dengan pelajaran.
Mengabdi di dua sekolah yang berbeda adalah pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan. Menjadi bagian dalam program SM3T angkatan VI menjadikan saya belajar begitu banyak ilmu kehidupan. Bertemu dengan orang-orang luar biasa, yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Mengikuti program SM3T ini mengajarkan saya tentang bagaiman hidup secara mandiri, mengatur segala sesuatunya sendiri, dan bagaimana harus menyusun skala prioritas selama di pengabdian. Berbagai masalah dan tantangan yang ada selama di penempatan tidak menjadikan semangat saya jadi pudar, justru masalah-masalah yang ada membuat saya makin antusias untuk menemukan solusi pemecahan permasalahan tersebut.
***
Bulan lepas bulan terlewati. Akhir masa tugas akan segera tiba. Banyak kenangan telah terlukis di Tanah Timor ini. Kenangan bersama keluarga baru, anak-anak yang polos, teman-teman guru, dan juga bersama teman SM3T yang lain. Masih banyak hal yang belum terlukiskan disini. Berat rasanya mau mengakhiri masa pengabdian ini. Namun setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tak terhitung gelimangan air mata yang akan tumpah mengiringi akhir masa pengabdian. Semoga pendidikan di Tanah Malaka semakin maju dan berkualitas. Tetap menjadi daerah yang bertoleransi tinggi. Menjadi sebuah contoh Kebhinekaan Negara Republik Indonesia. Perbedaan suku, agama, warna kulit tidak memecah belah kita namun menjadi sebuah keunikan yang indah. Saling menghargai apa yang kita miliki dan apa yang dimiliki orang lain.
Setiap daerah memiliki potensinya masing-masing. Semoga Malaka menjadi Sebuah Kabupaten yang bisa diperhitungkan di negara ini. Pendidikan merupakan hal terpenting dalam membentuk masa depan suatu daerah. Dengan Pendidikan yang berkualitas mari bersama mencerdasakan Indonesia.


SEDIKIT DARI BANYAKNYA CERITA SEORANG SM-3T







Oleh : David Nurhusin, S.Pd

Bismillahirrahmanirrahim..
Sebagai seorang pemuda, energi yang menggebu-gebu disertai rasa ingin tahu yang begitu besar, sudah sangat wajar bila pergi merantau menjadi pilihan demi memuaskan dan menyalurkan energi tersebut. Suatu perjalanan jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat demi memperkaya pengalaman, dengan harapan pulang membawa segudang pengetahuan dan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. SM-3T: Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal, program pemerintah untuk para guru muda ini yang menjadi pilihan saya dalam petualangan kali ini.

Sistem perekrutan SM-3T menggunakan sistem kontingen. Ada beberapa perguruan tinggi (LPTK) yang bekerjasama dengan pemerintah sebagai penyelenggara seleksi SM-3T. Hampir di setiap wilayah kepulauan Indonesia minimal ada satu perguruan tinggi (LPTK) yang menyelenggarakan seleksi SM-3T dan peserta yang berminat diharuskan memilih salah satu LPTK tersebut sebagai tempat seleksi sekaligus kontingennya kelak bila terpilih. Namun sayang sekali, saya yang berasal dari Kalimantan Selatan cukup kesulitan untuk memilih LPTK terdekat, hal ini dikarenakan pada tahun 2016 tidak ada LPTK di pulau Kalimantan yang menyelenggarakan seleksi SM-3T. Hal tersebut membuat saya harus memilih LPTK diluar Kalimantan yang tentu saja juga membutuhkan biaya akomodasi yang tidak sedikit nantinya. Atas beberapa pertimbangan sayapun memilih LPTK Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebagai tempat seleksi dan kontingen saya kelak.

Setelah melalui tahapan-tahapan seleksi, mulai dari administrasi, pengetahuan umum, wawancara, hingga seleksi terakhir prakondisi selama kurang lebih 2 minggu di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Menghadapi berbagai tes ketahanan fisik, mental, disiplin, di bawah bimbingan komandan AAU. Terhitung sejak September 2016, kurang lebih selama 1 tahun kedepan saya bertugas di daerah 3T sebagai tenaga pengajar.

Alhamdulillah. Kali ini bersama 52 rekan SM-3T dari UNY ditempatkan di daerah baru di bagian Indonesia Timur yang sangat kaya akan keindahan laut, pegunungan, dan adat budayanya. SMP Katolik Sulama Kada, Dusun Kada, Desa Lakekun Barat, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, adalah rumah ke dua saya selama 1 tahun ke depan.

Penempatan tugas SM-3T di NTT memang bukan pertama kali. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah menempatkan SM-3T di beberapa kabupaten di provinsi ini setiap tahunnya, sehingga masyarakat NTT tidak terlalu asing dengan SM-3T atau mereka lebih mengenalnya dengan sebutan Guru Perbatasan, Guru Garis Depan, Guru Kontrak Pusat, dan sebagainya. Namun untuk Kabupaten Malaka sendiri sebagai kabupaten baru memang merupakan pertama kali mendapatkan guru SM-3T, sehingga memang di perlukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar.

Selama perjalanan ke daerah penempatan, memang sudah terbayang-bayang akan menemukan banyak hal baru yang mungkin menyenangkan atau mungkin juga menjadi tantangan. Dan benar saja, kesan luar biasa sudah saya rasakan sejak pertama kali disambut di tempat ini. Berkesempatan tinggal di lingkungan Gereja, bertetanggaan langsung dengan Romo (pemimpin agama Katolik), menempati asrama gereja tua yang tidak terlalu besar yang konon didirikan sejak jaman Belanda, merupakan hal pertama dalam hidup saya. Saya bersyukur. 1 tahun kedepan akan sangat luar biasa dan pasti menarik! Bisik saya dalam hati

Sebagai kabupaten baru, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, Malaka memang layak disebut sebagai salah satu daerah 3T, bahkan di beberapa desa yang lebih terpencil bisa di kategorikan 4T, 5T dan seterusnya. Ya, kabupaten muda ini masih berproses mennuju daerah yang lebih baik dari sebelumnya. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan negara tetangga Timor Leste dan memiliki salah satu gerbang yang menghubungkan antara Indonesia dan Timor Leste (di NTT ada 3 gerbang perbatasan).

Banyak orang mengenal saudara-saudara kita di Indonesia bagian timur dengan ciri khas kulitnya yang gelap, namun di Kabupaten Malaka sebagai salah satu daerah timur, masyarakatnya juga banyak yang berkulit putih seperti di Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Salah satu yang mengesankan saya disini, adalah budaya tegur sapanya yang sangat baik, yang saya rindukan karena mulai jarang saya temui di kota-kota di daerah asal saya. Yang tua maupun muda selalu tegur sapa sembari tersenyum bila bertemu di jalan, selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, minimal kata “selamat” saja juga sudah cukup. Kearifan lokal yang luar biasa


Hidup bermasyarakat di NTT memang cukup mengejutkan. Saya yang sebelumnya hanya menyaksikan lewat televisi bagaimana kehidupan di NTT, belum cukup membuat saya terbiasa saat beberepa bulan merasakan langsung bersentuhan dengan kehidupan di sini. Sebagai satu-satunya Muslim yang tinggal di desa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Katholik, saya perlu waktu adaptasi yang cukup lama. Namun bukan berarti menghindar, justru inilah tantangannya. Dan Alhamdulillah warga sekitar memiliki toleransi yang tinggi dan kasih sayang kepada saya sebagai warga baru. Tidak sedikit undangan acara yang saya terima dan yang mampu saya hadiri sejak pertama kali tiba di penempatan. Hampir tiap minggu saya ikut menghadiri pesta syukuran warga hingga ke desa-desa sebelah yang waktu penyelenggaraan pestanya selalu malam hari. Untunglah saya selalu didampingi oleh rekan guru lokal di penempatan yang tidak bosan selalu mengingatkan saya perihal hidangan pesta yang harus saya hindari, daging babi dan daging anjing misalnya. Pada beberapa acara warga, bila tiba waktu makan bersama saya hanya mengambil nasi, mie dan kerupuk sebagai lauknya. Namun ada juga warga yang menyediakan hidangan khusus warga Muslim di acaranya, yang biasanya di tandai dengan tirai hijau untuk tempatnya, tergangtung dari pemandu acara yang juga biasanya memberikan instruksi saat acara makan bersama.

Di lingkungan sekolah, saya pun mendapat kejutan yang luar biasa, salah satunya adalah aktivitas pendisiplinan siswa oleh guru-guru piket dengan menggunakan metode hukumkan fisik. Memang bukan hal baru bila di Indonesia bagian timur terkenal dengan wataknya yang keras dari segala aspek, termasuk dunia pendidikan. Oleh karena itu, saya mendapat penjelasan dari kepala sekolah dan guru-guru serta permintaan mereka agar saya maklum perihal kebiasaan pendisiplinan siswa disini yang menggunakan hukuman fisik. Sekitar tiga bulan pertama saya sangat iba bila setiap kali menyaksikan siswa-siswi yang pipi dan pantatnya merah terkena “sentuhan kasih sayang” dari guru-guru, belum lagi bila bunyinya cukup keras hingga memecah keheningan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, sayapun mulai terbiasa menyaksikannya. Dan satu hal yang juga mengesankan saya, setiap siswa-siswi yang telah mendapatkan sentuhan kasih sayang tersebut tidak ada yang saya temui menangis, mereka justru menahan rasa sakit dengan wajah tertawa, seola-olah itu semua hanya candaan bagi mereka, padahal saya yang melihat dan mendengar bunyinya ikut membayangkan sakitnya sentuhan tersebut J. Seperti apa yang pak kepala sekolah pernah sampaikan kepada saya, “Pak David, kami Anak Timor ini memang batu karang semua. Keras. Kami tidak bisa kalau tidak kena pukul. Harus pukul dulu supaya mau ikut apa kata guru”, beliau menyampaikan dengan nada yang cukup lucu untuk didengar. Sayapun tertawa kecil mendengarkan penjelasan beliau sambil meng-iya-kan saja apa yang beliau sampaikan J

Walau berada dalam lingkungan pendidikan yang menerapkan hukuman fisik di dalamnya, saya bertekad tidak akan mengikuti metode tersebut. Saya masih memiliki pilihan cara untuk mendisiplinkan siswa yang melanggar aturan. Salah satunya mengambil air untuk membersihkan WC sekolah dan mengisi bak airnya hingga penuh. Cukup memberi efek jera dan bermanfaat bagi warga sekolah tentunya. Memang ada kalanya diri ini tergoda untuk menyentuh mereka saat emosi sudah sangat tinggi, sampai-sampai ada siswa yang langsung meminta untuk di pukul. “Pak.. Pak David kalau mau pukul, pukul saja tidak apa-apa Pak. Kami ini harus di pukul dulu baru bisa ikut. Bapak harus tegas. Tidak apa-apa Pak”, kata salah seorang murid. Mendengar kalimat seperti itu saya merasa lirih, bingung, apakah harus, dan akhirnya saya putuskan untuk mendiamkannya sesaat.

Sepenggal tulisan ini hanyalah sedikit dari banyaknya pengalaman yang bisa saya ceritakan. Terlalu banyak cerita perjuangan di penempatan sebagai SM-3T yang mungkin akan saya lanjutkan pada lembaran-lembaran berikutnya. Namun satu hal yang saya pastikan, perasaan suka dan senang jauh mendominasi dari pada duka di penempatan sebagai SM-3T. Kita semua adalah pendidik, maju mundurnya pendidikan di negara ini ada pada tanggung jawab kita. Memang ada ratusan sebab untuk pesimis, namun masih ada ribuan bahkan jutaan alasan untuk tetap optimis. Semangat berjuang. Salam MBMI. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia!


Bersama Menggapai Cita




Oleh: Ahmad Subhanarrijal, S.Pd




SM-3T, SM-3T dikau gagah berani…
SM-3T, SM-3T semangat jiwa merah putih…
Lirik dari lagu yang ku dengar saat masih menjalani prakondisi di Akademi Angkatan Udara (AAU) ini masih terngiang dalam pikiran. Lagu yang terus mendorongku maju saat semangat ini mulai kendur. Mengikuti program SM-3T KEMENDIKBUD adalah salah satu hal terbaik yang pernah ku lakukan. Program SM-3T merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Perjuanganku dimulai di awal musim penghujan tahun lalu. Di bulan Juni 2016, setelah melewati berbagai tes yang menurutku tidaklah mudah, akhirnya aku menjadi salah satu peserta SM-3T dari LPTK UNY. Sebelum mengabdi di daerah 3T, aku dan juga semua peserta SM-3T mengikuti prakondisi selama 17 hari di AAU Yogyakarta. Di sana, aku dan juga teman-teman dibekali ilmu kesehatan, kepramukaan, jelajah medan, dan survival.
Dini hari, tepatnya pada pukul 04.30 WIB tanggal 4 September 2016, aku berangkat. Perjalanan dimulai dari lapangan terbang di salah satu bandara di Yogyakarta, menuju Nusa Tenggara Timur. Perjalanan udara ditempuh selama 6 jam, sesampainya di bandara El Tari Kupang aku masih harus menempuh perjalanan selama 4 jam menuju lokasi penempatan. Akses jalan yang sulit dan juga kendaraan yang digunakan adalah kendaraan umum sehingga memerlukan waktu tempuh yang cukup lama. Perjalanan jauh yang juga melelahkan akhirnya mengantarkanku di desa Tafuli, kecamatan Rinhat, kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Desa Tafuli adalah desa penjahat. Adalah hal pertama yang ku dengar saat sampai di desa Tafuli. Namun, bagiku tak begitu karena saat sampai di desa, aku disambut dengan penuh kehangatan, dengan keramahan warga dan rasa saling menghormati antar warga terlebih pada seorang pendidik. Lingkungan desa Tafuli sangatlah asri, pegunungan serta bukit-bukit hijau, dan juga aliran sungai yang menyejukkan dapat memanjakan setiap mata yang memandangnya. Saat malam, keindahan itu memang tak terlihat, namun taburan bintang di antara tirai malam merupakan pemandangan luar biasa bagiku, dan saat itulah aku bisa lebih bersyukur atas karunia yang Tuhan berikan padaku.
Desa Tafuli. Desa yang akan menjadi tempat tinggalku selama satu tahun ke depan. Meskipun listrik belum menyentuh desa ini, sumber air yang sulit dijangkau, akses jalan yang kurang baik, dan sulitnya jaringan telepon, semua itu tak menyurutkan niatku untuk ikut berusaha memperbaiki pendidikan di Indonesia, khususnya di desa Tafuli. Desa Tafuli memiliki sumber air bersih, namun jarak sumber air dengan lingkungan masyarakat tidaklah dekat, oleh karena itu aku harus bangun lebih pagi untuk mengambil air. Lampu sehen merupakan solusi dari permasalahan listrik di desa yang memanfaatkan tenaga surya.
Tugas pertama ku saat sampai di desa Tafuli adalah menyesuaikan diri dengan masyarakat dan juga lingkungan sekitar, karena mayoritas penduduk desa Tafuli beragama Katholik dan Protestan. Menjadi minoritas di sini bukanlah hal yang berat karena toleransi antar umat beragama sangat tinggi. Jadi, tidak ada hambatan bagiku untuk melaksanakan ibadah. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, bahkan untuk bersosialisasi dengan warga sekitar pun menurutku tidaklah sulit.

Hari rabu adalah hari pertama ku berangkat ke sekolah. Bertemu dengan rekan-rekan guru dan para siswa di SDI Oninitas untuk yang pertama kalinya. Aku datang pukul 07.00 WITA namun suasana sekolah terlalu sepi bagiku. Apakah semua murid belum datang? Atau apakah jumlah mereka hanya segini?, pertanyaan itu berputar di otakku saat pertama kali aku sampai di sekolah tempatku mengabdi. Pukul 7 pagi, di hari rabu yang cerah, pertama kalinya aku berangkat untuk mengabdi sebagai pendidik di SDI Oninitas, desa Tafuli. Jelas saja pertanyaan itu muncul tanpa aba-aba, karena saat ku hitung, jumlah siswa yang datang ke sekolah hanya 12. “Berapa jumlah murid di sekolah ini? Kenapa yang datang hanya 12 siswa?” tanyaku pada seorang guru di sekolah ini, “jumlahnya 84 siswa. Hari ini akan diadakan penyuluhan mengenai kesehatan oleh petugas kesehatan, siswa di sini belum terlalu memahami tentang penyuluhan ini, mereka berpikir jika ada petugas kesehatan yang datang ke sekolah hanya untuk menyuntik mereka”, tutur seorang guru yang memaparkan keadaan saat ini.
Ya, kurangnya pengetahuan dan pengalaman membuat mereka hanya berpikir satu arah. Sebaiknya siswa dan juga orang tua diberi pengarahan mengenai hal ini, agar kejadian seperti ini tidak lagi terulang, namun kesadaran dari masing-masing pihak masih sangatlah kurang. Kesadaran masyarakat sekitar akan pendidikan pun masih minim, anak-anak lebih memilih ke kebun untuk membantu orang tuanya atau menggembalakan sapi daripada menuntut ilmu di sekolah. Selain itu, kehadiran para pengajar pun seringkali absen, hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti medan ke sekolah yang sangat sulit, tidak adanya kendaraan umum yang melewati sekolah, ditambah lagi tidak tersedianya mes guru. Tidak semua guru berasal dari desa Tafuli, oleh karena itu mereka yang rumahnya berjarak cukup jauh dari sekolah, setiap harinya harus menempuh jarak yang jauh menggunakan ojek. Ongkos yang dikeluarkan pun tidaklah sedikit, setidaknya mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp 100.000,- untuk sekali jalan, jadi dalam sehari jika ingin berangkat dan pulang dari sekolah, guru yang menggunakan ojek harus mengeluarkan uang sebesar Rp 200.000,-. Karena faktor-faktor itulah, setiap harinya tidak semua guru dapat hadir di sekolah.
Di sekolah juga tidak ditemukan adanya bangunan perpustakaan, padahal perpustakaan adalah perantara penting bagi siswa untuk membuka cakrawalanya dengan membaca. Buku-buku yang tersedia di sekolah pun jumlahnya terbatas, hal ini membuat motivasi membaca siswa menurun. Penyediaan buku yang lengkap merupakan salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan kehadiran guru di sekolah.
Buku saku elektronik yang ku miliki menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan jumlah buku pelajaran. Selain dengan buku saku elektronik, untuk menunjang pembelajaran di dalam kelas, aku juga memanfaatkan media pembelajaran yang ada di lingkungan sekolah. Pembelajaran dengan memanfaatkan media, ternyata dapat mempercepat pemahaman siswa dalam memahami materi pelajaran.
Sarana lain yang tidak ada yaitu toilet bersih, meskipun toilet bukan merupakan kebutuhan primer di sekolah tetapi ketidak tersediaan toilet terkadang mengganggu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Ketika salah satu murid meminta ijin untuk ke toilet, mereka harus berjalan jauh terlebih dahulu sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali ke kelas. Perhatian yang kurang dari dinas terkait membuat pengajuan pembangunan gedung perpustakaan dan toilet tidak pernah terealisasi.
Tugasku sebagai peserta SM-3T tidak hanya sebagai observer yang mengamati permasalahan pendidikan di daerah 3T, tetapi semaksimal mungkin berusaha untuk berpartisipasi meningkatkan kualitas pendidikan di daerah 3T agar program pemerataan pendidikan di Indonesia dapat terwujud. Kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak di desa Tafuli membuatku terus melakukan sosialisasi kepada para orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi masyarakat di Indonesia, khususnya anak-anak di desa Tafuli. Sosialisasi ini dilaksanakan dengan harapan di masa yang akan datang, para orang tua akan lebih peduli dengan kebutuhan pendidikan anak.
Selain dengan mensosialisasikan pentingnya pendidikan bagi anak pada orang tua, aku juga berusaha membangkitkan semangat belajar dan semangat anak-anak untuk berangkat ke sekolah dengan cara menjemput mereka untuk berangkat ke sekolah setiap paginya. Dengan cara seperti ini, anak-anak akan merasa bahwa mereka diperhatikan oleh guru dan kedatangan mereka sangatlah diharapkan oleh para guru. Terbukti, cara ini memiliki dampak tersendiri yaitu meningkatnya jumlah kehadiran siswa di sekolah.
Rasa rindu akan keluarga dan orang-orang yang dikasihi pasti ada, tapi itu semua tak akan lama. Hanya setahun, lalu rindu itu akan segera tergenapi. Tugasku adalah mengabdi untuk negeri, berusaha memajukan pendidikan di Indonesia di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tidak ada rintangan maupun halangan yang berarti selama masa pengabdian, semuanya bisa aku lewati dengan baik.
Melihat siswa di sini rajin berangkat ke sekolah pun sudah membuatku sangat bahagia, mereka punya semangat belajar yang tinggi, hanya saja kurangnya fasilitas yang memadai membuat mereka berangsur mundur dan kurang peduli akan pendidikan. Semoga saja dengan kehadiranku dapat menambah semangat dan motivasi mereka untuk lebih giat belajar, keberadaanku dapat membantu mereka untuk menggapai cita-cita yang mungkin selama ini sudah mereka simpan rapat-rapat, aku ingin dengan motivasi yang aku berikan, dapat membuat mereka semangat untuk mengejar masa depan yang lebih baik lagi.